Wakidin melihat ada sekitar 30 orang Aceh muncul di halaman rumah itu, semuanya membawa senjata. Satu persatu mereka naik ke rumah tersebut, mereka dijaga oleh beberapa orang bersenjata di pinggir pagar.
Di tengah-tengah kelompok bersenjata itu, berdiri seorang imam dengan pakaian serba putih, kepalanya memakai surban sutra pakai kembang-kembang. Di pinggangnya ada kelewang pakai emas dan intan, dan satu pistol, tangan kanannya memegang satu tasbih, tangan kirinya memegang Alquran, usianya sekitar 40 tahun, kulitnya kuning langsat dan wajahnya brewokan seperti orang Arab.
Wakidin mendengar semua percakapan di rumah itu. Semua orang Aceh di sana diminta untuk berkumpul dalam masjid pukul satu dini hari. Wakidin juga mendengar di ujung tempat dekat benteng ada banyak senjata, untuk mengambilnya tunggu perintah dari imam tersebut.
Kemudian semua orang Aceh di rumah itu melaksanakan shalat malam, dan menepuk dadanya sambil berzikir. Imam kemudian membacakan beberapa ayat Alquran tentang perang jihat fisabilillah, sementara pria-pria bersenjata itu terus berzikir sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan.
Melihat itu Wakidin jadi gemetar, ia takut celaka kalau-kalau keberadaannya di bawah rumah itu diketahui pejuang Aceh. Ia segera merangkak untuk kembali ke posnya, membuat laporan kepada komandan. Sampai dekat pos, Wakidin bersiul memberi kode suara burung, suara siulan itu kemudian di balas dari dalam, pintu pos dibuka, Wakidin kembali masuk ke pos penjagaan untuk melapor kepada komandannya.
Komandan Belanda itu kemudian meminta semua serdadu dalam pos untuk berbaris, mendengar cerita Wakidin. Mereka baru paham bahwa yang mereka lihat bukan setan bukan pula hantu, tapi sesosok pria berpakaian putih yang memata-matai dan menakuti mereka di malam hari.
Malam itu juga, sekitar pukul sebelas malam, komandan Belanda memerintahkan para serdadu untuk memeriksa kuburan tempat sosok berpakaian putih itu setiap malam muncul. Kalau cerita Wakidin benar, ia yakin senjata yang dimaksud oleh imam orang Aceh itu disimpan di sana. Tapi setelah dicari ke kiri dan kanan, mereka tidak menermuka lubang tempat sosok berbaju putih itu sering keluar.
Ketakutan mulai menyelimuti para serdadu itu lagi, jangan-jangan Wakidin merangkai cerita bohong, dan yang selama ini mereka lihat benar-benar hantu atau setan. Dalam gelap malam mereka jadi panik dan ingin cepat-cepat kembali ke pos penjagaan. Karena panik, seorang serdadu kemudian terjatuh, kakinya terperosok dalam semak-semak. Ia berteriak minta tolong. Serdadu lain segera menoleh ke arah suara itu. Ternyata serdadu itu terperosok ke dalam sebuah lubang yang ditutupi bambu dan alang-alang.
Para serdadu Belanda itu kemudian memeriksa lubang tersebut dengan sebuah lentera kecil. Di dalam lubang itu mereka menemukan kelewang, tombak, senapan, peluru dan mesiu. Senjata-senjata itu kemudian dibawa ke pos. Komandan Belanda menduga masih banyak lubang-lubang penyimpanan senjata di daerah itu untuk menyerang patroli Belanda.
Untuk menghadapi segala kemungkinan serangan dari pejuang Aceh, Pemerintah Belanda kemudian menambah jumlah serdadu dan persenjataan ke daerah tersebut. Belanda mencium adanya gelagat perang, setelah mengetahui bahwa malam itu anak-anak dan perempuan telah diungsikan dalam gelap malam ke sebuah tempat yang aman.
Di dalam pos dan bivak Beladan, para serdadu siap siaga di belakang tembok, ada juga yang tidur di belakang meriam yang sudah diisi. Bivak itu memiliki dua bastion, satu bastion satu meriam, ada juga meriam kodok. Tapi sampai pukul setengah dua dini hari di luar benteng tidak terdengar apa-apa. Menjelang pukul dua baru terdengar teriakan dari luar bivak di sebelah kanan, kemudian di susul teriakan di sebelah kiri.
Di luar bivak terlihat orang mengendap-ngendap, tapi serdadu Belanda dalam pos itu tidak beraksi, karena yakin bahwa yang mengendap-ngendap itu hanya untuk memeriksa keadaan saja. Mereka tetap menunggu orang-orang Aceh bersenjata itu menyerang.
Tepat pada pukul dua, sosok berpakain serba putih kembali terlihat di tempat biasa, tapi kali ini ia tidak sendiri, ia membawa beberapa orang. Serdadu Belanda kemudian menembakkan peluru mercon kembang api ke arah sana, suasana jadi terang, mereka kaget melihat banyak sekali pria Aceh bersenjata sudah siap siaga di sana. Sekitar 300 orang Aceh sambil berteriak takbir “Allahuakbar” kemudian menyerang bivak Belanda tersebut. Mereka sama sekali tidak mundur meski serdadu Belanda sudah siap siaga di sana. Meletuslah perang frontal di gelap malam tersebut.
Dari dalam bivak serdadu Belanda menembaki orang Aceh dengan senapang dan meriam, tapi dari luar orang-orang Aceh melempar api ke bivak tersebut. Beberapa bagian bivak terbakar, gudang obat juga hampir terbakar. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Setelah hampir tiga jam perang berlangsung, sekitar pukul lima pagi, terdengar terompet dekat benteng. Terompet itu ternyata datang dari pasukan tambahan Belanda yang dikirim ke bivak tersebut untuk membantu serdadu Belanda yang diserang. Menjelang subuh perang reda, para pejuang Aceh meninggalkan bivak Belanda kembali masuk ke hutan.
Sersan Wakidin kemudian mendapat penghargaan bintang tanjung dari pemerintah Kolonial Belanda atas keberhasilannya memecahkan misteri setan kuburan itu, sehingga pasukan Belanda siap siaga menghadapi serangan dari pejuang Aceh. Tapi tak lama setelah peristiwa itu Wakidin kemudian tewas dalam perang ketika pasukan Belanda mencoba untuk merebut benteng pejuang Aceh.
Pasukan kavaleri berkuda Belanda dalam perang Aceh foto
Hahahaha..rupanya Teungku Imuem, bukan hantu. Hayeu ya taktiknya, ini mungkin salah satu bentuk tipèe Aceh
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ha ha ha ya ya ya habeh yo awak tentra Holanda,
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit