Source :
PUISI mungkin saja melelahkan untuk dibaca, namun kita bisa membacanya sebagai teriakan yang tersekat dari yang terpasung. Seperti dikemukakan Adorno, “Penderitaan yang berkepanjangan mempunyai hak untuk diungkapkan, sebagaimana orang yang dirajam mempunyai hak untuk berteriak”. Puisi-puisi seperti ini hanya memotret diri, tak ada realitas yang dibuat indah. Justru diri sebagai realitas dari puisi tampil dalam jagat yang tak tentu arah. Justru pada titik inilah kita menemukan gambaran ihwal nasib manusia dalam dilema kemodernan: tercerabut dari masa lalu, namun tak rampung menjelajah masa kini dan gampang terbang ke masa depan. Manusia, yang dirumuskan sebagai subyek yang lebih bebas, justru tertelikung oleh kebebasannya itu, menjadi "Si Wartawan Murung".
Source:
Mereka menyebut nya “kekerasan” dengan tanpa menghakimi, ia bahkan menuliskan bahwa kekerasan sebagai penyakit menular yang bisa mampir pada apa pun—bahkan pada puisi. “Kekerasan” adalah titik api yang menciptakan api yang semakin besar, menjelma api baru lantas membakar semuanya sampai semuanya mengapi. Kekerasan menjadi spiral yang berpilin-pilin, terus menyebar.
Puisi memang memiliki keleluasaan untuk mengemukakan kemarahan dengan cara yang sendu, atau menghakimi dengan cara seperti mengamini. Penyair mengemukakan itu dengan baik, ia memuji para penyebar kekerasan sebagai orang yang menginginkan surga juga, memanggil-manggil surga namun dengan mikrofon dari “tulang belulang manusia”. Kehendak untuk mencapai Surga secara cepat, atau kehendak berlebihan, adalah muasal dari kekerasan itu. Tuhan atau surga memang harus dicapai, namun bukan dengan kehendak berlebihan. Bahkan kebaikan atas dasar kehendak berlebihan, diyakini akan menghasilkan petaka lain yang tak tersadari: Di hadapan Tuhan, manusia tak memiliki apa pun—bahkan cinta. Justru pada saat merasa tak memiliki cinta itu, manusia kemudian merumuskan jenis hubungan baru yang lebih personal, hubungan di luar batas kategori: pertemuan di luar rumah kelaziman: Sebab di rumahmu dulu, Masih ada tali lain.
Source:
Di luar rumah, pernyataan ini bisa ruwet dan dianggap meninggalkan ritual resmi, namun di dalam kamar semuanya dapat terjadi dengan indah. Perjumpaan baru disusun ulang berdasar tingkat kepahaman akan diri seperti “diri yang tak punya banyak cinta” namun memiliki banyak “kemesraan”, atau diri yang menyediakan rumah buat Kekasih.
Source:
Kekerasan, puisi teriakan yang bukan teriakan, ia menjadi teriakan dari penderitaan yang tak berkesudahan dalam bahasa yang bukan teriakan. Selagi hasrat setercekat apa pun, akan memiliki ruang pembebasan serupa rumah pengecualian, begitu rumah nyata tak dapat memuat hasrat atau kegelisahan atau perjumpaan-perjumpaan, puisi menyediakan rumah baru yang lebih luas. Selagi Masih ada puisi sebagai bentuk perjumpaan dengan Tuhan (yang dapat menjebak kaum beriman memercikkan titik api kekerasan) dapat dihindari dengan perjumpaan melalui "mawar sehabis merekah".