Festival Sastra, Antara Estetika dan Sekedar Pesta

in hive-193562 •  3 years ago  (edited)

MUSTAFA ISMAIL, penulis sastra, berkhitmat di Jakarta.

Saya sedang berada di pintu ruang Niti Semito Museum Kretek Kudus, Jawa Tengah, Minggu siang itu (30 Juni 2019), ketika nama saya dipanggil pemandu acara baca puisi Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI. Saya langsung menyelinap ke dalam ruangan seluas sekitar 2.5x4 meter tersebut. Kedua MC, laki dan perempuan, beberapa kali memanggil nama saya untuk tampil membaca puisi. Tidak ada yang ngeh saya berada di ruang yang bersebelahan dengan ruang utama museum tempat panggung baca puisi tersebut.

MUS Puisi untuk Indonesia Bertoleransi 3 BLOG.jpg

Saya bersama sejumlah kawan dalam kelompok Sihir Puitika membaca puisi dalam acara Festival Sastra Bengkulu di Bengkulu pada 2019. Pembacaan puisi yang berlangsung di ballroom sebuah hotel di Bengkulu itu bekerjasama dengan LPP Radio Republik Indonesia (RRI) dan RRI Bengkulu.

Sejak awal, saya memang berniat tidak membaca puisi dalam forum tersebut. Selain ada alasan lain yang sangat personal, saya kadang ingin menempatkan diri sebagai penikmat. Saya juga ingin anak muda lebih banyak tampil dalam sebuah festival sastra. Maka itu, ketika beberapa menit kemudian seorang anggota panitia memberi tahu saya dipanggil, saya spontan menjawab: "Biarlah yang membaca puisi lebih banyak penyair yang belum putih rambut."

Meskipun kata-kata itu terkesan guyonan, soal ini sangat serius. Saya sudah membaca tamat buku yang memuat puisi para peserta PPN XI, “Sesapa Mesra Selinting Cinta” (yang juga memuat puisi saya di dalamnya), dan menemukan sejumlah puisi menarik karya anak muda. Sebagian mereka datang dari daerah yang sangat jauh dan memakai biaya sendiri. Di tengah kecenderungan kurasi banyak buku puisi yang terkesan mengejar kuantitas, kehadiran puisi-puisi segar itu sangat mengharukan. (Tulisan khusus tentang acara PPN itu saya tulis di Koran Tempo, 4 Juli 2019)

Sesapa Mesra Selinting Cinta - Peluncuran.jpg

Peluncuran buku antologi puisi Sesapa Mesra Selinting Cinta di PPN Kudus (Foto Repro: Krjogja)

Seperti diketahui, setiap festival sastra pastilah menerbitkan buku puisi, yang sering menjadi tiket untuk bisa hadir dalam acara tersebut. Penyair diminta mengirimkan sejumlah puisi untuk dikurasi dan mereka yang lolos mendapatkan undangan untuk hadir, tentu saja memakai biaya sendiri. Celakanya, kerap terjadi para kurator terlalu longgar dalam menilai puisi. Alasannya klise, kalau diketatkan, jumlah puisi yang lolos menjadi sedikit sehingga bukan hanya buku menjadi sangat tipis, peserta kegiatan pun menjadi tak banyak.

Memang, ada semacam persepsi di sementara masyarakat (sastra) acara bahwa kesuksesan sebuah festival sastra sangat ditentukan oleh jumlah peserta dan kemeriahannya. Makin banyak jumlah peserta dan makin meriah, makin dianggap sukses sebuah kegiatan sastra. Seolah-olah, kualitas sebuah acara sastra ditentukan oleh jumlah perserta dan kemeriahaannya. Peristiwa sastra pun jatuh sebagai kerumunan mirip pasar malam.

Cara pandang semacam ini bukan hanya di tingkat kurasi karya dan penjaringan peserta, tapi menyeluruh dalam konsep acara. Sehingga jangan heran, dalam banyak acara sastra, yang membaca puisi bukanlah para penyair yang puisinya layak dan menarik secara estetik, tapi yang membaca puisi adalah mereka yang dianggap menarik dalam membaca puisi. Cara membaca puisi lebih penting dari kualitas puisi.

721867_1200.jpg

Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri membaca puisi di PPN Kudus. Tidak hanya dikenal sebagai penyair terpnting Indonesia, Sutardji juga pembaca puisi yang mempesona.

Jadi, yang disuguhkan kepada penikmat sastra adalah "atraksi puisi", bukan puisi itu sendiri. Kualitas puisi dinegasikan oleh cara menyajikannya di panggung. Sebenarnya, ini lebih tepat sebagai festival baca puisi, ketimbang memakai nama “pertemuan penyair”. Harusnya, sebagai pertemuan penyair, yang perlu ditonjolkan adalah estetika karya, narasi, bukan “aksi panggung”. Biarkan penyair membacakan karya sesuai dengan ragamnya masing-masing.

Meskipun terasa anomali, kasus di atas masih lebih baik dari pada fakta lain: pembaca puisi ditentukan berdasarkan hubungan pertemanan dan “kesohiban” dengan panitia dan konseptor acara. Dalam sejumlah festival sastra yang saya hadiri hal semacam ini dengan mudah bisa diidentifikasi: puisi di bawah standar, membaca pun tak menarik, namun mendapatkan kesempatan utama tampil di panggung.

Realitas itu seolah menegaskan bahwa hari ini festival sastra seperti memasuki babak baru: yang dirayakan bukan lagi estetika. Jika diibaratkan makanan, cara menyuguhkan dan/atau siapa yang menyuguhkan lebih penting ketimbang rasa (kualitas) makanan itu. Sehingga orang bertepuk tangan bukan pada rasa yang enak, tapi pada atraksi cara menyuguhkannya. Bahkan, tak jarang yang diutamakan membaca puisi di festival sastra bukan penulis sastra.

Diskusi, yang kerap diberi nama mentereng “seminar internasional” setali tiga uang. Pembicara adalah orang-orang yang dianggap mudah “diajak” dan lagi-lagi tidak melupakan hubungan “kesohiban”. Maka itu jangan heran jika dalam sejumlah festival sastra sebagian besar pembicaranya adalah nama-nama yang sama dan topik yang dibahas pun sama, bahkan klise. Para pembicara itu pun cukup copy-paste makalah mereka sebelumnya.

images.jpg

Berbagi pengetahuan dan pengalaman menulis dan menembus media di sebuah festival sastra. (Foto: Dok Joglitfest).

Salah satu topik yang kerap dibahas di banyak seminar misalnya adalah wacana Sumpah Pemuda sebagai puisi. Wacana itu sudah muncul bertahun-tahun lalu tapi terus diulang-ulang. Padahal yang mendengarkan adalah orang-orang itu juga. Seolah tidak ada hal lain atau contoh lain yang lebih baru -- jika itu dimaksudkan sebagai contoh dalam membahas puisi modern Indonesia. Tentu saja ini terlepas apakah kita bersetuju atau tidak dengan wacana itu.

Kita jarang menemukan gagasan-gagasan menarik dalam festival sastra yang diadakan dengan tujuan sebagai pesta dan mirip pasar malam itu. Sebagian dari mereka lebih muncul sebagai akademisi dan pemikir yang malas. Mereka enggan melakukan eksplorasi untuk menemukan gagasan-gagasan baru untuk disampaikan dalam forum diskusi itu. Itu belum lagi penentuan tema diskusi yang asal terkesan “hebat”, tanpa memikirkan urgensinya.

Melihat kenyataan itu tak salah jika ada yang pesimis festival sastra atau pertemuan sastrawan berguna dan bisa menghasilkan sesuatu yang positif untuk pertumbuhan sastra. Sebaliknya, justru makin menegaskan sebagai ajang kongkow semata. Peristiwa-peristiwa sastra pun tak ubahnya panggung dangdut yang ingar-bingar namun kosong. Dan tepuk tangan dialamatkan sekeras-kerasnya pada keramaian dan kemeriahan.***

#sastra #sastraindonesia #festivalsastra #esaisastra #steemsea

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Mungkin saya akan deg degan jika berdiri di panggung megah itu, dengan jutaan pasang mata menyoroti

Salam kompak selalu abang senior 😊

Hehe... Sebetulnya saya lebih senang menulis puisi, ketimbang membaca puisi. Tapi membaca puisi menjadi keniscayaan penulis puisi. Terima kasih. Saleum mulia syedara.

Sama-sama bang Mus

Saya punya seorang teman, dia juga penulis novel. Bahkan buku novel karangannya laku keras di pasaran. Ketika saya menyimak tulisan bang Mus, saya langsung teringat dengannya, karena tulisan bang Mus mirip dengan gaya menulisnya. Saya sudah mengajaknya untuk mendaftar di Steemit, tapi dia belum tertarik untuk gabung di steemit.

Selamat beristirahat, saya tunggu karya bang Mus Selanjutnya.

Soe novelis nyan? Sebetulnya makin banyak penulis bergabung di Steemit, makin banyak tulisan-tulisan bagus muncul. Penulis pun bisa berbagi pengetahuan dan pengalamannya di sini. Bahkan, bisa juga memposting novelnya secara bersambung --- misal novel yang sudah lama terbit dan tidak ada lagi buku di pasaran, sehingga itu tidak akan merusak pasar jika diposting di Steemit. Tapi lagi-lagi mungkin perlu dikabarkan terus-menerus perlunya penulis ngeblog -- entah di Steemit, Hive, atau di berbagai platform lain. Ini juga cara untuk membentuk jejaring dan komunitas sehingga karyanya akan makin lebih banyak orang yang membaca. Oke, selamat istirahat. Makasih. Saleum.

Betul seperti yang bang Mus katakan. Saya akan coba membujuknya lagi supaya mau ngeblog di steemit. Dia orangnya sangat misterius, kami berteman di fb sudah sangat lama, lebih 2 tahun. Tapi saya hanya mengenalnya lewat tulisan, karena dia orangnya tidak suka pamer foto.
Begitulah .....

IMG_20201008_202623.jpg


SELAMAT

Postingan anda telah mendapat kurasi secara manual dari akun komunitas @steemseacurator.
Terimakasih telah berpartisipasi dalam komunitas Steem SEA

Kami akan sangat berterimakasih jika anda bersedia mendelegasikan Steem Power (SP) anda untuk kemajuan komunitas Steem SEA ini

Salam hangat
Anroja

Link pintas untuk delegasi:
100SP 200SP 500SP 750SP
1000SP 1500SP 2000SP 2500SP 3000SP