Kembali bercengkrama bersama teman sepekerjaan, si pemberi kabar di media massa. Sore itu di sudut sebuah warkop tak ramai di Simpang Kota Tua. Masih seperti kemarin, kita bahas hal kecil tentang apa yang terjadi hari ini. Pastinya untuk berita dan berita.
Satu jam berlalu, kawan-kawan masih berkutat dengan pekerjaan. Ada yang mengeluh sumber berita tak terkonfirmasi. Data yang belum lengkap. Ada juga yang sibuk mengedit tulisan di laptop tapi tak kunjung selesai.
“Yuk cari hiburan,” kataku. Rahmad si fotografer mahir langsung bangun dari kursi plastiknya “ Yok !”sambil seruput sisa kopi pancung di gelas bening.
Sebuah pesan masuk ke WAG kami. “ada musik disana , ini ada undangannya,” seru Jai semangat. Ternyata sore itu ada acara makan dan musik disitu . Biasa kami diundang untuk sekedar mengambil rilis berita. Kali ini beda ada acara makan-makannya juga.
Motor kami pacu beriringan, hanya butuh 10 menit tiba dititik tujuan. “bereh..! ada yang main gitar,” ucap Rama si Kribo girang melihat ada panggung dalam ruang pertemuan itu.
Agak terasa canggung saat masuk, karena ada beberapa penyanyi wanita bersuara merdu diiring petikan akustik dan perkusi Kazon. Saking merdunya, si Rahmad yang biasanya suka bernyanyi ikut diam menyimak.
Tiga, empat lagu terlewati, sang biduwan turun dari panggung. Tinggal si gitaris kriwil berkecamata masih memetik gitar. Kami berempat masih asik mengunyah makanan ringan. tiba-tiba Rama menarik lengan si Jai “Naik yok, lagi kosong,”. Jai mengangguk ikut menepuk bahuku . “tes satu lagu” timpal Jai.
Hanya mereka yang berani ke panggung itu. aku tetap di kursi malas dengan sisa potongan buah di atas piring. Lagu pertama dibawa dengan nada rendah, semua mendengar biasa karena suara teman-teman ku itu standar ruang karoeke. Lanjut lagu kedua dengan nada agak tinggi, karena Rahmad suka nyanyian lawas Malaysia.
Tak berhenti, si Jai dan Rama minta lagi slowrock Indonesia, “Slank bang, Pirusss,” pinta Rama dengan mic masih ditangan sehingga teriakannya itu didengar seisi ruangan megah itu. semua tertawa karena ketiganya terlalu semangat bernyanyi.
“Jarang kayak gini kita ya,” sebut Gita di pewarta cewek tiba-tiba ikut berdiri ingin ke panggung tapi tak jadi karena ragu-ragu. “Bernyanyilah, teriak sesuka hati yang penting iramanya masuk,” kataku.
Terlihat aura puas di mereka. Rama pun sangat gembira, biasa dia lebih pendiam. Waktu nyanyi teriaknya lengking walau tak berirama. Aku perhatikan cara dia melangkah turun dari panggung sangat luwes, tak biasa. Terkesan beban hilang dan tak berat di badan.
Kemudian , dia duduk di bangku plastik sambil menghela nafas. “Merokok lagi kita bang, turun Rahmat ku hajar lagi,” sebut Rama sambil menggigit puting rokok. Aku senyam-senyum saja.
“Kayaknya gak bisa lagi. Ini sudah terlalu sore, berita masih numpuk. Kapan siapnya ?” kataku Rama balas dengan senyum kecut, tanda semangatnya belum pudar untuk berteriak diatas panggung.
Tak lama Jai turun dari panggung disusul Rahmat. Tak kusangka keduanya mandi peluh seperti selesai olahraga berat. Tak lama sang pembawa acara menutup dengan salam “Sampai jumpa tahun depan”disambut tepuk tangan belasan sisa undangan. Kami pun pamitan pulang ke pemilik acara.
Sore itu kami puas, semua pulang dengan wajah sumringah. Seakan beban dan penat setahun hilang hanya dengan mendengar mereka bernyanyi. Padahal suara dan musiknya biasa saja, mungkin karena mereka senang akupun ikut senang.
Memang, bernyanyi bisa menjadi terapi tepat untuk otak dan pikiran berat. Maka bernyanyilah..