Di atas ketinggian hampir seratus meter, di ujung menara baja yang menjulang ke langit, Surya menarik napas dalam-dalam. Tangan kanannya menggenggam erat mesin las, sementara tangan kirinya mencari pegangan yang kokoh di rangka besi yang dingin. Angin sore berembus kencang, membuat tubuhnya sedikit bergoyang. Di bawah sana, kendaraan melaju seperti semut, dan rumah-rumah terlihat seperti miniatur.
Ungat anak-anak di rumah, Surya, gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. Sejak tiga bulan lalu, ia mendapat pekerjaan sebagai tukang las di proyek pembangunan tower pemancar ini. Bayarannya memang besar, tetapi risikonya juga tinggi. Tidak semua orang berani mengambil pekerjaan ini, tapi apa boleh buat Keluarganya butuh makan, anaknya butuh sekolah, dan istrinya di rumah berharap ia pulang dengan selamat setiap hari.
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang. Helmnya bergeser sedikit, dan dadanya langsung terasa sesak. Besi yang ia pijak bergetar, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Instingnya segera bekerja, dan ia merapatkan tubuh ke rangka tower, memeluk besi kuat-kuat. Fokus, Surya Jangan panik, teriak Darto, rekan kerjanya yang juga sedang bertengger di sisi lain tower.
Surya mengangguk, menelan ludah yang terasa kering. Ia menyalakan kembali mesin lasnya, percikan api beterbangan tertiup angin. Setiap gerakannya harus hati-hati. Satu kesalahan kecil bisa berarti nyawa. Tapi ia tidak boleh menyerah.
Pelan tapi pasti, ia menyelesaikan sambungan las terakhir. Rasa lega menyelimutinya, meski tubuhnya masih gemetar. Ia menatap langit yang mulai berubah jingga. Hari hampir berakhir, dan ia masih selamat.
Saat turun dari tower, kakinya terasa lemas, tetapi hatinya penuh kebanggaan. Ia mungkin hanya seorang tukang las, tapi ia adalah seorang ayah, seorang suami, dan seorang pejuang. Demi keluarga, ia akan terus bertahan, setinggi apa pun tantangan yang menghadangnya.