Batu Batikam

in hive-193562 •  3 years ago  (edited)

Cerpen: Mustafa Ismail

Mata Indi melotot. Ia terus memandang batu itu. Sepasang keris tertancap di sana. Siapakah yang sedang bertarung di semak-semak, di balik pohon tua nan rindang, dengan ranting dan daun-daun menjuntai ke jalan raya. Biasanya, orang-orang suka berteduh di sana, sambil memandang batu besar dengan lubang di atasnya.

imageedit_5_3043397865.jpg

Tapi siang itu, tidak terlihat siapa-siapa. Jalan sepi. Angin bertiup pelan. Awalnya, ketika berteduh, ia tidak melihat hal-hal aneh di sana. Tapi, begitu matanya mengarah ke batu besar itu, lubang itu tak terlihat lagi. Yang tampak adalah sepasang keris terpancak di sana. I
Indi sempat mengucek-ngucek mata, benarkah itu keris milik Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang berselisih paham urusan adat. Kedua keris itu persis sama dengan keris yang digambarkan dalam tambo, cerita yang beredar di masyarakat. Ah, ini zaman telah berlalu jauh, tak mungkin kedua tokoh itu muncul lagi.
Ia justru merasa pastilah sedang ada dua orang zaman kini sedang bertarung di belakang pohon tua itu, atau di sawah di belakang pohon itu. Indi mengarahkan matanya ke sekeliling, mencari-cari di mana ada suara teriakan, suara gesekan daun, atau suara jerit mengaduh, atau suara pertarungan. Tak ada suara apa-apa. Sepi menyergap. Indi tercenung. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembusnya perlahan.
* * *
Dua hari lalu, dalam perjalanan Jakarta-Padang dengan pesawat murah, Indi sempat bermimpi tentang lubang di Batu Batikam. Ia melihat di batu itu tertancap dua belati. Kedua mata belati itu menetes darah dan memercik di batu, seperti tetesan embun dengan butiran-butiran kecil. Di depan batu, dua lelaki muda berdiri kaku dan dingin. Mata mereka merah.
“Jika kau berhasil menghentikan darah di belati itu, Indi menjadi milikmu,” kata lelaki yang satu. “Jika tidak, Indi adalah milikku,” kata lelaki pertama. Ia adalah Hendra, yang baru saja dikenalnya di ruang tunggu bandara.
Lelaki yang satunya lagi, Yasra, tidak memberi respon. Matanya tetap memandang belati, tanpa sedikitpun merasa terganggu dengan suara lelaki itu. Tiba-tiba, kedua belati terbang, melesat cepat, dan menancap di perut lelaki pertama, dan ia terhempas beberapa meter dari tempat berdirinya.
Indi menjerit. Matanya melotot. Orang-orang menoleh ke arahnya. Hendra, yang duduk di sampingnya, tersenyum tipis. “Kenapa? Mimpi dikejar anjing gila ya?” Pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. Indi hanya menggeleng, lalu memejamkan mata lagi. Ia merasa malu dengan jeritnya yang terdengar hingga seluruh kabin pesawat.
“Kata mama, sebelum bobo berdoa dulu,” kata Hendra lagi ingin bergurau. Indi tidak menanggapi. Ia pura-pura tak mendengar, meskipun ia merasa kalimat itu sangat menusuk telinganya, bukan sebagai gurauan, tapi sebuah ledekan. Ia sudah cukup malu dengan teriakannya, tapi lelaki itu masih menghukumnya dengan kata-kata seperti itu.
Sejak dari Bandara Soekarno-Hatta, setelah berkenalan dengan Hendra dan menceritakan tentang tempat-tempat wisata budaya di Batusangkar dan Bukit Tinggi, kisah Batu Batikam sangat merasuk pikirannya. Ia membayangkan bagaimana sebuah batu bisa tembus ditusuk keris, pastilah orang yang menusuk keris ke sana punya tenaga yang luar biasa.
Dan pastilah tusukan itu sebagai bagian dari membuang amarah yang luar biasa. Pasti pulalah amarah itu begitu luar biasa. Dan hari-hari ini, ia melihat amarah itu begitu mengental dalam pikirannya. Ini persoalan adat pula. Ia mau menikah dengan Yasra, putra asli Sumatera Barat, teman sekantornya.
Dalam adat kampung Yasra, perempuanlah yang harus melamar laki-laki. Tapi, dalam adat Indi sebagai orang Jawa, laki-lakilah yang mesti melamar perempuan. Keluarga Indi dan Yasa belum punya kata sepakat, siapa yang seharusnya melamar. Indi keberatan bila keluarganya yang harus melamar lelaki itu.
Sementara keluarga Yasra mendesak yang melamar adalah keluarga Indi. Yasra sendiri tidak persoalan dengan soal siapa yang mesti melamar itu. Tapi, seluruh keluarganya di kampung mendesak agar urusan perkawinan, termasuk lamaran itu, harus mengikuti adat, sesuatu yang dijunjung tinggi oleh leluhurnya.

imageedit_3_9242031272.jpg

Yasra tidak berhasil meyakinkan keluarganya. Makanya, ia menelpon Indi dan meminta ia segera ke Batu Sangkar untuk bertemu dengan keluarga Yasra, ya untuk silaturrahmi sekaligus mencairkan suasana. Keluarga Yasra sempat tegang ketika Yasra meminta mereka melamar Indi.
“Ibuku sampai marah-marah terus,” kata Yasra di telepon.
“Bagaimana kalau nanti aku dimusuhi sama ibumu?”
“Aku jamin tidak. Ibuku sangat senang padamu. Kamu lihat ketika kamu pertama kali kuperkenalkan kepada ibuku beberapa bulan lalu di Jakarta. Beliau malah memujimu. Kamu cantik sekali, katanya.”
“Tapi aku takut....”
“Kamu tidak perlu takut. Yang ngotot agar keluargamu melamar itu bukan ibuku, tapi keluarga besar kami, kakek-nenekku, dan saudara-saudara orang tuaku.”
Setelah pembicaraan telepon itu selesai, ia menemui Pak Pur, atasannya di kantor, dan meminta izin cuti dua hari untuk berangkat ke Sumatera Barat. Pak Pur tidak keberatan, bahkan ia sempat bergurau: “Kalau keluargamu tetap diminta melamar Yasra, kamu segera pulang saja ke Jakarta. Nanti biar saya yang melamar kamu untuk anakku, ” kata Pak Pur.
Indi tersenyum tipis, tidak terlalu terpancing dengan gurauan Pak Pur. Pak Pur pun mafhum, tidak melanjutkan gurauannya. Siang itu, ia langsung ke bandara Soekarno-Hatta. Di ruang tunggu, ia berkenalan dengan Hendra, wartawan Jakarta, yang akan meliput wisata di Sumatera Barat. Ia pergi bersama rombongan orang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Ketika Hendra bercerita tentang Batu Batikam, ia segera terbayang persoalan yang kini melandanya. Indi hampir saja bercerita tentang masalahnya itu kepada Hendra. Tapi ia segera sadar bahwa ini persoalan pribadi tidak seharusnya diumbar ke orang lain, apalagi orang yang baru dikenalnya.
* * *
Begitu sampai di Padang, ia tidak langsung ke Batusangkar, rumah Yasra. Ia menginap dulu di Padang. Besok pagi, ia baru dijemput Yasra di Padang dan dibawa ke Batusangkar. Dan rupanya, Yasra tidak memberitahukan kedatangan Indi kepada ibu dan keluarganya. Maka, ketika ia muncul di rumah Yasra, mereka tampak terkejut. Kala itu, banyak keluarga sedang berkumpul di sana.
Yasra memperkenalkan Indi kepada satu persatu keluarganya. Mereka ramah sekali. Indi sempat mengobrol lama dengan mereka. Indi ditanya berbagai hal, tentang pekerjaan, keluarga, sekolah, dan sebagainya. Tapi sama sekali belum menyentuh soal urusan lamaran dan pernikahan.
Dalam obrolan itu, Indi pun bertanya banyak kepada mereka, termasuk soal Batu Batikam. Kakek Yasra pun bercerita panjang lebar tentang Batu Batikam itu, dan Indi mendengarnya dengan tekun.
“Nak Indi mesti pergi ke Batu Batikam, melihat bagaimana kearifan leluhur kami dulu dalam menyelesaikan masalah,” kata kakek Yasra.
Indi mengangguk.
Sejenak, kakek Yasra tercenung. Ia seperti teringat sesuatu. Matanya memandang lurus ke depan, lalu menoleh ke Indi. Indi berusaha tersenyum. Tiba-tiba mata kakek mengerjap-ngerjap dan basah. Ia segera mengusap dengan jari-jarinya.
“Sebentar, kakek panggilkan Yasra dan memintanya mengantarmu ke Batu Batikam,” katanya kemudian bangkit berjalan ke pintu.
“Kakek juga nanti ikut,” katanya lagi setelah Yasra berada di depan kami. “Sekarang, Nak Indi mandi dan makan dulu,” kakek melanjutkan, kemudian melangkah meninggalkan Indi dan Yasra. Mereka saling pandang. Segaris senyum melingkar di bibir Indi, yang dibalas senyum Yasra.
* * *

imageedit_1_4568039519.jpg

Di Batu Batikam, untuk kesekian kalinya Indi mengucek-mengucek mata, memandang ke batu itu. Kali ini ia tidak lagi menemukan sepasang keris yang tertancap di batu seperti dilihatnya tadi. Yang tersisa adalah sebuah lubang tempat keris itu ditancapkan. Ia ingin bertanya, tapi belum juga ada orang di sana. Siang makin panas.
Sekali lagi, ia memandang Batu Batikam. Tiba-tiba darahnya berdesir. Ia merasa ada dua pasang mata menatapnya, entah dari mana. Kedua pasang mata itu begitu menusuk sampai ke jantungnya. Ia melihat ke atas, ke daun-daun pohon tua yang sebagian mengering, lalu berkeliling ke segala arah. Ia tidak menemukan siapa-siapa.
Tiba-tiba Indi tersentak oleh sebuah suara yang sangat ia kenal. “Indi bangun, ini sudah sampai di Batu Batikam,” kata Yasra yang duduk di sampingnya menyetir mobil.
Sejenak ia sempat terdiam, lalu berkata sambil melemparkan seulas menyum ke arah Yasra. “Aku tertidur lama ya?”
“Ya sekitar setengah jam. Kamu capek?.”
Indi mengangguk. Lalu menoleh ke jok belakang, ia memandang kakek juga tertidur dan pulas sekali. “Baru kali ini, kakek tidur pulas. Sejak beberapa hari lalu, kakek susah tidur dan selalu gelisah. Ia terus terbawa dengan masalah kita,” kata Yasra.
“Masa sampai tidak bisa tidur sih?”
“Persoalan adat itu serius In.”
Indi hanya mengatakan, “Sory, aku menyusahkan keluargamu.”
“Justru keluargaku yang telah menyusahkanmu....”
Gadis itu membuka pintu mobil, dan turun. Ia berjalan memasuki situs Batu Batikam yang tampak kurang terawat. Ia melihat sisa-sisa cat putih pada batu-batu yang berlumut itu. “Ini Batu Batikam,” kata kakek yang tiba-tiba sudah berdiri di samping kiri Indi dan tangannya menunjuk ke batu itu.
Di sana juga ada batu-batu lain seperti tempat duduk lengkap dengan sandarannya yang posisinya diatur persegi panjang melingkari Batu Batikam. “Ini menggambarkan orang yang duduk melingkar bermusyawarah,” kakek Yasra menambahkan.
Indi terus memperhatikan satu persatu batu-batu itu, dan mengingat-ingat mimpinya, yang persis sama dengan kenyataan yang kini dilihatnya. Cuma tidak ada sepasang belati atau sepasang keris tertancap di sana, seperti hadir dalam mimpinya. Juga tidak ada dua pasang mata misterius yang terus melihatnya.
“Dua pihak yang berseberangan, di sini bisa menemukan jalan keluarnya,” kata kakek Yasra lagi. Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, “Nak Indi dan Yasra, kalian juga dua pihak yang berselisih paham. Selesaikanlah masalah kalian di sini.”
Indi mengangguk, memandang mata kakek yang tampak berbinar, juga mata Yasra yang menjadi berkaca-kaca. Indi merasa ada hawa sejuk pelan-pelan mengalir dalam hatinya. Ada daun-daun kering yang kembali hijau di sana. Ia membayangkan, sepasang keris kembali menancap di batu itu, dan orang-orang dengan wajah sumringah duduk melingkarinya.

Batusangkar-Jakarta, Agustus-September 2007

#indonesia #shortstory #steemexclusive #appreciator #steemsea #fiction #flashfiction
#ilustrasi: repro/hasil olah digital.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

IMG_20201008_202623.jpg


SELAMAT

Postingan anda telah mendapat kurasi secara manual dari akun komunitas @steemseacurator.
Terimakasih telah berpartisipasi dalam komunitas Steem SEA

Kami akan sangat berterimakasih jika anda bersedia mendelegasikan Steem Power (SP) anda untuk kemajuan komunitas Steem SEA ini

Salam hangat
Anroja

Link pintas untuk delegasi:
100SP 200SP 500SP 750SP
1000SP 1500SP 2000SP 2500SP 3000SP