Tiba-tiba notifikasi WhatsApp berbunyi. Kali ini dengan runut suara yang tak biasa. Sekitar lima grup yang menampung saya di dalamnya memberitakan informasi yang sama: kabar duka. Iya. Mertua guru kami, Dr. H Helmi Imran sekaligus guru besar dayah MUDI dikabarkan meninggal. Tapi bukan itu intinya. Guru kami dalam satu Tahun terakhir sudah kehilangan setidaknya empat orang yang beliau cintai. Istrinya, ibundanya dan kedua mertuanya.
Bayangkan jika itu yang terjadi terhadap kita. Bagaimana kita akan mengekspresikan itu. Seberapa sedih? Mungkin, hanya mungkin istri saja yang hilang satu bulan tanpa kabar satu ember sudah tidak sanggup menampung air mata. Demikian saya berpikir sekitar pukul 07:00 setelah membaca kabar duka itu.
Tidak berhenti di sana. Pikiran saya bahkan menusuk ke sisi lain. Terus terang selama ini saya acap kali memosisikan diri sebagai salah satu yang sarat cobaan. Mungkin sama. Mulai keterbatasan finansial serta kesederhanaan dalam pencapaian. Kabar ini meski tidak sepenuhnya membuat saya sadar, setidaknya telah mengingatkan bahwa di luar sana masih banyak mereka yang ditimbun beban serta cobaan yang lebih berat.
Selama ini, mungkin saya saja yang buta akan realitas yang sesungguhnya. Saya amat mengimani bahwa pikiran saya kental dibangun oleh rasa syukur atas pemberian yang masih sangat minim. Jadi, kesimpulannya tentu sama sekali tidak merepresentasikan orang yang telah mampu mengekspresikan nilai-nilai keimanan yang selama ini saya suarakan di banyak tempat.
Saya amat menyesali akan hal itu.
Sekitar jam 08:00, sesuai dengan kesepakatan dalam dalam grup halaqah Aba Nisam, kami menuju ke rumah duka untuk menyelesaikan fardu kifayah. Tempat tujuan tidak jauh dengan komplek dayah MUDI. Mungkin hanya sekitar 400 meter. Di sana, kami ikut membatu apa yang bisa. Saya tidak sempat mengambil foto.
Apa saja yang saya lakukan ini, bagi saya bukanlah sebuah momen, melainkan untuk muhasabah diri. Idah sebanyak banyak mana kebaikan saya telah tertabung serta dosa besar mana yang harus saya tobat sesegara mungkin. Itu yang saya ingat. Jadi gak sempat dan sama sekali tidak ingat untuk mengambil foto.
Setelah semua tugas selesai di rumah, basa satu kawan, saya menuju ke Rasie Kopi. Sebelumnya saya ingin balik ke pesantren untuk istirahat mengingat jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Tapi karena teman yang bernama Farizi memaksa.
di Rasie Kopi
Di Rasie Kopi saya manfaatkan waktu untuk membaca salah satu buku berbahasa Arab. Al-Madkhal Ila mazhab al-imam al-Syafi'i. Sebenarnya buku inj bukan pertaman kali saya baca. Bahkan bulan yang sudah pernah, tapi hanya beberapa lembar saja. Alasan kenapa gak baca sampai tuntas, karena saya hanya memilikinya dalam bentuk PDF. Jadi yang namanya PDF tahulah ya? Gimana kecepatan membacanya.
Buku yang saya baca
Malam harinya, setelah selesai salat magrib saya coba menulis hasil bacaan tadi siang. Mungkin tidak sampai 20 persen yang saya baca tadi saya tulis. Ia hanya sebagai bentuk poin-poin ini. Tulisan itu kemudian saya muat di Facebook saya. Tapi lumayan, bisa menghasilkan sekitar 400 kata lebih.
tanggapan layar tulisan yang saya post di Facebook
📷 Picture | Photography |
---|---|
Model | iPhone Xs Max |
iOs | 18 |
Camera used | Handphone |
Photographer | @joel0 |
Location | Aceh |
Edit | lnCollage |