yang hidup dalam bayang-bayang, yang berdiang di dalam kenang, yang menerawang cahaya terang benderang
aku hanya sekedar topeng, katanya. diraut mukanya dengan belati paling tajam: senyum paling pedih
tapi sunyi ini, tuan, kau tahu artinya? di menara itu kau telah merasakannya. menunggu waktu tiba
aku hanya topeng. tergantung di sudut yang mengekalkan sunyi dan debu. sunyimu tuan, yang abadi
sesunyi itukah harimu? malam-malam merayap pelan sekali. dan engkau tak segera tidur
televisi tak bisa menghiburmu, penuh omong kosong, dan dadamu kian kosong. hampa. sunyi tak bertepi
aku hanya topeng, katanya. di malam yang mengekalkan sunyinya. di sudut itu dia menatapmu yang sendiri
di puncak malam, dia merapal mimpi, meramal detaknya sendiri
biar kuabukan semua gelisah ini, katanya. sepasang mata topeng, menatap gelisahnya, dari sudut sepi. demikian remang
bacakan aku dongeng, katanya. halaman-halaman yang menguning, lembar-lembar yang merapuh, usia yang merindu masa kanak
akan kuabukan diriku sendiri, katanya. serupa phoenix yang mengabu dan mengada kembali. begitulah dongeng sebelum tidur