BAKSO DAGING MANUSIA
PART 14 (Bonus full part di KBMApp)
Aku mengamati dari jauh saat Bang Rohman berbincang dengan Pak Memet. Hati tak tenang, sebelum Bang Rohman berhasil pulang dengan dua mayat tersebut.
"Rin!" pekik Sita. Suaranya mengagetkanku. Buru-buru bersikap normal agar dia tak curiga.
"Iya, ada apa? Ngapai mesti teriak sih?" protesku kesal. Sita terdiam melihat ekspresi marah di wajahku.
"Bercanda, Rin. Kok sensi gini sekarang?" tanyanya heran.
Ibu aku jadikan alasan atas kegelisahanku. Sita hanya mangut-mangut. Memintaku untuk tenang dan berserah pada Sang Pencipta. Sungguh! Tak ada satu pun hal yang terjadi tanpa campur tangan Allah.
"Ngapain di sini? Lihat apa sih?" Selidik Sita. Matanya mengarah ke sekeliling kami.
"Nggak ada, lihat sekeliling saja, Sit. Abisnya nggak tahu mau buat apa. Ibu lagi tertidur di kamar," dalihku.
"Benaran? Jangan bilang lagi pantau Pak Memet, ya?" selorohnya dengan kekehan menyebalkan.
"Pantau Pak Memet? Ngaco kamu. Seleraku masih normal. Masih banyal lelaki muda di sini," ketusku berang.
"Syukurlah, Abisnya mainnya sama Mang Japra, Kang ojek, Pak Memet, nggak pernah aku lihat mainnya sama yang muda," tukas Sita dengan nada mengejek.
"Truuus ... mainnya harus sama Bang Rohman gitu? Yang tampan-tampan itu rada-rada aneh. Bikin ngeri, mending bergaul sama yang tua. Nambah pengalaman," tukasku sok benar.
"Udah, nggak usah berdebat. Tengokin, Ibu, yuk!"
Sita menarik pergelangan tanganku. Dia tidak menunggu persetujuan dariku. Arrgh! Aku tidak bisa menyaksikan proses yang Mbah Rohman lakukan. Memaksa di sini terus juga akan membuat Sita curiga.
Kami memasuki ruangan tempat Ibu di rawat. Kondisinya memperihatinkan. Tak tega melihat wajah tuanya menahan kesakitan yang tak mampu dijabar dalam kata.
Hati berderit pilu menyaksikan penderitaan Ibu. Sita juga ikut bersedih, terlihat dari air mata yang mengalir di pipi.
Tiba-tiba, Hamid masuk ke ruangan Ibu dirawat. Dia membawa makanan untuk kami. Perhatiannya semakin terlihat saat Ibu dirawat.
"Alhamdulillah semua mayat sudah diambil keluarganya," ujar Hamid memulai pembicaraan.
"Alhamdulillah. Semoga segera dikuburkan dengan layak," sahut Sita pelan.
Seketika perasaan lega menghampiri. Tersenyum bahagia atas keberhasilan Bang Rohman mengambil mayat tersebut. Untung besar, aku tak perlu bersusah payah memikirkan biaya hidup ke depan.
Nanti malam, aku harus menemui Bang Rohman. Membicarakan rencana lanjutan. Tak sabar menemui lelaki yang sentuhannya mengetarkan naluri kewanitaanku.
Suara jangkrik malam memenuhi gendang telinga. Pendar cahaya terlihat dari lampu-lampu dalam rumah tetangga Bang Rohman. Melangkah pelan agar tidak menimbulkan suara. Tak ingin tetangganya tahu. Aku menyelinap malam-malam ke rumah tetangga mereka.
Diambang Pintu Bang Rohman sudah menungguku. Wow! Dia bertelanjang dada. Jantung berdetak kencang bukan karena takut. Namun, aku telah jatuh hati. Tak peduli lagi siapa lelaki di hadapanku yang jelas hati ini berdesir saat melihatnya.
Aku segera masuk tanpa menunggu perintah. Pintu tertutup dengan sangat cepat. Tangan Bang Rohman mengapai tubuhku, direngkuh dan pelan-pelan didekapnya erat. Hingga aku kesulitan bernafas.
"Sayang, Abang berhasil. Semuanya berjalan mulus," bisiknya. Luapan kegembiraan terlihat dari nada bicaranya.
"Baguslah, Bang ...." ucapanku tak bisa aku selesaikan. Karena bibir Bang Rohman sudah membungkam mulutku.
Aku hanya menikmati setiap sentuhannya. Memabukkan. Serangan Bang Rohman bak Bom Atom yang meledakkan nafsu yang selama ini terpendam.
"Sayang, maaf. Abang nggak bisa menahannya lagi," desah Bang Rohman.
Napasku memburu, detak jantung bak genderang mau perang. Kutolak pelan setiap sentuhannya. Upayaku membuat nafsunya kian bergelora.
"Mana uangnya untuk aku, Bang?" tanyaku cepat.
"Tenang, uangnya nanti. Biarkan Abang menuntaskan rindu dulu, Sayang," jawabnya manja.
"Uh! Harusnya aku datang disediain minum, disuruh duduk dulu. Ini maen nyosor terus," protesku manja. Ah! Aku tak bisa lagi mengendalikan diri di depan lelaki ini. Tamat riwayatku.
Bang Rohman membimbingku untuk duduk. Namun, bukan dikursi seperti biasanya. Melainkan memasuki kamar pribadinya.
"Kenapa kesini, Bang?" tanyaku pelan.
"Abang mau memelukmu sepuas hati Abang," jawabnya dengan kedipan mata nakal.
Bang Rohman menatapku tanpa kedip. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Serangan-demi serangan dia luncurkan tanpa ampun. Aku sampai kewalahan menghadapinnya.
Kami berdua tenggelam dalam surga dunia. Hingga peristiwa nikmat itu tak terelakkan.
"Aku puas, Sayang," desisnya dengan peluh membajiri sekujur tubuhnya.
Ya Tuhan! Aku telah melewati batas yang seharusnya. Menyerahkan keperawananku pada lelaki keji. Namun, pesonanya membuat aku terkubur ke dalam cintanya. Bulir bening mengalir. Penyesalan itu selalu hadir terlambat.
Menyadari air mata mengalir di pipiku. Bang Rohman segera mengusapnya pelan. Mendengungkan janji akan bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi ke depannya.
"Bagaimana kalau aku hamil?" tanyaku seketika.
"Abang akan bertanggung jawab. Setelah Ibu sembuh kita menikah," jawabnya tanpa pikir panjang.
"Benarkah itu, Bang?"
"Benar." Aku meneliti bola matanya. Tak ada binar kebohongan.
"Aku mohon, jagan campakkan aku setelah apa yang kita lewati," pintaku.
Bang Rohman membingkai wajahku dnegan kedua tangannya. Diangkat daguku pelan.
"Rini, Abang mencintai kamu. Abang akan segera melamar kamu dan kita mulai hidup baru," ucapnya merdu.
Aku menatap tak percaya. Akankah dia serius akan bertanggung jawab? Kenapa ada ragu disaat aku ingin menyakini yang terjadi padaku sekarang ini.
"Aku akan menunggu," jawabku malu.
"Abang tidak akan melanggar janji Abang." Kecupan hangat kembali berlabuh di bibirku.
"Aku harus pulang, sudah larut malam," ucapku. Beringsut turun dari ranjang yang tak lagi empuk. Entah sudah berapa puluh tahun tak diganti.
Bang Rohman mengeleng. Menarikku kembali dalam pelukannya. Aku akan diantar kembali ke rumah sakit setelah melayaninya sekali lagi.
Aku setuju, mengangguk kepala dengan malu. Tak dapat kupungkiri. Sentuhannya membuat gairah hidup meletup-letup ke permukaan.
Puas menjamahku. Bang Rohman membawaku ke kamar mandi. Bau amis dan anyir menguar. Namun, tak begitu aku tanggapi. Cepat atau lamban aku harus terbiasa dengan situasi seperti ini. Karena aku akan segera menjadi istrinya. Uh! Tak bisa membayangkan digagahi lelaki tampan setiap malamnya. Nikmat.
"Sayang, hati-hati," bisik Bang Rohman dalam kegelapan malam.
"Iya, makasi untuk malam ini," ucapku. Pipiku terasa panas.
Setiap langkah yang kuayun terlalu indah untuk dilewati. Karena berusaha mengingat bayang indah yang memabukkan. Kuraba bibirku, uh! Rasanya tak ingin jauh dari Bang Rohman.
"Rini! Dari mana saja kamu? Aku telepon kok nggak diangkat?" tanya Sita sentengah berteriak.
"Apaan sih? Orang baru datang diomelin. Ada apa?"
"Apa ada apa? Ibu kamu masuk ruang ICU, eh kamu kelayapan entah kemana."
Aku tidak meladeni kemarahan Sita. Segera berlari menuju ruang ICU. Sita berusaha menjejeri langkahku. Dia terus saja mengomel tanpa henti.
"Ibu drop. Kemungkinan besar tidak akan selamat," ungkap Sita.
"Kamu bukan Tuhan. Ibuku pasti selamat!" jeritku.
"Berdoa saja sama Allah. Harusnya kamu disisinya bukan malah kelayapan nggak jelas."
"Diam, kamu tidak tahu apa-apa, jadi diam!" tegasku kasar.
Saat aku mencapai depan ruang ICU, Dokter wanita itu keluar dengan ekspresi tak bisa aku tebak.
"Dok, Ibu saya ...."
"Maaf, kami sudah berusaha, Rin. Namun Allah berkata lain," ucapnya seraya menepuk bahuku pelan.
Aku menjerit histeri. Meraung bak singa betina kehilangan anaknya. Berlari ke dalam ruangan. Para perawat sedang melepas alat penompang kehidupan yang sempat dipasangkan di tubuh Ibu.
Aku menjerit meminta maaf, tak sempat menemani saat terakhir wanita paling berarti dalam hidupku. Meski aku tahu ini perbuatan sia-sia. Ibu tak mampu mendengar isak tangisku.
Sita memelukku erat. Menenangkanku dengan berbagai cara. Baru saja aku merasakan indahnya dunia. Namun sekarang Tuhan memberiku kesakitan yang luar biasa.
"Tenang, Rin. Ini ketetapan Allah SWT. Aku akan meminta Hamid untuk segera mengurus kepulangan jenazah Ibu. Urusan pekerjaan kamu, biar aku yang handle," tukas Sita. Di beranjak keluar mencari Hamid. Lelaki yang kami andalkan selama ini. Walau ikatan hanya sebatas sahabat.
Situasi rumahku dipadati para pelayat. Tetangga dan sebagian besar rekan di rumah sakit. Jenazah Ibu dibaringkan di ruang tengah. Aku hanya tertunduk lesu. Air mata terus bederai tak berhenti.
"Sabar, Sayang." Aku terperanjat mendengar suara Bang Rohman di telinga.
Memalingkan muka, hingga wajah kami terkikis jarak. Ekspresinya memintaku untuk tenang. Belum sempat berbicara panjang lebar. Sita datang menghampiri. Bang Rohman menjauh berbaur dengan kerumunan warga lainnya.
"Rin, kenapa Bang Rohman ke sini?" tanyanya pelan.
"Nggak tahu," jawabku seolah tak tahu menahu perihal kedatangan Bang Rohman.
"Hati-hati, Rin. Takutnya dia mengincar mayat Ibu kamu," ucap Sita. Ketakutan jelas terbaca dari nada bicaranya.
"Jangan ngawur kamu, dia sudah janji mau bertobat," jawabku.
"Alah, mana jelas orang macam dia. Hati-hati saja. Lebih baik, kuburin Ibu di dekat rumah. Aku akan bilang sama penggali kuburnya," ujar Sita.
Dia berlalu tanpa menunggu persetujuan dariku. Mana mungkin Bang Rohman menginginkan mayat Ibu. Mayat kemarin saja belum dieksekusinya. Lagian aku tidak akan mengizinkan jasad Ibu dijadikan bakso. Aku tak rela.
Bersambung
Akankah kecurigaan Sita terbukti?
Apakah Rini akan tergoda menyerahkan jasa Ibunya?
Pantau terus, ya!
BAKSO DAGING MANUSIA
— Novi Aprilia
Profesiku sebagai staf di salah satu rumah sakit membuatku terbiasa dinas, hingga tengah malam. Tidak ada lagi rasa takut dalam diri ketika harus melewati pemakaman menuju jalan utama penghubung desa.
Suatu malam yang tak disangka-sangka aku menyaksikan aksi pencuri mayat di area pemakaman. Rasa penasaran mengantarkannya pada suatu kenyataan yang menjijikkan.
Rencana awal berubah total, saat aku tergiur dengan lembaran merah yang dilempar sang pelaku ke wajahnya. Nafsu bergelora membuatnya mengorbankan sahabat dan Ibuku.
Mau tahu siapa yang mencuri mayat di pemakaman? untuk apa? dan bagaimana keseruan ceritanya? pantau terus, ya!
Tentunya akan ada give away koin emas!
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link dibawah :
[WhereIn Android] (http://www.wherein.io)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit