Hari ini kudengar ada yang bilang,
“oh, kamu gini-gini terus ya karena malas,”
atau beberapa minggu lalu…
“kamu enggak mau usaha, sih…”
Ini biasanya adalah kata-kata dari tipikal mereka yang termakan omongan seleb tukang flexing di medsos, pamer mobil mentereng, rumah gede, dengan caption bijak “kerja keras adalah kunci kesuksesan.”
Disclaimer: saya tak iri sama sekali.
Duh, duh, kalau semua orang bisa sukses cuma modal kerja keras, saya yakin tukang cendol di perempatan depan itu udah jadi CEO! Nyatanya? Cendolnya malah diutang terus sama tetangganya yang lagi bokek.
Ya, saya juga heran dengan logika yang cacat ini. Mereka menyulap seakan-akan bisnis adalah tongkat sihir yang hanya tinggal diayunkan dan (abrakadabra!) masalah finansial pun sirna. Tentu yang tertawa dalam hati adalah para pengamat dan analis ekonomi yang paham benar lika-liku sektor ini, bukan para pemilik bisnis yang rutin memamerkan jet pribadi atau koleksi sepatu seharga motor.
Ada kalanya mereka yang menggembar-gemborkan bisnis sebagai solusi instan bagi kemiskinan justru yang paling getol meracik citra diri sebagai pebisnis sukses, meski modal awal mereka sudah menumpuk sejak lahir.
Bagi sebagian orang bisnis adalah pilihan logis yang membutuhkan keterampilan, jaringan, modal, dan (tentu saja) keberuntungan. Tetapi banyak dari kita yang lupa bahwa untuk masuk ke medan perang bisnis, diperlukan modal lebih dari sekadar semangat pantang mundur.
Tidak semua orang punya privilese untuk memulai bisnis hanya karena terdorong oleh slogan-slogan manis di seminar-seminar motivasi (yang kalau mau ikutan kudu bayar 20k buat membayari makan siangnya si motivator).
“Kalau niat kuat, pasti bisa.”
Ah, kalau soal niat, para pejuang UMKM di desa-desa itu sudah punya niat dari sebelum mereka lahir, mungkin niat mereka sudah mengalir di sumsum tulang belakang. Tapi coba hitung berapa persen dari mereka yang punya modal awal, baik dari segi uang, pengetahuan, atau akses ke pasar?
Terus, orang-orang yang suka ngomong “ya usaha aja” ini agaknya lupa kalau nggak semua orang punya akses ke pendidikan yang sama. Buat mereka yang privilese-nya melimpah, mungkin dunia bisnis terlihat menggiurkan. Tapi coba tanya tetangga sebelah yang kerja serabutan demi anak-anaknya bisa sekolah. Suruh mereka “coba usaha aja” tanpa ngasih modal apapun, ya sama aja kayak suruh renang di kolam tanpa air. Plung langsung jeblos!
Dan modal—Coba sebut diksi ini di hadapan kaum yang setiap bulan berurusan dengan rentenir atau kredit motor. Moddal bukan hanya tentang uang dalam bentuk fisik, tetapi ada yang lebih rumit yaitu modal sosial dan modal simbolis. Atau mungkin bahasa kasarnya "modal tampang."
Siapa yang mau berbisnis tanpa kenalan? Tanpa "support system" di belakang? Bagi sebagian orang, “jaringan” bukan sekadar daftar kontak di ponsel, tapi koneksi dan dukungan di saat-saat sempit. Bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, jaringan sosial mungkin hanya sebatas tetangga sekampung yang juga sedang berjuang hidup dari hari ke hari.
Mungkin bisnis itu bisa jadi solusi, tapi bukan solusi instan kayak yang dikira banyak orang. Lihat tuh bisnis UKM yang banyak tumbuh, nggak semuanya survive. Ada yang gulung tikar lebih cepat dari kedip mata. Faktanya, 50% bisnis baru biasanya gagal dalam lima tahun pertama (coba cek: Laitinen, 1992). Saya sedang tidak mendoakan hal-hal buruk, tapi itulah kenyataannya! Bisnis itu bukan soal punya niat aja, tapi juga punya strategi yang matang, manajemen yang oke, dan yaaa... modal itu tadi.
Berlanjut ke part selanjutnya…
Sumber yang dipakai (karena saya sedang tidak ngibul):
Laitinen, E. (1992). Prediction of failure of a newly founded firm. Journal of Business Venturing, 7, 323-340. https://doi.org/10.1016/0883-9026(92)90005-C.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit