Seni Tersembunyi dalam Negosiasi yang Tidak Kita Sadari

in hive-153970 •  last month 

pexels-pixabay-327540.jpg

Photo by Pixabay

Saat kita bicara tentang negosiasi, kebanyakan orang membayangkannya sebagai permainan angka. Terjadinya tawar-menawar seolah sedang berbelanja di pasar tradisional, dengan suara gemuruh para penjual dan pembeli saling lempar harga. Apa yang terjadi di bawah permukaan negosiasi sejatinya jauh lebih rumit dan barangkali penuh intrik.

Pertanyaan ini menggiring kita pada perdebatan yang lebih panjang, mengenai letak garis antara negosiasi yang sehat dan manipulasi yang menjurus pada intrik.

Kita semua, mau tidak mau pernah terlibat dalam negosiasi. Entah saat menawar harga di pasar loak, diskusi gaji di ruang HRD, atau, lebih subtil lagi, ketika memutuskan siapa yang akan mencuci piring di rumah. Negosiasi (jika kita telisik lebih jauh) adalah permainan psikologis.

Jika ada satu senjata yang paling mematikan dalam negosiasi, maka itu adalah kemampuan mem-frame (atau membingkai ulang) konteks. Dalam dunia persenjataan psikologis, framing adalah peluru kendali berpresisi tinggi. Anda bisa mengubah persepsi orang lain hanya dengan cara menyusun kalimat.

Kuncinya adalah jangan biarkan lawan bicara tahu bahwa kita menginginkan sesuatu terlalu kuat. kata sebuah pepatah kuno yang entah dari mana asalnya.

Kalau kita bicara soal teknik “anchoring” dalam negosiasi, misalnya, kita mungkin sedang membahas sesuatu yang sudah mendekati teritori manipulatif.

Saya beri contoh situasi yang saya alami sendiri. Baru-baru ini saya bernegosiasi harga sewa rumah, dan si pemilik meluncurkan angka yang tinggi sebagai titik awal. Sayangnya saya tahu bahwa niatnya mematok angka terlalu tinggi disisipkan bukan untuk disetujui, melainkan untuk menjangkar persepsi Saya.

Tujuan dia adalah mengkondisikan pikiran Saya bahwa apapun yang di bawahnya adalah “reasonable.” Inilah anchoring. Anchoring dalam dunia negosiasi artinya adalah trik psikologis yang memanfaatkan keterbatasan persepsi manusia.

pexels-pavel-danilyuk-8152735.jpg

Photo by Pavel Danilyuk

Otak kita cenderung mencari patokan angka pertama yang diberikan, lalu menggunakannya sebagai titik referensi. Jadi, anggaplah ketika harga rumah yang diminta Rp 2 juta per bulan, otak kita secara otomatis mengkalibrasi penawaran di kisaran itu, meski mungkin nilai wajar sewa hanya Rp 700 ribu (mengingat atapnya yang bocor atau luasnya yang tidak seberapa).

Banyak yang mungkin berpikir, “Tapi kan ini trik yang sah dalam negosiasi. Benar, tapi di sinilah perbedaan subtil antara negosiasi dan manipulasi menjadi kabur. Manipulasi memanfaatkan kelemahan psikologis lawan bicara—kadang bahkan tanpa disadari oleh korban—untuk mencapai tujuan pribadi. Negosiasi secara ideal seharusnya menjadi arena di mana kedua belah pihak berusaha menemukan jalan tengah yang adil.

Ketika teknik seperti “anchoring” atau “pembingkaian ganda” masuk ke dalam permainan, kita tidak lagi bicara soal persetujuan yang sehat melainkan strategi untuk membelokkan persepsi.

Dalam negosiasi, heuristika bisa dieksploitasi dan seringnya memang begitu. Contohnya ya teknik framing yang sudah saya sebutkan tadi. Seseorang yang ahli dalam framing bisa membingkai ulang suatu tawaran sedemikian rupa hingga membuatnya tampak lebih menguntungkan, meski pada dasarnya tidak ada perubahan signifikan dari isi tawaran itu.

Anda mungkin pernah mendengar frasa “value for money” yang sering digunakan oleh salesman. Itu juga framing. Mereka tidak mengubah harga melainkan cara Anda melihat nilai dari harga tersebut.

Mari kita tarik balik pada konsep ethos, pathos, dan logos-nya Aristoteles. Dalam negosiasi, logos adalah logika yang Anda bawa dalam argumen Anda, pathos adalah emosi yang Anda bangkitkan, dan ethos adalah kredibilitas Anda sebagai individu yang dapat dipercaya.

Manipulasi bermain pada pathos—emosi—sembari mengabaikan logos dan meremehkan ethos. Ketika Anda memanfaatkan emosi tanpa dasar logika atau tanpa memperhatikan etika, itulah manipulasi dalam bentuk paling jelasnya.

Tetapi batas ini tidak selalu mudah dikenali di dunia nyata. Ada negosiator ulung yang mampu menggabungkan ketiganya dalam satu alur sekaligus. Orang-orang ini tahu kapan harus memainkan peran sebagai pendukung, kapan harus menjadi antagonis, dan kapan harus menarik simpati.

Tidak jarang negosiator ulung ini bahkan memanfaatkan kelemahan Anda. Bukan dengan niat jahat atau untuk melukai, tetapi hanya untuk mencapai tujuan mereka semata. Mereka memanfaatkan loss aversion (kecenderungan untuk takut kehilangan sesuatu daripada bersemangat mendapatkan sesuatu yang baru).

Tentu tidak semua orang akan jatuh pada trik framing yang halus ini. Ada kalanya lawan bicara Anda lebih lihai daripada yang Anda bayangkan, atau lebih parah lagi mereka yang mencoba memanipulasi Anda.

Tetaplah waspada dan memegang teguh prinsip negosiasi yang sehat. Jika Anda merasa lawan bicara mulai menggunakan teknik manipulatif, ingatlah bahwa Anda selalu punya pilihan untuk keluar dari permainan. Knowing when to push, when to pull, and when to walk away.

Tidak ada yang lebih berbahaya dalam negosiasi ketimbang terjebak dalam permainan psikologis tanpa jalan keluar.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.

Terkadang dalam kondisi tertentu salah satu pihak tidak mampu mengendalikan diri sehingga terjebak dan mengikuti kemauan adversary. Saya sependapat dengan pernyataan mas el.

Saya pernah mengalami hal yang sama, namun dalam lingkup yang berbeda, sebagai Nakes, melayani pasien dalam kondisi kritis (kegawatdaruratan) merupakan rutinitas harian, mengendalikan diri menjadi aspek penting dalam menentukan prioritas tindakan yang harus diterapkan berdasarkan diagnosis yang ada.

Saya melakukannya dengan baik, tetapi kondisinya berbeda ketika dihadapkan ketika anakku tetiba sakit dan membutuhkan tindakan segera, saya panik dan tidak dapat berfikir logis. Padahal penanganannya sangat sederhana.

Nah, terkait dari kasus medis dan seni dalam negosiasi, saya pikir faktor emosional memiliki peran strategis, berfikir jernih dan mampu menyikapi pesan yang disampaikan oleh adversary.

If you want something very badly the greed in the eyes of the "seller" can be noticed. The easiest way is to show a neutral face or turn around and leave. Not as easy if it concerns health especially if it is your child but since you have a advance here I wonder why your emotions took over.

It's a bad thing if health/healthcare is something we have to bargain about. If that happens it definitely is manipulation. Doctors, medicals swore an oath (unlike vets). 🤔

😕

You’ll see someone’s true character when their wants go unsatisfied. It’s often greed that transforms people into something monstrous.

Memang sejatinya kita makhluk emosional, tapi kita kerap abai dengan kebenaran tersebut. Entah karena ego atau apa saya juga gak tahu persis. Saya baru mendengar frasa bagus baru-baru ini, kira-kira isinya “manusia tidak mengambil tindakan secara rasional, tetapi merasionalisasikannya berdasarkan keputusan emosional”

Rasa kepemilikan (sense of belonging) dan keterikatan (attachment) terhadap sesuatu erat sekali kaitannya dengan tinggi rendahnya emosial yang kita alami. Kondisi yang sama bisa menghasilkan respon hormonal yang sama sekali berbeda di otak kita. Dalam kasus anda saat si kecil sakit, misalnya.

Memang sulit untuk berpikir jernih ketika sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang yang punya keterikatan kuat dengan kita. Kecerdasan emosional saja tidak cukup.

Loading...

I don't believe the average salesman/"seller" thinks as far as you do although you described well how it influences our brain and acts.

It is always manipulation and they learned that trick. If you do it to make a living and are good at it this most likely is the character of that person. No matter how you take it, it is scam and the question is if this is "honest" work but it is the same as what the rich and famous do so following that example is the road that leads to success.

If you know how profit is build one can calculate the real price. With us all houses have points it it comes to m2, location, water, age and so on so it's harder to fool but it happens and the worst is renting a room from a private person.

I don't like to bargain about a prize. Mosy of all the brutal face of the one who wants to sell. It's a worldwide scam especially on markets and those selling secondhand items. Since I rarely care I set a prize I am willing to pay (old or new) next I look around and see who sells the best/most for that price.

Those who (tried) to fool me I turn my back and never return again. It's what we do with 1 supermarket no. It's the nearest but we haven't been there since 1 year. I rather order groceries from abroad.

I also do not buy if salesman are rude, scream, yell or try to manipulate.

How about the leaking roof?

♥️🍀

I actually believe that people who are highly self assured have a natural ability to manipulate others to satisfy their desires. Greed is the driving force. In desperate times they’d be willing to sacrifice someone else’s life just to feed themselves. And that’s what we call negotiation. I can still tolerate negotiation tactics like framing, where the negotiator tells the truth but wraps it up in a prettier “package”

Little Fatiya and her mom were catching rainwater that leaked through the roof with whatever buckets and containers they could find around the house. It’s the rainy season now, and this was her big chance to splash around.

The happier she was catching those raindrops, the more torn i felt inside. But it’s all fixed now. I patched up the roof with the owner’s permission.