Definisi Santai yang Abstrak

in hive-193562 •  4 years ago 

Ihan di Mincau.jpeg

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah tulisan tentang kehidupan di Indonesia yang dinilai sangat santai. Sampai-sampai ada seorang antropolog dari Korea yang dengan sengaja mengirim anaknya ke Indonesia untuk mempelajari sekaligus menikmati kesantaian itu.

Betapa asyiknya bisa santai; tidak perlu terburu-buru. Apalagi sampai dikejar-kejar. Oleh waktu misalnya. Padahal kita tahu, waktu tak punya kaki. Namun, waktu bisa menjelma sebagai apa saja: pekerjaan, tanggung jawab, tenggat, situasi terjepit, dan lain-lain.

Sebagai pejuang active income, kata santai memang belum begitu karib dengan saya. Seringkali saya merasa, waktu bukan cuma mengejar, tetapi turut mengejek sambil menjulurkan lidah saat memergoki saya sedang bersantai ria sambil main ponsel. Kira-kira, kalau saya terjemahkan waktu akan bilang begini: Kebanyakan leha-leha, berlagak orang kaya. Eh, tapi waktu tahu apa soal saya? Yakin, saat main ponsel itu saya sedang santai? 😀

Mengantre sering kali dianggap sebagai aktivitas buang-buang waktu. Saya yang sudah tiga bulan terakhir kembali akrab dengan rumah sakit tentu paham bagaimana rasanya mengantre lama. Pukul delapan pagi sudah berangkat dari rumah, berharap tiba dengan cepat di rumah sakit, mendapatkan nomor antrean tercepat. Ini akan menjadi efek domino.

Namun, tidak selalu begitu mulus. Kadang-kadang, ya telat juga tiba di rumah sakit; dapat antrean nomor buncit. Efek domino kembali berlaku. Apa saya mengomeli keadaan itu? Tidak. Saya justru merasa inilah saatnya bersantai. Santai? Ehm, tidak juga sih, saya masih tetap bekerja.

Sambil mengantre saya tetap bisa produktif: memeriksa surel, membalas pesan, membaca buku, menyunting naskah, atau kadang cuma mengkhayal. Ya, bagi kaum “fiksionis” seperti saya, mengkhayal adalah bagian dari proses kreatif. Kerennya bisa disebut bagian dari proses membangun imajinasi. Mengobrol di kedai kopi sering diasosiasikan sebagai aktivitas bersantai, padahal sebenarnya orang-orang sedang berdiskusi, bergunjing, bahkan berdebat. Sesuatu yang menimbulkan ketegangan, apakah bisa disebut santai?

Orang-orang yang secara kasatmata terlihat memiliki banyak waktu luang atau jarang mengeluh, juga sering dianggap betapa santai hidupnya. Namun, siapa yang tahu jika di dalam dirinya sedang berkecamuk karena tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan. Sedang memikirkan utang yang bertumpuk. Tekanan beban keluarga yang rumit. Sungguh kesantaian itu jadi terasa abstrak.

Di luar itu semua, yang paling sering saya lakukan adalah mengobrol. Itu karena selama proses mengantre biasanya diselingi dengan aktivitas lain seperti fotokopi atau pindah dari satu loket ke loket lain. Tidak memungkinkan melakukan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi tinggi.

Kebiasaan ini mulai saya terapkan sejak sekitar sepuluh tahun lalu. Sejak saya mengenal teori hukum satu meter tiga puluh detik. Artinya, dalam jarak satu meter dengan orang lain dan dalam tempo tiga puluh detik setelah kontak mata merupakan momentum yang tepat untuk membuka komunikasi. Diawali dengan melempar senyum dan dibarengi dengan basa-basi seperti, “Dapat nomor antrean berapa, Bu/Pak?” Setelah itu, lihat reaksi lawan bicara, kalau mood-nya baik biasanya akan berlanjut pada percakapan selanjutnya.

Teknik ini, terbukti berhasil membuat saya menjadi santai, tidak fokus pada rasa jenuh atau perasaan sia-sia karena dianggap membuang waktu percuma. Benar-benar menikmati kondisi saat itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui. Itu mengapa menunggu tak pernah menjemukan bagi saya. Metode sederhana untuk mendapatkan teman atau relasi baru. Kadang-kadang ini justru bisa membantu. Misalnya dihadiahkan nomor antre yang lebih cepat oleh orang lain.

Saat mengantre obat di apotik, saya pernah bertukar cerita dengan salah satu pasien tiroid tentang perubahan fisik yang dirasakannya. Lalu saya ceritakan tentang salah satu anggota keluarga saya yang melakukan operasi yang sama di luar negeri. Kami sama-sama mendapatkan informasi baru. Suatu sore saat menunggu labi-labi, saya menyapa seseorang; ternyata satu kantor dengan teman saya. Cerita menjadi “nyambung” karena dihubungkan oleh seseorang yang sama-sama dikenal.

Di lain waktu di dalam Trans Kutaraja, saya menyapa seorang mahasiswi; ternyata teman SMA adik saya. Pada kesempatan yang lain, seorang ibu muda yang saya temui mengaku kenal dengan teman lama saya. Saya merasa takjub dengan “kebetulan” itu.

Namun, kalau di masa-masa kosong/menunggu itu saya hanya terfokus pada diri saya, sibuk menggerutu karena antrean terlalu lama atau bisnya terlalu lambat, mungkin saya bukan saja tidak bisa bersantai atau mendapatkan kenalan baru, tetapi juga tidak pernah tahu bagaimana sensasi keterhubungan relasi antarmanusia yang menakjubkan.[]

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Welcome back Dek Ihan. Selalu keren tulisannya. Sukses selalu, ya?

Hai, Bang, selalu senang kalau dikomentari Bang Bahagia.

Awak2 awai ka trok lom. Meuhi aju berseri2 steemit meutuwah nyo.

Sige-ge tasaeu le, bek ipeugah sok that wkwkwkwkkw