Rabu sore, 28 April 2021, putri pertama saya ngajak ngabuburit, saya iyakan, kami menyusuri jalan di sisi barat bantaran sungai Krueng Lamnyong, hingga kemudian sampai ke Lamreung kami berhenti di sebuah rumah kecil di Komplek Kuburan Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif.
Setelah memberi salam, kami minta izin untuk masuk ke dalam komplek pemakaman tersebut. Ada belasan makam di sana, yang paling menonjol adalah makam Teuku Nyak Arif, salah satu pahlawan nasional dari Aceh. Komplek kuburan itu merupakan buhom atau areal perkuburan keluarga Teuku Nyak Arif, tapi pengelolaan komplek kuburan tersebut sejak tahun 1974 ditangai oleh pemerintah, setelah Teuku Nyak Arif diangkat menjadi pahlawan nasional.
Saya jelaskan kepada anak saya tentang sosok pahlawan nasional asal Aceh itu. Ia mengikuti penjelasan saya dengan cermat. Tanpa canggung ia menjejlajah setiap makam yang ada di situ, sampai kemudian menemukan nama Teuku Nyak Arif di salah satu nisan yang dinaungi bangunan. “Ini Yah, foto dulu,” katanya.
Komplek kuburan pahlawan nasional Teuku Nyak Arif [Foto: dok pribadi]
Saya pun kemudian mengambil beberapa foto dengan kamera telepon selular saya. Anak saya ganti-ganti pose di sana. Setelah itu ia mengatakan pada saya ingin ke makam Cut Nyak Dhien. Saya kaget, saya katakana padanya bahwa kuburan Cut Nyak Dhien tidak ada di Aceh, tapi di Sumedang, Jawa Barat.
Anak saya itu makin penasaran dan terus bertanya tentang apa pasal makam Cut Nyak Dhien itu ada di Jawa. Saya pun menjelaskan padanya bahwa Cut Nyak Dhien setelah ditangkap Belanda karena sudah uzur dan sakit dalam hutan saat bergerilya, kemudian diasingkan ke pulau Jawa. Anak saya pun manggut-manggut. “Kapan-kapan kita ke sana ya Yah,” katanya. Saya hanya mengangguk.
Pembicaraan kami kemudian kembali ke Teuku Nyak Arif. Saya jelaskan kepadanya tentang sosok Teuku Nyak Arif sesuai dengan pengetahuan saya dari apa yang selama ini saya baca. Teuku Nyak Arif merupakan salah satu pahlawan nasional dari Aceh. Ia diangkat menjadi pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 071/TK, tanggal 9 November 1974. Ia meninggal pada 4 Mei 1946 dan dikebumikan di bantaran Krueng Lamnyong, desa Lamreung, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar.
Teuku Nyak Arif dikenal sebagai nasionalis tulen. Dalam pidatonya pada Maret 1945, sebagaiWakil Ketua DPR seluruh Sumatera ia berujar. “Indonesia merdeka harus jadi tujuan hidup bersama.” Menelisik lebih jauh ke belakang. Ia juga turut mendirikan “Taman Siswa” dan “Muhammadiyah”. Ia dikenal sebagai tokoh yang peduli pada pendidikan.
Untuk membiayai pendidikan putra-putri Aceh, Teuku Nyak Arif terlibat dalam Atjeh Studiefond, bahkan menjabat sebagai ketua lembaga yang mengirim pemuda Aceh ke berbagai perguruan tinggi itu.
Bangunan yang menaungi makam Teuku Nyak Arif [Foto: dok pribadi]
Pria kelahiran Ulee Lhuen tahun 17 Juli 1899 ini juga aktif dalam bidang olah raga. Ia mendirikan dan pernah menjabat sebagai Ketua Atjeh Voetbal Bond. Perserikatan sepak bola Aceh yang kemudian menjadi Persatuan Sepakbola Kutaraja (Persiraja).
Teuku Nyak Banda, ayah Teuku Nyak Arif merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim di Aceh Besar. Pada zaman perjuangan, Teuku Nyak Arif bersama Teuku Muhammad Ali Panglima Polem aktif dalam perang melawan Belanda. Sejak muda, Teuku Nyak Arif terkenal sebagai nasionalis sejati, pembela rakyat di Aceh.
Teuku Nyak Arif memulai pendidikannya pada Gouvernement Inlandsche School di Kutaraja dan setelah itu ke Kweek School (Sekolah Raja) di Bukit Tinggi. Tahun 1912 melanjutkan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang, Jawa Barat.
Setelah menyelesaikan pendidikan di OSVIA, ia kembali ke Aceh dan mulai bekerja sebagai Ambtenar Voedsel Voorziening (semacam BULOG sekarang). Dalam kongres “Sjarekat Atjeh”, organisasi yang bergerak di bidang sosial, Teuku Nyak Arif terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar pada tahun 1919 menggantikan Teuku Chik Muhammad Thayeb Peurelak (ayah Dr Syarif Thayeb) mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Putri saya membaca nama Teuku Nyak Arif di batu nisan [Foto: dok pribadi]
Dalam bidang politik, Teuku Nyak Arif menjadi anggota National Indische Partij (NIP) yang semula bernama Insulinde, dan ia pernah menjadi Ketua NIP Cabang Kutaraja. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI Mukim menggantikan ayahnya yang sudah uzur.
Dari tahun 1927 sampai 1931, T Nyak Arif ditetapkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia (Jakarta). Disana ia bersama M Husni Thamrin, RP Suroso, M Suangkupon, mendirikan “Fraksi Nasional”. Karena kevokalannya mengkritik pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1931 kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad tidak diperpanjang. Ia digantikan oleh Tuanku Mahmud.
Setelah Indonesia merdeka, Teuku Nyak Arif ditunjuk menjadi Residen Aceh yang pertama oleh Gubernur Sumatera MR Teuku Muhammad Hasan. Dalam masa kepemimpinannya sebagai Residen Aceh Teuku Nyak Arif berhasil melucuti kekuasaan Jepang.
Namun revolusi sosial di Aceh kemudian membuat Teuku Nyak Arif diturunkan dari jabatannya. Ia dengan rela meletakkan jabatannya sebagai Residen Aceh untuk menghindari pertumpahan darah dan perang saudara. Teuku Nyak Arief kemudian diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah, hingga wafat di sana pada 4 Mei 1946.
Teuku Nyak Arif nasionalis tulen asal Aceh [Repro: Talsya]