Puisi (Cinta) Tak Sekedar Barisan Kata

in hive-193562 •  3 years ago 

ESAI: MUSTAFA ISMAIL
Penulis dan pegiat kebudayaan, editor, dan kurator sastra

Cinta memang selalu menarik. Tak hanya untuk dinikmati, tapi juga ditulis dalam beragam jenis karya, mulai dari catatan harian, esai, hingga karya sastra. Namun, menulis persoalan cinta memang penuh risiko. Bagi penulis yang terampil, ia akan menjadi lebih indah. Namun, bagi penulis pemula, seringkali tulisan cinta jatuh pada keluh-kesah dan perasaan sentimentil. Akibatnya sajak-sajaknya menjadi tidak “bermakna” bagi orang lain karena merupakan catatan harian yang sangat personal belaka.

IMG_20200830_040957.jpg

Laut adalah salah satu simbol yang kerap dipakai dalam puisi. (Foto: Laut Sabang, Aceh -MI).

Tapi saya tidak berharap-harap muluk-muluk dari karya-karya anak muda yang baru belajar menulis puisi. Maka itu, saya tidak akan memberi penilaian. Saya lebih tertarik melihat karya-karya mereka sebagai sebuah ikhtiar untuk mengajak makin banyak orang bersastra dan menghidupkan sastra, terlepas apa pun hasilnya. Ini adalah langkah awal yang baik. Setiap upaya untuk terus mengobarkan api sastra harus didukung dan diapresiasi. Namun, dengan catatan, kita semua harus terus mengasah diri.

Puisi tidak sekedar baris-baris kata yang dihadirkan sekenanya. Ia harus ditekuni, dipelajari, dan diakrabi terus-menerus, tanpa henti. Dengan begitulah penulis bisa menghadirkan karya yang asyik untuk dibaca, punya nilai, dan bermakna. Puisi tidak sama dengan catatan harian, uneg-uneg, curhat, dan sejenisnya. Puisi adalah ekspresi seni, yang mempunyai kaidah-kaidah yang harus dipenuhi, mulai dari simbol, diksi, hingga bunyi.

Ralph Waldo Emerson, penyair, esai, dan filosof Amerika Serikat (1803-1882), mengatakan bahwa puisi menyampaikan sebanyak mungkin (hal) dengan kata-kata sedikit mungkin. Hal itu dimungkinkan dengan penggunaan simbol. Simbol bisa mewakili apa yang kita alami, rasakan, dan pikirkan untuk diungkapkan ke dalam puisi. Ia bersifat konotatif, mempunyai makna lain di luar makna harfiahnya sendiri.

Ralph Waldo Emerson.jpg

Ralph Waldo Emerson (Foto: thoughtco)

Contoh, kursi itu bukan hanya untuk duduk, tapi simbol dari kekuasaan. Mawar, bukan sekedar bunga yang harum, tapi simbol untuk menyatakan cinta. Misalnya, ketika jatuh cinta pada seseorang, Anda cukup memberinya sekuntum mawar. Dengan mawar itu, Anda telah mengungkap begitu banyak hal -- isi hati, perasaan, dan harapan-harapan -- yang jika dituliskan bisa menjadi satu buku sendiri.

Begitu pula ketika Anda marah kepada seseorang, misalnya, Anda cukup tidak mengangkat teleponnya atau tidak membalas pesan WhatsApp, tanpa perlu berkata marah bla-bla-bla. Atau ketika mengungkapkan kasih sayang ibu kita yang tiada tara, tidak perlu menuliskan dengan kata-kata berpanjang-panjang, tapi cukup dengan menuliskan, misalnya, engkau adalah lautku. Laut adalah simbol kedalaman, keluasan, kedamaian, kekayaan alam, dan seterusnya.
Simbol merupakan tanda yang menunjukkan hubungan (konvensi) antara penanda dengan petanda. (Puisi Indonesia: Maman Suryaman Wiyatmi, 2013). Simbol dapat merupakan objek atau benda yang bernilai karena bunyinya atau penampilannya. (Teori Kesusastraan: Rene WeHek & Austin Warren, 1989).

Tentu saja untuk memahami ini tidak cukup hanya mengandalkan apa yang disebut bakat. Sebab, dalam menulis bakat hanya berperan beberapa persen saja, selebihnya adalah proses belajar dan belajar. Belajar apa saja, mulai dari belajar yang benar menulis puisi, teori sastra, hingga hal-hal di luar puisi dan sastra itu sendiri, seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan, filsafat, dan seterusnya. Hal-hal itulah yang akan mematangkan seseorang menjadi penulis yang baik.
Tak hanya memperkuat basis pengetahuan, belajar juga memperkaya kemampuan berbahasa. Makin banyak hal kita tahu, maka akan makin banyak pula kosa kata yang kita serap dari sana. Bahasa mutlak harus dikuasai oleh penulis karena dengan bahasalah ia mengekspresikan apa yang dirasakan, dialami, dan dipikirkannya. Tanpa kemampuan berbahasa yang baik karyanya pun tidak akan menjadi baik.

Kemampuan berbahasa akan menentukan pula kemampuan seorang penulis untuk memilih kata (diksi) dalam puisi-puisinya. Seseorang yang punya referensi kota kasa banyak tentu akan selalu menyajikan diksi-diksi baru sehingga karyanya menjadi segar. Sementara orang yang tak memiliki kemampuan berbahasa yang baik, bukan hanya tidak mampu menghadirkan diksi-diksi segar, bahkan logika kalimatnya saja bisa berantakan.

Kemampuan bahasa, memilih diksi, menguasai dunia simbol, dan menata bunyi (irama atau musikalitas) adalah hal-hal dasar yang harus diperkuat dan “dimantapkan” oleh seorang penulis. Tahap selanjutnya adalah bagaimana penulis menjadi seseorang yang peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya untuk menangkap momen-momen puitik. Kepekaan akan membuat seseorang menjadi manusia yang utuh, yang tidak hanya asyik dengan dirinya sendiri.

jakob-sumardjo.jpg

Jakob Sumardjo (Foto: bogor-kita.com)

Profesor Jakob Sumardjo mengatakan bahwa, “sastra bukan hanya khayalan dan permainan belaka. Ia juga ekspresi seseorang dalam menanggapi kehidupan ini.” Kita tidak bisa merespon kehidupan tanpa kepekaan menangkap persoalan dalam kehidupan itu sendiri. Jadi, puisi bukan sekedar barisan kata-kata, ia memuat nilai-nilai, merefleksikan apa yang terjadi di sekeliling kita. Puisi adalah suara masyarakat dan zaman.

Seperti halnya cinta, ia tidak sekedar rasa, tapi refleksi dari sikap, perilaku, dan pikiran manusia. Ia jauh lebih luas dan dalam dari cuma perasaan selalu ingin bersama, rindu, kecewa, keluh-kesah, dan perasaan-perasanaan sentimentil lainnya. Seorang seniman harus (belajar) memahami dan menggali cinta lebih luas dan lebih dalam. Hanya dengan begitulah ia akan mampu menghadirkan sajak-sajak yang menggugah dan menggetarkan. ***

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!