"Yang datang hanya berkapal-kapal informasi dalam peti besi yang tak boleh dibuka. Kemudian peti-peti itu disalurkan ke rumah-rumah melalui stasiun televisi dan media sosial. "--Saksimata
Menunggu penjajah menyandarkan kapalnya di dermaga yang baru di bangun pemerintah, kami menghabiskan waktu dengan minum kopi di tepi pantai yang hampir seluruhnya dipagari untuk kemudian dipungut bea masuk. Kecuali kolonial, barangsiapa masuk pantai di hari-hari setelah penat di kota, semua wajib bayar.
Tunggu punya tunggu, waktu habis tiada sisa, kecuali sampah kopi saset dan kemasan kerupuk dari indomaret. Sampah masa depan itu kami tempatkan semua ke laut yang terhampar luas di sepanjang mata memandang, tempat kapal-kapal kolonial mengarahkan moncong meriamnya jika nanti benar-benar hadir ke kampung kita dalam wujud aneka macamnya.
Kami tak kemana-mana hingga berabad-abad selanjutnya. Aku sampai beranak cucu di situ. Teman-temanku, janggutnya menjuntai dengan ujungnya terendam dalam air laut yang amat asin. Hingga berlumut dan bersarang kutu laut.
Anehnya, tak ada kapal bersandar dan mengirimkan bola api dari meriam-meriamnya yang bikin pekak. Tak satu pun serdadu terlihat sejak berabad lamanya itu. Suntuk benar kami. Yang datang hanya berkapal-kapal informasi dalam peti besi yang tak boleh dibuka. Kemudian peti-peti itu disalurkan ke rumah-rumah istri kami melalui stasiun televisi dan media sosial.
Dan kami lanjutkan ngopi. Berharap ada satu dua kolonial merapat dan lansung kami tebas batang lehernya. Tapi itu hanya ilusi:
"Penjajah ka bèh ditamông u dalam!" penjajah sudah berada di dalam semua. Kata komandan.