Source
Suara takbir menggema di Mesjid-Mesjid walau tidak ada takbir keliling tidak mengubah suasana kemenangan yang begitu indah.
Malam lebaran adalah malam kemenangan bagi kita ummad muslim, setelah berpuasa sebulan penuh tibalah hari yang kita tunggu.
Begitu juga denganku 10 tahun lamanya ku simpan luka ini, tapi setiap kali aku mendengar suara petasan dan gemerlapnya kembang api, perasaan itu muncul mengintai malam takbirku.
Dahulu saat aku kecil kehidupanku sama seperti layaknya anak-anak pada umumnya malam takbiran akan menjadi momen yang paling ditunggu selain berkeliling kampung kami membakar lilin di pekarangan rumah tapi aku bermain di dalam rumah karena malam sudah larut, sedang ibu yang waktu itu sedang asyik dengan pekerjaan rumah di dapur.
Malam makin larut ayahku yang saat itu menjadi panitia penerima zakat fitrah di Mesjid belum pulang kerumah, karena kelelahan saya tertidur sedang lilin di kamar masih menyala. Entah seperti apa saya tidak ingat lagi yang jelas tangan ibu terbakar saat mengendong saya keluar rumah yang kondisi terlalap si jago merah namun ibu masuk lagi karena kakak dan adik masih terjebak di kamar yang satu lagi yang kemudian di susul suara kakak menangis meneriaki ibu dan adikku tertimpa atap langit.
Jelas hingga kini suara tangisan ibu minta tolong, saya yang waktu itu belum mengerti apapun hanya bisa menangis, sampai ayah tiba dan ibu bersama adikku ikut terlelap bersama api yang kian padam, habislah semua rumah dan isinya aku terduduk lemas menatapi jasad ibu yang yang entah seperti apa.
Esok harinya adalah hari Idul Fitri hari yang suci untuk berma'af-ma'afan, sedangkan aku tidak dapat mema'afkan diri sendiri karena kecerobohanku ibu dan adikku jadi korban.
Hari itu tidak ada baju baru bagiku, tidak ada uang THR atau apapun yang berkaitan dengan lebaran, aku berduka sesakit-sakit rasa adalah di hari itu, seperih-perih mata menangis adalah di hari itu, sepilu-pilu derita adalah di hari itu.
Ayah tidak menyalahkan aku, tapi sejak kejadian itu ayah mulai membatasi percakapannya denganku. Hari demi hari aku telah tumbuh hidup bersama ayah, yang sosoknya ada tapi bagaikan tiada.
Tidak pernah aku mendengar ayah menyalahkanku tapi sorotan matanya mengatakan dia kecewa padaku.
Perlahan luka itu sembuh beriring waktu, namun setiap kali takbir menggema akan beriringan dengan isakan tangis penyesalanku, aku selalu merayu pada Allah agar kejadian masa lalu jangan di jadikan hukuman bagiku, cukup aku kehilangan sosok yang aku cintai di hari kemenangan tapi kembalikan hari fitrahku.
Andai waktu bisa ku ulang, maka waktu itulah yang akan aku putar hingga musibah itu tidak akan terjadi di keluargaku, sampai saat ini aku benci melihat anak- anak yang bermain lilin, petasan dan kembang api tepatnya bukan membenci mereka tapi benci terhadap diri sendiri, andai mereka tau seperti apa luka itu maka mereka akan takut mengingatnya.
Trauma! Tentu saja aku sangat trauma 10 tahun berlalu belumlah cukup mengahapus isakan dan suara minta tolong ibu, kakak yang selalu menyalahkan aku atas kejadian itu seakan menambah cuka nyeri tersayat besi seakan irisan kecil ditambah cuka.
Aku berharap setiap hari Idul Fitri, akan mampu menghapus memori pahit yang tersimpan dulu.
TAMAT
By @midiagam