Hari ini ada dua berita duka yang saya dengar dari corong mesjid, satu minggu terakhir, banyak sudah ulama yang sudah kembali, sedih rasanya, saya bukan orang alim, bukan pula orang yang shalih, jauh sekali perumpamaan mereka dengan saya, tapi mendengar kabar orang berpendidikan, beragama, dan shalih meninggal, ada rasa sedih di dalam hati ini.
Gambar diambil saat sedang membuat tulisan ini di jalan Ahmad Yani Langsa, dari tempat saya duduk ini, baru saja terdengar berita duka dari TOA Mesjid
Perlu waktu yang lama untuk menggantikan seorang alim ulama yang telah pergi, satu generasi tidak cukup, maka dari ini saya belajar satu hal, regenerasi adalah sebuah keharusan.
Memang di depan kematian, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita seperti ditelanjangi oleh kematian, tanpa basa basi. Setiap orang yang datang melayat pun akan bicara apa adanya, kalau dia orang baik, maka baiklah warisan yang ditinggalkan, kalau buruk, begitu juga.
Pernah terbayang dan terlintas di pikiran, bagaimana rasanya kematian yang orang ingin masuk surga pun masih bergidik jika mendengarnya, ada orang ingin masuk surga, tapi tak mau mati.
Pernah juga terpikir, jiwa, pikiran dan perasaan yang selama ini ada di dalam raga dan tutupi kulit ini, akan kemana nantinya saat seseorang meninggal dunia.
Sepertinya saya bukan orang pertama yang berpikir tentang alam roh dan juga tentang hakikat kematian ini. Banyak pemikir dan filsof terdahulu yang sudah mengulas panjang lebar tentang ini.
Andai mati adalah titik terakhir, pastilah orang memilih mati sebagai jalan keluar, tapi bagi kita yang meyakini bahwa mati adalah salah satu fase dari sekian banyak fase yang harus dilewati, pasti akan memandang kematian dari sudut pandang yang berbeda.
Dulu sering mendengar petuah yang mengatakan cukuplah kematian sebagai pengingat, hari ini, berita kematian yang semakin hari semakin sering terdengar, rasa-rasanya, kesendirian adalah kesempatan yang harus dimaksimalkan.