Hujan jatuh subuh tadi, bagai puisi jelek yang ditulis penyair Kutaraja tentang kampung-kampung di sepanjang garis pantai selat malaka. Tentang Deah Baro, Deah Geulumpang dan Ulee Lheue hingga ke gampong Jawa.
Semua puisi akhirnya menyerah dalam seantologi buku tak laku dijual. Dan yakinlah tak ada diantara penyair itu yang mengirimkan puisi tentang salah urus tata ruang dan sampah-sampah ke meja pak wali. Semua penyair pulas dengan tiga botol sirup cap patung dari pemkot.
Harusnya puisi dikirimkan melalui angin ke Taman Sari, Bagai TPA gampong Jawa mengirimkan bau tak sedap ke hidung warga.
Tapi, sekarang sedang puasa. Ratusan ton sampah dihasilkan dari rumah-rumah kaum muslimin: bungkusan plastik, ampas tebu, geuleupak u muda, kue sisa, cincau, timphan balon, mi caluek Meureudu dan Grong-Grong, kolang-kaleng, tempe dan tahu isi, kanji sisa, cindoi hingga bungkusan KFC dan soft drink dari Indo Maret. Semua itu bersaksi bahwa kita telah diuji sehari penuh dengan lapar dahaga.
Banda Aceh dalam Ramadan yang berkah, selalu nampak romantis. Penjual baju hari raya yang ramah, warkop yang selalu berhasil mengalahkan mesjid dalam soal jumlah jamaah, lampu padam tiba-tiba sampai penjual air tebu jam 12 siang yang bikin pusing Satpol PP.
Dari gampong Jawa yang riuh ombak, sirine imsak pecah di langit membangunkan perokok yang tidur-tidur ayam di kursi kayu. Azan Subuh menetralkan pagi dari pengaruh malam.
Hingga Ramadan kelak pergi, tarawih masih belum ketemu kata sepakat, 8 atau 20. Mungkin sampai kiamat pertentangan ini baru tamat. Brat!
Puisinya bagus dan unik
Saya suka dgn tulisan ini :
"Penjual baju hari raya yang ramah, warkop yang selalu berhasil mengalahkan mesjid dalam soal jumlah jamaah"
Sesuai dgn kenyataan 😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Makasi, kaka @santiintan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit