Urgensi Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Pembuktian Hukum Pidana
a. Defenisi Ilmu Kedokteran Kehakiman
Ilmu kedokteran kehakiman juga memiliki istilah lain yaitu “kedokteran forensik” yang merupakan terjemahan dari “Gerechtelijk Geneeskunde atau Forensic Medicine” yang khusus berkaitan antara medis dan hukum. Pengertian dari ilmu kedokteran kehakiman yaitu penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan. Bahwa ilmu kedokteran kehakiman ini sangat berperan dalam membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam memecahkan segala persoalan yang membutuhkan peran dari kedokteran kehakiman.
Ilmu kedokteran kehakiman ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kemanusiaan terutama pada kondisi manusia yang tak wajar. Sehingga ilmu kedokteran kehakiman ini dibagi menjadi dua cabang ilmu yaitu Clinic Forensic Medicine yang berhubungan dengan manusia hidup dan Clinical Phatology yang berhubungan dengan mayat.
b. Forensic Kaitannya dengan Hukum Pidana Materiil (KUHP)
Relevansi antara forensic dengan hukum pidana sangat erat sekali karena berkaitan dengan pembuktian. Setiap orang yang dengan sengaja menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti yang dilakukan pelaku tindak pidana yang menjadi sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan melalui ilmu forensic maka akan disangkakan melanggar Pasal 221 dan Pasal 222 kitab undang-undang hukum pidana. Pasal 221 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun penjara dan denda paling bnayak tiga ratus rupiah.
Proses menghalang-halangi juga diatur dalam Pasal 222 KUHP,misalnya dalam hal ini adalah mencegah atau menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan maka dipenjara paling lama Sembilan bulan dan denda paling banyak tiga ratus rupiah. Tidak hanya pada dua pasal ini saja, namun dalam Pasal 224 dan Pasal 225 juga mengenai tindak pidana terhadap orang yang tidak mau memenuhi panggilan sebagai saksi, ahli maupun juru bahasa yang diatur dalan Pasal 224 maka dipidana penjara paling lama Sembilan bulan dan dalam perkara lain dipidana penjara selama enam bulan. Beda halnya dalam Pasal 225 yang tidak mau menuruti surat perintah untuk menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan atau kebenarannya dapat disangkal dan diperbandingakan dengan surat lain yang asli yang pidananya sama dengan Pasal 224 KUHP.
c. Forensic Kaitannya dengan Hukum Pidana Formal (KUHAP)
Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) diberlakukan tanggal 31 Desember 1981 yang kuhap tersebut terdapat perubahan yang menyangkut keterangan ahli, dimana dalam kuhap tidak lagi disebut saksi ahli yang ada adalah keterangan ahli.
Beberapa pasal dalam kuhap yang berkaitan dengan kedokteran forensic diantaranya Pasal 6 ayat (1), penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Ayat (2) syarat kepangkatan pejabat sebagaimana pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1), pejabat yang dimaksud dari pasal sebelumnya adalah pejabat yang memiliki kewenangan, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana dan komponen lainnya dalam pasal tersebut. Dalam Pasal 120 ayat (1) ketika penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ayat (2) mengangkat sumpah atau janji dihadapan penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya.
Pasal 134, dalam hal untuk pembuktian diperlukan pembedahan terhadap mayat maka harus diberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2, jika keluarga korban keberatan, penyidik harus menjelaskan sejelas-jelasnya tetntang tujuan dari pembedahan tersebut. Ayat 3, apabila daam dua hari tidak ada tanggapan dari keluarga atau pihak untuk diberi tahu maka penyidik segera melaksanakan pasl 133 ayat 3 KUHAP. Banyak lagi pasal yangb berkaitan dengan forensik missal pasal 135, 136, 162 ayat (1,2), pasal 172 ayat (1,2), 179 ayat (1,2) 180 ayat (1,2,3,4), 185 ayat (1,2,3,4,5,6,7), 186, 187, dan pasal 188 ayat(1,2,3)
d. Visum et Repertum dan Otopsi dalam Pembuktian Hukum Pidana
d.1. visum et repertum
Dasar hukum visum et repertum atau disingkat dengan VeR adalah lembaran Negara tahun 1937 nomor 350 yang dalam pasal 1, visa reperta seorang dokter yang dibuat diatas sumpah jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikannya di negeri belanda atau Indonesia maupun atas sumpah istimewa seperti salam pasal 2 mempunyaidaya bukti yang sah dalam perkara pidana selama visa reperta tersebut berisi mengenai keterangan terhadap hal-hal yang ditemui dari benda yang diperiksa dokter.
Dengan berlakunya KUHP tanggal 31 Desember 1981 terdapat perubahan dimana dalam kuhp tidak tercantum “visum et repertum” namun sebutan yang digunakan adalah “keterangan ahli” (Pasal 133 ayat 1), sampai saat ini departemen kesehatan yang dalam surat tertanggal 16 mei 1983, no. 0415/SJ/HHM/V/83 masih menggunakan visum et repertum. Visum revertum merupakan alat bukti yang sah termasuk surat sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana pasal 184 ayat 1. Visum et repertum ada dua macam:
a. VeR untuk korban hidup
Visum et repertum, untuk korban yang tidak perlu perawatan lebih lanjut dalam artian tidak perlu dirawat dirumah sakit karena tidak mengganggu pekerjaan atau aktivitasnya.
Visum et repertum sementara, setelah diperiksa korban perlu perawatan lebih lanjut baik dirumah sakit maupun dirumahnya dan ini dijadikan untuk menahan terdakwa.
Visum et repertum lanjutan, diberikan setelah korban sembuh, meninggal, pindah rumah sakit, pindah dokter. Jadi apabila korban belum sembuh dan pindah dokter kualifikasi luka tidak dicantumkan.
b. Visum et repertumuntuk korban mati, tujuan pokoknya adalah menentukan sebab kematian dan cara kematian. Untuk mengetahui kematian maka harus dilakukan pemeriksaan terhadap semua organ dalam tubuh, jadi harus dilakukan otopsi, tanpa dilakukan otopsi maka tidak mungkin diketahui sebab kematian.
d.2. Otopsi Sebagai Unsur Visum et Repertum
Kita mengetahui lukanya seseorang, tidak sehatnya seseorang, pada saat lain akan pulih ataupun akan bertambah parah. Dalam kaitannya dengan luka atau tidak sehatnya seseorang akibat menjadi korban tindak pidana, maka hukum akan sulit untuk memperkirakan pada saat kapan seseorang tersebut luka atau mulai terganggu kesehatannya.
Sama halnya dengan mayat, apabila dibiarkan bukan hanya membusuk tetapi memang sudah seharusnya mayat tersebut selekasnya dikubur. Kaitannya dengan kematian seseorang akibat korban tindak kejahatan atau patut diduga sebagai akibat kejahatan maka keberadaan mayat tersebut menjadi barang bukti yang akan dijadikan dasar dalam memperoleh alat bukti
Bahwa akibat kematian seseorang tersebut diduga korban dari kejahatan maka selanjutnya akan di proses melalui pengadilan sesuai dengan prosedur yang diatur oleh hukum. Sehingga kepolisian sebagai penyidik berhak atas barang bukti tersebut, baik itu dalam melakukan pembedahan untuk kepentingan pembuktian, dan mengenai proses diatur dalam pasal 133dan pasal 134 kuhap.Abdussalam, Forensik, Restu Agung, Jakarta, 2006.
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan Dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2007.