Stereotip adalah lensa sempit yang dikenakan masyarakat untuk memandang hidup. Aku menyebutnya sebagai sebuah “predisposisi kolektif.” Mengecap seseorang dengan label tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan kedalaman dan keberagaman spektrum di dalam diri.
Ia menyusup di antara lipatan-lipatan percakapan ringan, menelusup dalam aliran interaksi seakan menjadi bagian dari struktur DNA komunikasi antarmanusia. Dalam skala yang lebih jauh, stereotip tidak hanya sekadar memberangus kebebasan orang perorangan, namun juga mematri harapan-harapan yang penuh denga. absurditas.
Tak terkecuali aku sendiri, yang oleh keluarga besar kerap dicap sebagai anak ambisius, nerd, dan si kutu buku. Sebuah tudingan yang jujur saja, kerap kali membuatku tertawa getir. Seolah ambisi menjadi satu-satunya komoditas yang layak diperebutkan dalam arena kehidupan yang semrawut ini. Cerita-cerita selalu terdistorsi saat berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya.
Namun, apakah stereotip semata-mata representasi simplistik dari kenyataan yang ada? Sebagaimana sebuah lukisan impresionis, stereotip hanya menangkap kilasan-kilasan cahaya dan melupakan bayangan serta kontur yang membentuk keseluruhan isi gambar. Stereotip bukanlah esensi, melainkan proyeksi. Kadang lebih menceritakan tentang mereka yang memberi label daripada yang dilabeli.
Kenyataannya, aku tak pernah berambisi mengejar materialisme atau titel gemerlap yang berkilauan di dunia fana ini. Semua keberuntungan yang terjadi padaku selama ini datang begitu saja tanpa pernah kuharapkan, apalagi kuperjuangkan dengan sekuat tenaga. Beberapa orang berambisi menaklukkan puncak Everest, sementara yang lain hanya ingin menikmati damainya lembah di bawahnya, ‘kan?
Namun, karena suatu kebetulan—atau mungkin malapetaka—sejak kecil aku telah memiliki pencapaian-pencapaian yang dianggap luar biasa oleh standar keluarga besarku. Meski dalam kacamata dunia mereka mungkin tak lebih dari sekadar serpihan prestasi yang tak terlalu prestisius.
Hal-hal tersebutlah yang membuatku terlihat 'outstanding' di antara sepupu-sepupuku. Meski semua pencapaian itu bukanlah hasil dari sebuah ambisi yang besar atau keinginan untuk melampaui batas-batas yang ada. Itu hanyalah buah dari rasa penasaranku, ditambah dengan sedikit kegigihan untuk menyelesaikan apa yang sudah kumulai.
Dan jika saja keluarga besar tahu betapa jauhnya aku dari ekspektasi mereka yang sebenarnya, mungkin mereka akan lebih memilih untuk tidak tahu sama sekali.
Stereotip itu sendiri kemudian menjadi manifestasi. Contohnya ketika para sepupuku dihadapkan dengan tugas-tugas yang dianggap sulit, tanpa berpikir dua kali mereka akan dengan mudahnya datang ke rumahku untuk meminta bantuan. Lebih-lebih jarak antara rumah kami yang hanya sepelemparan batu (beberapanya masih se-lorong malah). Ini terus berlangsung hingga sekarang, bahkan ketika kami semua sudah beranjak dewasa.
Terakhir, saat sepupuku yang perempuan, yang tengah menempuh semester akhir di salah satu sekolah tinggi di Lhokseumawe, datang kepadaku dengan proposal skripsi yang belum sempurna. Dalam keadaan yang demikian, aku tidak punya pilihan lain selain membantunya
Pada akhirnya, di tengah-tengah kesibukan pribadi, aku terpaksa meluangkan waktu untuk memperbaiki proposalnya. Terutama pada bagian bab 1 yang memang masih belum substansial. Beberapa perbaikan kulakukan di sana-sini, termasuk memperkuat argumen, menambahkan referensi yang sesuai, dan menyusun ulang struktur logika yang lebih kuat.
Gadis itu percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semua tugas akademiknya. Yang tidak pernah ia ketahui adalah bahwa aku sendiri kerap kali merasa tidak yakin dengan pengetahuanku, apalagi ketika berhadapan dengan sesuatu yang di luar bidangku.
Proposal tersebut akhirnya diseminasikan. Alhamdulillah ia lulus dengan baik. Aku tak sempat datang saat seminar proposalnya dilangsungkan, dan sebagai gantinya, aku mentraktirnya segelas kopi dan donat beberapa hari setelahnya.
Tetapi ini baru setengah jalan. Kini gadis itu harus melanjutkan ke tahap laporan akhir, dan tahukah apa yang terjadi? Dia datang lagi kepadaku, kali ini meminta bantuan sebagai "joki" skripsinya. Permintaan ini kutolak dengan alasan bahwa skripsinya berjenis kuantitatif dan aku belum menguasai software analisis kuanti seperti SPSS dan sejenisnya.
Alasan ini memang terdengar klise, tetapi jujur, aku belum pernah benar-benar mempelajari SPSS dengan baik. Saat mata kuliah analisa data di semester lalu, aku lebih sering cabut dari kelas daripada mendengarkan dosen ceramah. Oh, betapa kontradiksinya!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Tysm
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Please share your opinion about "aid"
https://steemit.com/hive-153970/@wakeupkitty.pal/contest-or-25-word-comment-monkey-business-or-aid-6-steem
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Siap!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit