Lagu Kehidupan
Bagian 1 – Titik Terendah
Aldo duduk di ujung tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding kamar yang kusam. Jam digital di meja kecil menunjukan angka: 02:43 pagi. Ia sudah terbiasa tidur di jam-jam aneh seperti ini—atau bahkan tidak tidur sama sekali. Malam selalu terasa panjang dan sunyi, seolah bersekongkol untuk menyiksa pikirannya yang tak henti-hentinya merenung.
Gorden kamar tertutup rapat, membiarkan hanya sedikit cahaya dari lampu jalan masuk ke dalam ruangan yang berantakan: tumpukan pakaian berserakan di lantai, beberapa botol bir kosong tergeletak di sudut, dan cucian yang sudah berminggu-minggu tak tersentuh. Kamar itu seperti cerminan hatinya—berantakan dan penuh kekacauan.
Sudah tiga bulan sejak ia dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan Alat Kesehatan. Segalanya terjadi begitu saja, Tidak ada peringatan sebelumnya. Suatu hari, bosnya memanggil ke ruang rapat dan menyampaikan dengan datar bahwa perusahaan harus "melakukan penghematan." Aldo hanya duduk membisu waktu itu, menandatangani surat pemutusan hubungan kerja tanpa perlawanan. Ia bahkan tak merasa marah—hanya kosong.
Sejak saat itu, hari-harinya seperti tak berujung. Ia mencoba mencari pekerjaan baru, tapi setiap email lamaran yang ia kirim hanya berakhir dalam daftar penolakan atau—yang lebih sering—tidak mendapatkan respons sama sekali. Uang tabungannya semakin menipis, dan kartu kreditnya mulai penuh dengan tagihan yang menumpuk.
Hubungan dengan keluarganya juga merenggang. Ibu dan ayahnya yang tinggal di kota lain selalu bertanya, “Kapan mau kerja lagi?” atau “Kenapa nggak coba bisnis kecil-kecilan saja?” Aldo hanya bisa menjawab dengan senyum hambar dan alasan-alasan klise. Ia terlalu malu mengakui bahwa ia bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.
Teman-temannya? Mereka dulu sering nongkrong bersama, tapi kini hanya ada pesan singkat yang semakin jarang muncul. Semua orang sibuk dengan hidup mereka sendiri—karier, pasangan, keluarga—sementara Aldo merasa tertinggal jauh di belakang. “Nanti kalau ada waktu kita ketemu, ya,” begitu kata mereka, tapi waktu itu tidak pernah datang.
Malam ini, pikiran buruk kembali menghantamnya. Apa gunanya hidup kalau semua terasa seperti beban? Sepertinya tidak ada jalan keluar. Setiap keputusan yang pernah ia buat kini terasa seperti kesalahan. Seandainya dulu ia tidak mengejar pekerjaan yang katanya “stabil,” mungkin ia masih bisa mencoba peruntungan di musik—hal yang dulu membuatnya bahagia. Tapi mimpi itu terasa jauh sekarang. Terlalu jauh.
Aldo memegang teleponnya dan membuka aplikasi media sosial. Scroll tanpa tujuan, melihat kehidupan orang lain yang tampak jauh lebih baik: teman-teman yang berlibur ke luar negeri, menikah, mendapat promosi, atau sekadar memamerkan kucing peliharaan mereka. Semua itu hanya menambah rasa frustrasinya. Kenapa hidup orang lain terlihat mudah sementara ia merasa tersesat?
Tanpa sadar, ia membuka aplikasi perbankan. Saldo di rekeningnya hanya tersisa beberapa ratus ribu rupiah. Nafasnya memburu. Kepanikan merayap pelan-pelan—menguasai tubuhnya seperti gelombang dingin yang tak terhindarkan. “Aku tidak bisa begini terus,” gumamnya pelan, suara itu nyaris tenggelam dalam gemuruh pikirannya sendiri.
Aldo bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Di sana, ia membuka lemari dan melihat botol minuman keras terakhirnya. Ia memegangnya erat, menimbang-nimbang. Apakah ini akan mengakhiri rasa sakit itu? Setidaknya, pikirnya, ia bisa lari sejenak dari kekacauan ini, meskipun hanya untuk beberapa jam.
Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ketika ia hendak membuka botol itu, sesuatu di dalam dirinya menahan. Bukan rasa takut, tapi rasa lelah—lelah karena terus-menerus lari. Apakah hidupku akan terus seperti ini? pikirnya. Entah dari mana datangnya, sebuah pertanyaan muncul di benaknya: Apakah mungkin ada cara lain?
Ia meletakkan botol itu kembali dengan tangan gemetar, lalu menutup lemari. Sesuatu di dalam dirinya, sekecil apapun, menolak untuk menyerah.
Aldo kembali ke tempat tidur dan menatap langit-langit kamar yang gelap. Ia tahu besok pagi akan sama sulitnya seperti hari-hari sebelumnya. Tapi untuk malam ini, ia memutuskan untuk bertahan sedikit lebih lama. Meski hanya untuk melihat apakah hari esok akan membawa sesuatu yang berbeda.
“I don’t like my mind right now, Stacking up problems that are so unnecessary, Wish that I could slow things down, I wanna let go but there’s comfort in the panic, And I drive myself crazy, Thinking everything’s about me, Yeah, I drive myself crazy, ‘Cause I can’t escape the gravity.”
Heavy – Linkin Park
Bersambung
Read Full Story On Short Story
Thank You For Reading My Post and Thank You For All Curators for the Endless Support, Until Next Time, Peace✌️ and Love ❤️ from Indonesia
Here I Am Explore and Expose The Exotic, Regards @mytravelandscape
| Travel Story| Thought| Short Story| YouTube
Makassar 29 Oktober 2024
Unless otherwise specified, text and photos are copyright
| Travel Story| Thought| Short Story| YouTube
Makassar 29 Oktober 2024
Unless otherwise specified, text and photos are copyright
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit