Dimulainya peradaban modern dan Globalisasi, menuntut lembaga pemerintah, lembaga usaha dan lembaga kemasyarakatan untuk membangun sebuah lembaga yang tertata baik manajemennya. Hal ini dilakukan agar visi misi suatu lembaga terkontrol dengan baik, sumber daya yang transparan dan pencapaian sasaran mutu yang optimal. Masing-masing lembaga punya caranya sendiri-sendiri. mulai dari lembaga yang konvensional hingga bertaraf internasional memiliki peraturan dan kebijakannya sendiri-sendiri, enggan berkolobarasi dan ingin mendominasi. Dari sekian banyak metode manajemen tersebut, ada yang terpaku dengan aturan-aturan norma hukum dan ada yang berdasarkan moral.
Aturan yang terpaku dengan norma-norma hukum disusun sedemikian rupa dengan mengasumsikan semua individu yang ada di suatu lembaga memiliki moral yang sama dan masing-masing personel tersebut berpotensi semua melanggar norma-norma hukum. Lembaga yang menganut manajemen seperti ini biasanya lembaga-lembaga yang dinilai maju dan berstandar global. Aturan yang mereka susun memang rapi dan terkesan disiplin, namun banyak menciptakan kekakuan pada aturan-aturan tersebut yang sering mengakibatkan sisi kemanusiaan luntur. Kekakuan tersebut, misalnya anda diketahui bekerja sebagai supir truk, dan anda telah mendistribusikan berbagai macam barang ke pelosok negeri tempat anda tinggal. Jalan dengan medan datar, perbukitan dan pegunungan telah anda arungi. Namun pada suatu ketika anda terburu-buru karena diminta segera mengantarkan logistik, akibatnya anda lupa membawa kelengkapan ijin berkendara, Anda ingat dipertengahan jalan, namun karena mengejar waktu akhirnya anda enggan untuk balik ambil kelengkapan ijin berkendara.
Malang nasib, dalam perjalanan anda di berhentikan aparat pengatur lalu lintas. Anda diberi sanksi karena tidak memiliki surat ijin mengemudi (TNM). Aparat tidak mau tau, apa anda memang belum berkapasitas sebagai pengemudi atau tidak, yang hanya diperhatikan aparat tersebut hanya kartu kecil yang dilaminating yang dinamakan TNM. Akibatnya anda dianggap belum berkapasitas menjadi pengemudi truk dan bermuara pada diberikannya sanksi, karena tidak memiliki kartu TNM tersebut atau lebih tepat lupa membawanya.
Hukum langsung dijadikan alat untuk menilai anda tanpa mempertimbangkan moral. Padahal ketika itu supir truk dari Jawa dan telah sampai ke Sumatera. Logikanya, masa ada orang yang dinilai tidak berkapasitas mengemudi, bisa mengemudikan truknya dari Jawa hingga ke Sumatera. Coba anda bayangkan bagaimana regulasi ini bekerja. Tidak heran, kalau angka kecelakaan meningkat, anak-anak dibawah umur dapat berkendara, orang-orang yang membahayakan pengguna jalan raya lainnya bebas berkendara, karena indikator perijinannya hanya kartu TNM, itupun kartunya hanya berisikan identitas dan jenis kartu apa, A, C atau B.
Seharusnya regulator dalam menyusun regulasi perlu mengkaji dan memasukan paramater moral, menanyakan historis anda, melihat performa anda terlebih dahulu sebelum menyeret anda ke dimensi hukum. Disinilah terlihat kekakuan aturan yang terpaku hanya dengan norma hukum.
Contoh miris lagi, yaitu ketika nenek tua ronta dilaporkan oleh pemilik perusahaan perkebunan singkong karena mengambil tanpa ijin dua batang singkong yang ada di wilayah perusahaan perkebunan singkong. Aparat kemanan yang tidak mempertimbangkan moral terlebih dahulu akhirnya menangkap Sang Nenek dan menyelesaikan kasus ini di Pengadilan. Ini salah satu kekakuan hukum yang menyebabkan sisi kemanusiaannya hilang, hanya berhenti di substansi tanpa menyentuh esensi.
Seandainya moral didahulukan tidak akan ada Guru yang mengajari muridnya dipenjarakan, Tidak akan ada lagi Orang Tua yang dipenjarakan Anak Kandungnya
Kenapa aturan seperti ini masih dipertahankan bahkan dipuja-puja. Hal ini karena aturan tersebut memang dikemas dan diiklankan semenarik mungkin. Bagaimana penataan arsip, bagaimana standar operasi kerja, bagaimana metode pelaporan dan bagaimana pertanggung jawabannya. Melihat kemasannya yang menarik membuat dunia terlena dan berlomba-lomba ingin menerapkan aturan tersebut di perusahaannya hingga ditengah keluarganya.
Melihat peluang tersebut. Sang produsen manajemen kerja sepakat membuat lisensi standar manajemen kerja. Mereka mengajak para cendekiawan untuk setuju dengan adanya lisensi untuk memoles tatanan manajemen kerja agar terlihat maju dan terkontrol. Akhirnya dunia cendekiawan pada saat ini terikat lehernya oleh standarisasi-standarisasi yang kaku tersebut. Standar-standar dunia dianggap paten dapat diterapkan di semua peradaban. Hal ini dikuatkan lagi adanya pengaruh perlunya standarisasi, kalau ingin mendapatkan suatu proyek-proyek. Akibatnya terjadilah ledakan big bang kapitalisme dalam manajemen kerja. Hampir semua bidang sekarang telah berhasil dikuasi oleh produsen manajemen kerja dan para konsumen sepakat menelan bulat-bulat aturan itu dan dipaksa menganggap aturan inilah yang ideal.
Ketika aturan lembaga standarisasi dipercayai sakti mandraguna. Maka muncullah Malaikat Auditor yang muncul dari kerajaan standarisasi, yang dipercayai manusia lebih nyata kehadirannya daripada Malaikat Auditor yang dijelaskan oleh Sang Pencipta.
Sebelum audit dilakukan para konsumen aturan standarisasi mati-matian menata lembaganya agar sesuai dengan aturan-aturan yang ada di suatu standarisasi. Mereka ingin diakui sesuai dengan aturan standarisasi tersebut karena mereka menilai hal itu bisa menaikkan nilai lembaga mereka. Lucu sekali. Mereka bayar mahal untuk manut lembaga standarisasi, analoginya mereka punya rumah sendiri terus bayari tukang bersih rumah untuk mendikte mereka dalam membersihkan rumah mereka sendiri.
Auditor datang ke lembaga mereka. disambut bagaikan pejuang perang yang baru pulang dari perang badar. mereka tata segala macam komponen yang ada di lembaga mereka sesuai dengan teks-teks buku tips dan trik yang disusun oleh lembaga standarisasi. Mereka ketakutan kalau ada temuan ketidak cocokan dengan aturan lembaga standarisasi. Takut kalau nanti standarisasi yang telah menempel diperusahaannya dicabut lembaga standarisasi. Padahal kalau memang hal itu mereka perlukan, metode manajemen kerja yang mereka tiru dan mereka adopsi, bayar mahal. tentunya dengan sungguh-sungguh mereka akan menjalankannya, apa mungkin kalau sudah menjalankannya masih khawatir seperti orang yang bersalah melakukan pelanggaran. Ini yang salah aturannya atau orang yang menggunakannya atau dua-duanya.
Disini dapat kita lihat bahwa standarisasi tersebut tidaklah mereka (pengguna standar) inginkan, namun kenapa mereka terus mempertahankan? walau itu sebenarnya bukan membantu mereka malah merepotkan. Udah bayar mahal tapi tidak pernah merasakan klimaks kenyamanan.
Manusia-manusia yang percaya dengan kecanggihan lembaga standarisasi dalam menata lembaganya, tanpa mereka sadari mereka secara tidak langsung melunturkan sisi kemanusiaan mereka. Mereka perlahan lupa dengan auditor sesungguhnya.
Mereka lupa Audiensi mereka di dunia sejatinya ialah Sang Pencipta dan staf-staf pelaksana kerja mulai dari juru operator hingga auditor. Sang Pencipta dan Staf-stafnya menilai dan mengukur segala hal yang mereka lakukan dengan teliti. Penilaian tersebut berdampak pada diberikannya penghargaan atau hukuman yang ditentukan oleh Sang Maha Adil
Sangat disayangkan dengan adanya lembaga standarisasi membuat para manusia menganggap malaikat bahkan sang pencipta sebagai tokoh mitology. Mereka berpikir kalau mereka bebas dari audit oleh kerajaan langit. Mereka mengabaikan kewajibannya asalkan tidak melanggar aturan auditor lembaga standarisasi yang ada di daratan. Mari kita mulai lagi dari awal, ingatlah bahwa semua itu diperhitungkan, sebutir debupun kuantitas dan kualitas suatu perbuatan tersebut akan tetap dipantau oleh staf-staf Sang Pencipta. Boleh kita menggunakan standarisasi lembaga manapun atau dengan metode apapun, namun gunakanlah standarisasi tersebut karena kita memang membutuhkannya dan mari kita bangun lagi tatanan aturan manajemen lingkungan sosial kita dengan tidak menyingkirkan penilaian moral. Norma Hukum bukanlah produk gagal, namun letaknya saja yang akan lebih baik kalau diletakkan setelah proses penilaian moral dilakukan.
Congratulations @perdi-bahri! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
To support your work, I also upvoted your post!
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Apa ya mungkin pak keadaan yang bapak harapkan berlangsung lagi sebagamana keadaan itu pernah digunakan oleh mbah-mbah kita dulu, dan mereka menangkap mbah itu gara-gara ambil singkong. Mereka saja malu melibatkan tuhan secara utuh dalam rapat-rapat mereka, diskusi-diskusinya, dan pengambilan keputusan walaupun dalam ruangan itu ada simbol yang memuat falsafah luhur dan poin kehadiran tuhan diletakkan di urutan pertama. Sedang mereka menganggap seola-olah tuhan tidak tahu tentang apa yang mereka lakukan. Coba renungkan lagi, apa ya pernah muncul kecenderungan pikiran mereka mempertimbangkan peranan tuhan, apalagi ada peserta rapat evaluasi proyeknya melontarkan pernyataan "Sepertinya tuhan tidak setuju...", "Wah, kira-kira apa tuhan mau yaa.." atau "Maunya tuhan apa sich..". Semua itu tidak mungkin pak, takut dianggap sinting. Tapi anehnya mereka posting habis-habisan tentang kehadiran tuhan di medsosnya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Iya pak fenomena ini marai bingung pak. Mereka dengan sangat tekun berdakwah, menasehati, ingkar mungkar dan berfilsafah di medsosnya sampai-sampai saya terinspirasi. Namun ketika mereka berbentur dengan situasi dan kondisi yang mana situasi tersebut dapat dilewati dengan baik dengan kata-kata mutiaranya Pak. Nyatanya yo mereka amnesia gt pak. Kayak kena pukul gitu pak kepalanya. blass tidak menjalankan apa saja kebaikan yang mereka sharing kemana2 itu. Saya takutnya kalau ini terus dibiarin lama-lama kalimat yang dulunya ajinya luar biasa bisa jadi luntur karena fenomena ini. Mereka secara tidak langsung mensekulerkan agama dengan kehidupannya. Kalo gini lama-lama mereka anggap agama itu kisah mitology pak ?
Semoga aja pak mereka bisa paham maksud Mbah atau nenek moyannya dulu pak. dan menyadari sendiri kalau dirinya ialah bagian bangsa yang luar biasa.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bukan hanya kisah mitologi lagi pak, sekarang aja mereka menganggap hal itu sebagai barang jualannya.
Iya pak, mudah-mudahan mereka percaya diri dengan bangsanya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit