kolektif yang mengedepankan kesetaraan dan solidaritas

in hive-129948 •  18 days ago 


“Lagu Hidup” dari Sisir Tanah berbicara dengan ketenangan yang penuh makna. Dalam alunan musik folk yang lembut, lagu ini membawa pesan yang tegas: keberanian untuk merawat, melindungi, dan bersatu demi menjaga kehidupan. Dengan lirik-lirik sederhana namun tajam, lagu ini mengingatkan kita akan kebutuhan mendasar—tanah, air, udara—dan bagaimana hak atasnya sering kali terancam oleh keserakahan dan ketidakadilan. Dalam kerangka Jacques Rancière, lagu ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai tindakan politik yang mengganggu tatanan sosial yang mapan.

Relevansi pesan lagu ini sangat terasa ketika kita mengarahkan pandangan ke Papua dan Kalimantan. Papua menghadapi eksploitasi tambang yang menghancurkan ekosistem dan mengancam kehidupan masyarakat adat. Sementara itu, Kalimantan kini menjadi lokasi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), proyek ambisius yang memerlukan alih fungsi lahan secara besar-besaran. Kedua kasus ini memperlihatkan bagaimana alam, sekaligus masyarakat lokal, menjadi korban dalam upaya mewujudkan “kemajuan” yang sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak. Di tengah realitas ini, “Lagu Hidup” menjadi suara yang memanggil kita untuk bersatu, melawan, dan merawat apa yang tersisa.

Dalam teori Rancière, seni memiliki kekuatan untuk memecah tatanan persepsi yang telah mapan, mengungkapkan ketidakadilan yang sering kali tersembunyi di balik narasi besar seperti pembangunan dan modernisasi. Lagu ini membuka ruang bagi kita untuk mempertanyakan, misalnya, apa yang hilang ketika sebuah ibu kota baru dibangun di tengah hutan Kalimantan? Berapa banyak pohon yang ditebang, berapa banyak spesies yang kehilangan habitatnya, dan berapa banyak masyarakat lokal yang tercerabut dari akar budaya mereka? Lirik lagu ini, yang mengingatkan kita untuk merawat tanah, air, dan udara, berbicara langsung kepada masyarakat yang merasakan dampak dari perubahan besar ini.

Di Papua, cerita tentang tambang sering kali diiringi dengan konflik sosial. Tanah adat yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjadi ladang perebutan. Sementara itu, di Kalimantan, pembangunan IKN menciptakan ketegangan antara pemerintah, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan. Dalam kedua kasus ini, masyarakat sering kali terpecah—sebagian tergoda oleh janji ekonomi yang ditawarkan, sementara sebagian lainnya berjuang untuk mempertahankan tanah dan identitas mereka. Lagu “Lagu Hidup” menjadi pengingat bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan harus dimulai dari keberanian untuk bersatu, meskipun perpecahan menjadi hambatan besar. Pesan itu disampaikan dalam lirik yang terus-menerus diulang: “harus berani.”

Pesan keberanian dalam lagu ini menemukan konteksnya di tengah kerusakan ekologi yang terjadi. Lirik seperti “Harus berani, jika orang-orang serakah datang, harus dihadang” adalah seruan untuk menghadapi ketidakadilan dengan tegas. Ini bukan hanya tentang perlawanan fisik, tetapi juga keberanian untuk berbicara, untuk mempertanyakan, dan untuk menjaga solidaritas di tengah tekanan yang mengancam masyarakat. Seni dalam hal ini berfungsi sebagaimana yang dibayangkan oleh Rancière: sebagai medium untuk membangun solidaritas dan menciptakan ruang bagi emansipasi.

Namun, seperti yang sering terjadi, solidaritas tidak mudah diwujudkan dalam masyarakat yang terpecah oleh kepentingan ekonomi dan politik. Pembangunan IKN, misalnya, menimbulkan pertanyaan sulit: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan pelestarian lingkungan dan budaya lokal? Dalam hal ini, “Lagu Hidup” memberikan ruang bagi refleksi mendalam. Lagu ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai tanpa memperhatikan penderitaan orang lain. Liriknya tentang kesedihan dan kebahagiaan kolektif menekankan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan harus dilakukan bersama. Kekuatan individual hanya akan melahirkan pahlawan–tokoh palsu.

Aliran folk yang lembut dalam lagu ini memberikan kontras yang menarik dengan pesan perlawanan yang dibawanya. Ini sejalan dengan pandangan Rancière bahwa seni memiliki kekuatan untuk menggugah emosi dan pemikiran tanpa harus menggunakan kekerasan atau teriakan. Dalam ketenangan musiknya, lagu ini mengajak pendengarnya untuk merenung, menyadari, dan pada akhirnya bertindak.

Ketika hutan Kalimantan digusur untuk jalan-jalan baru dan gedung-gedung pemerintahan, dan ketika tambang di Papua terus menggali, kita diingatkan bahwa kerusakan ekologi adalah wajah lain dari ketidakadilan sosial. Lagu ini menyerukan keberanian untuk melawan ketidakadilan tersebut, baik melalui aksi langsung maupun solidaritas yang terbangun dari kesadaran kolektif. Dengan aliran folk yang menenangkan, “Lagu Hidup” memberi kita waktu dan ruang untuk memikirkan apa yang benar-benar penting.

Pada akhirnya, lagu ini mengajarkan bahwa seni bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang tanggung jawab. Seni dapat menggugah kesadaran, menciptakan solidaritas, dan mendorong tindakan. Dalam konteks Papua dan Kalimantan, “Lagu Hidup” adalah pengingat bahwa kita tidak bisa diam ketika alam dan masyarakat dihancurkan atas nama pembangunan. Keberanian yang diserukan dalam lagu ini bukan hanya tentang melawan, tetapi juga tentang merawat kehidupan yang lebih adil bagi semua.

Posted using SteemMobile

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!