Aceh Selatan menanti Rabu, 27 Juni 2018. Hari penentuan hak pemilih untuk menentukan pemimpin 5 tahun ke depan.
Gebyar pilkada jelas terlihat, pernak pernik kampanye di sepanjang jalan nasional dan di gampong- gampong menampilkan kesan tidak boleh main-main soal memilih pemimpin.
Posko, bendera partai, spanduk, poster dan kalender menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pesta demokrasi ini. Calon kandidat menggelarpPertemuan demi pertemuan sampai mobilisasi massa untuk kampanye akbar. Membuat komunitas relawan serta basis pendukung secara terstruktur, membentuk tim khusus memainkan isu sampai dengan branding simbol kandidat merupakan upaya merebut simpati swing voter.
Dari 7 kandidat calon, hanya 3 pasangan yang mendapat dukungan partai muncul kepermukaan sebagai calon pemenang kontes.
Bukan bermaksud menafikan calon perorangan, namun secara kasat mata dukungan alat peraga bisa memberi gambaran ketiga calon dari Pasangan Putih, Pasangan Mirah dan AZAM jauh lebih diunggulkan.
Merunut fakta, pilkada tentu punya sebuah warna yang menjadi kuat sesuai dengan dukungan partai, jika kandidat nomor urut 5 dan 6 lebih identik dengan nama pasangannya yaitu warna putih dan warna merah, maka pasangan Nomor Urut 2 lebih identik dengan warna Orange sebagai simbol dari Partai Nasional Aceh (PNA).
Sebelum bicara simbol warna, ada baiknya kita melihat data, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui bersama dalam proses politik di Aceh.
Pertama, dukungan partai tidak menjadi penentu utama kemenangan
Pilkada Pidie 2017 memberi bukti, calon independent Roni Ahmad (Abu Syik) dan Fadhullah malah unggul 48 persen dari calon petahana Sarjani Abdullah – M. Iriawan yang hanya memperoleh 46 persen.
Di Pilkada Pidie, jalur perseorangan dikepung oleh 100 persen kursi dari partai politik, namun hasilnya tidak linear. (www. harian.analisadaily.com, 25/02/2017)Sebuah tanda tanya besar untuk mesin pilkada bernama partai politik pendukung, bagaimana kinerja DPW, DPD dan DPC Parpol dan kedalaman pengaruhnya.
Pidie memberi sebuah pembenaran bahwasanya kepercayaan tidak bisa dibeli, secara personal satu suara tidak mengikat kesetiaan pada partai dan golongan, karena di bilik suara pemainnya adalah nurani.Kedua, WTP bukan bukti rakyat sejahtera.
Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penyajian laporan keuangan pembangunan daerah berdasarkan 4 kriteria utama yaitu, kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan dan efektivitas sistem pengendalian intern. (https://id.m.wikipedia.org).
Penegasannya WTP semata mata Laporan Keuangan bukan indikator majunya pembangunan apalagi menyangkut kesejahteraan.
Komisi Pemberantasan Korupsi malah menyebutkan adanya commitment fee untuk opini WTP, baca kasus WTP Kemendes, aliran dana untuk mendapat WTP seharga 240 juta.
Anda cukup pintar menjawabnya, WTP bisa dibeli ?
Sebaliknya Kepala Daerah penerima WTP kerap terciduk dalam operasi tangkap tangan KPK, sebut saja Bupati Purbalingga, Tasdi dengan prestasinya 2 kali WTP berturut turut sementara itu mantan Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari malah mampu membawa WTP untuk daerahnya 5 tahun berturut turut (www.tirto.id, 9/6/2018).
Ketiga, Pemilih Simbol masih kental.
Bicara Aceh, masyarakatnya masih terikat kuat atas simbol simbol baik secara budaya atau sosial. Dalam politik pun kerap memainkan simbol sebagai brand agar mudah diingat dan mempengaruhi perilaku pemilih.
Ka’bah disinyalir sebagai simbol penentu kemenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena berazaskan Islam. Di Tingkat Provinsi Gambar kandidat Calon Gubernur/Wakil Gubernur Irwandi- Nazar sukses merekam benak pemilih dengan Pakaian Adat Acehnya.
Kuatnya rasa kedaerahan tersebut juga mengantarkan calon legislatif dari Partai Aceh bahkan pasangan gubernurnya Zaini Abdullah – Muzakir Manaf unggul karena bendera Partai Aceh menjadi perwakilan dari keacehan itu sendiri.
Di Tahun 2018 inilah simbol simbol itu kembali dimainkan di panggung politik Aceh Selatan.
Putih menjadi Warna dari Pasangan Sama Indra -Harmaini, Merah menjadi Karakter Pasangan Mirwan - Zirhan, dan Orange menjadi Simbol dari Pasangan Azwir - Amran.
Menguliknya tentu berakibat pembenaran dan berujung tendensius, namun secara filosofi, Putih menyampaikan pesan ada kemurnian tujuan dari Pembangunan Aceh Selatan, sedangkan Merah menitik beratkan pada darah perjuangan para syuhada untuk Aceh Selatan.
Berdasarkan warna dasar bendera PNA maka orange lebih dimaknai sebagai warna perlawanan dari ketidakmurnian perjuangan atas darah, airmata para syuhada, anak anak yatim dan para Janda semasa konflik Aceh sehingga butuh pembaharuan pembangunan.
Merujuk kepada ketiga hal di atas, maka hal yang sangat dinanti nanti adalah hari pencoblosan.
Saat nama dipanggil satu persatu di Tempat Pemungutan Suara, lembaran kertas suara anda buka perlahan di dalam bilik.
Tujuh pasangan putra terbaik Aceh Selatan terpapar jelas, di sinilah nurani berdialog hebat. Kesetiaan Anda diuji memilih alasan partai, uang saku, kerabat atau demi Aceh Selatan.
Pilihanlah yang memberi maklumat bahwa anda adalah pemercaya, pengenang atau seorang pembaharu, karena Suara anda adalah Suara Rakyat. Maka Memilihlah sebagai Awal Aceh Selatan Hebat.
Meukek, 20 Juni 2018.
Posted from my blog with SteemPress : https://www.acehtrend.co/pilkada-aceh-selatan-merah-putih-atau-orange/