PADA SUATU subuh yang tidak terlalu dingin, adik perempuanku akan melahirkan seorang bayi hasil dari hubungan haram. Semula kami sudah berusaha untuk menggugurkan bayi itu tapi takdir berkata lain, perut Ayu terus membesar sampai dia melahirkan.
“Kita harus menyiapkan sesuatu. Sebentar lagi adikmu akan melahirkan,” seru Ibu.
Ibu terpaksa bertindak sendiri sebagai bidan karena selama ini kami berusaha menutupi kehamilan Ayu pada orang-orang.
“Daripada keluarga kita malu, lebih baik Ayu melahirkan di rumah,” tegas Ibu. Aku masih diam mematung.
Semenjak Ayu hamil di luar nikah, keluargaku bagaikan sampah di mata masyarakat. Lontaran caci-maki serta umpatan menghunjam kuping kami saban hari. Sejak tahu adikku hamil di luar nikah, aku sangat kecewa padanya karena ulahnya lah nama baik keluarga telah tercoreng. Bila aku terus-terusan memikirkan itu, rasanya aku ingin membunuhnya. Kerap saat kemarahanku sudah memuncak, aku memilih menjauh dari rumah dan berusaha melupakan semua kekesalanku pada adikku.
Pernah juga Ayu mencoba menggantung diri dengan seuntas tali, namun lekas-lekas Ibu berlari mencegahnya. Semua itu ibu lakukan karena dia tidak ingin kehilangan Ayu, juga bayinya. Berzina dan bunuh diri adalah dosa besar, kedua perbuatan itu dilaknat Tuhan, teriak ibu kala itu. Setelah bercerai dengan Ayah, ibu yang menjaga dan menafkahi kami dari kecil. Kehamilan Ayu di luar nikah telah membuat hatinya terluka.
Saat pertama Ayu mengaku hamil, ibu menamparnya dengan keras, rasa kecewa dan sakit hati telah membuat ibu murka. Nasi memang telah menjadi bubur, tapi bagi seorang ibu tentu tidak akan membiarkan putrinya menghadapi masalah besar ini sendirian. Bukan berarti ibu mengamini apa yang telah terjadi, itu dilakukan karena semata-mata ibu tidak ingin Ayu mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya.
“Setiap nyawa sangat berharga, maka kita harus menjaganya,” ujar Ibu.
Semula kami memang merahasiakan kehamilan Ayu agar tidak diketahui orang banyak. Dengan menutup pintu dan mengunci mulut kami rapat-rapat. Namun, selihai apa pun kami menutupnya, entah lewat celah mana, aib itu tercium juga, seperti bau bangkai yang susah hilangnya sekalipun dibungkus dengan bungkusan yang samgat indah. Orang-orang membicarakan serta mencemooh adikku, entah di itu warung, rumah, di jalanan, atau di mana pun mereka punya kesempatan untuk bergunjing, maka mereka pun melakukanya.
Mungkin itu adalah hukuman yang pantas atas dosa yang telah diperbuatnya, pikirku. Aku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya orang-orang yang telah mengumpat adikku, sekalipun aku benci mendegarnya. Pada dasarnya merekajuga tidak salah, adikku memang hamil di luar nikah. Dia telah berzina dengan seorang laki-laki yang baru dia kenal. Kini lelaki itu pergi entah ke mana, adikku menerima getah hasil perbuatannya.
Subuh itu ketuban ayu telah pecah dan menengalir dari selangkangannya. Ibu membaringkan Ayu di lantai beralas tikar pandan. Ayu menjerit-jerit ketakutan. Karena dia berteriak-teriak, Ibu menyumpal mulutnya dengan kain basah. Dengan sigap ibu bertindak sendiri. Aku yang berdiri tidak jauh dari situ hanya melongo, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya aku ingin pergi jauh dari situ dan tidak mau terlibat tapi aku juga tidak mungkin meninggalkan ibu yang sedang susah payah sendiri. Ibu berdiri mengacak pinggang seraya membentak.
“Tolong duduk di ujung, arah kepala Ayu, dan pegang tangannya,” pinta ibu.
Dengan ragu aku duduk di arah kepala Ayu dan memegangg kepalanya. Sebenarnya aku sangat tidak nyaman berada dalam suasana itu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti permintaan ibu. Saat Ibu tidak sanggup lagi memegang kedua tangan Ayu yang meronta-ronta, wajah Ibu berubah merah memandang ke arahku.
“Kemari cepat kau!” teriak Ibu.
Aku berusaha memeganggng kedua tangan Ayu, aku sangat jengkel ketika Ayu menarik-narik tangannya. Di tengah kekacauan itu aku tidak bisa memusatkan pikiranku sepenuhnya. Bahkan, aku tidak tahu harus berada pada posisi yang benar. Karena Ayu berontak aku kembali berdiri dan memegangi kakinya. Tanpa sengaja aku menyingkap rok adikku itu, Namun, Ibu bergerak cepat dan menamparku.
“Plaak”
“Itu bukan urusanmu!” aku menyengir kesakitan.
Aku pun mengubah posisi, duduk kembali di arah kepalanya dan tetap berjaga-jaga agar dia tidak banyak bergerak. Saat aku memeganginya kembali, dia menapik dengan kasar, seolah-olah aku orang jahat yang hendak melukainya. Ibu menyuruhku tetap menyupal mulut Ayu agar tidak bersuara terlalu keras, yang bisa menarik perhatian tetangga. Aku meraih kain mengikat tangannya agar dia tidak berulah dengan mencakar-cakar ke arahku.
“Lepaskan aku! Aku tidak ingin melahirkan anak ini. Aku ingin mati!” ujar Ayu ketika sumpalan mulutnya terlepas.
“Jangan terlalu banyak bergerak. Tarik napasmu dan lepaskan secara teratur,” kata Ibu memaksa.
“Tolong jangan sumpal mulutku, aku tidak bisa bernapas,” ucap ayu. Aku dan ibu saling berpandangan, menyadari kesalahan kami masing-masing.
Meskipun begitu, aku tetap berjaga-jaga oleh dua tangan Ayu yang sering mencakar sembarangan.
Tubuh Ayu bermandi keringat. Ibu mengurut perutnya dengan hati-hati. Aku tidak tahu pasti apakah Ibu benar-benar mahir dalam hal bersalin atau cuma coba-coba. Entahlah, aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Yang membuatku takjub saat ini adalah perut Ayu yang membuncit seperti bola raksasa.
“Dengar, Anakku! Melahirkan, menyusui, dan bertaruh nyawa saat melahirkan adalah tugas kita perempuan. Kau tidak boleh mengutuk dirimu sendiri atau orang lain. Dulu Ibu juga melahirkanmu dengan susah payah—bertaruh nyawa. Ibu tahu kau tidak pernah mengingikan anak ini. Tidak seorang pun dari kita yang menginginkannya. Kau yang menulis takdirmu sendiri! Kau juga harus mampu menghadapinya sendiri. Bayi ini tidak berdosa, kita lah yang akan berdosa bila menyia-nyiakannya”jelas ibu sambil berkerja.
Mendengar ucapan ibu, dua bulir air mata mengaliri pipi Ayu. Merasa iba, perlahan aku merenggangkan peganganku. Dengan waspada, aku melepaskan dua tangan Ayu. Ketika itu Ayu mulai memperlihatkan sikap ramahnya kepada kami. Pagi itu bayi Ayu pun lahir dengan selamat. Anak itu menangis memecahkan sunyi. Aku pasrah mendengarkan jeritan bayi itu melengking, karena kami tidak mungkin menyumpal mulutnya.
Dengan selembar kain putih, Ibu menutupi bayi mungil itu, kemudian mengangkatnya dalam pelukan. Tuhanlah yang menentukan segala hal. Subuh itu kami telah berhasil menyelamatkan bayi Ayu, namun gagal menyelamatkan nyawanya. Sesudah semuanya selesai, aku duduk tersungkur di lantai. Aku melihat air mata Ibu jatuh berderai.[]