Bab ini di kupas keadaan sosial-kultural pendidikan islam di Aceh, khususnya mengenai perubahan otoritas religi dalam masyarakat Aceh ke ustaz. Pada umumnya, otoritas pendidikan islam di Aceh lebih banyak di kontrol oleh para pemimpinatau ahli agama lokal yang di kenal dengan istilah teungku. Mereka memainkan peran yang cukup signifikan tidak hanya di dayah sebagai tempat reproduksi ulama, tetapi juga sebagai penjaga masyarakat namun, dalam kehidupan islam sehari-hari di Aceh beberpa teungku malah memainkan peran merekadalam bidang sosial politik ketimbang dalam bidang pendidikan islam.
Ustaz adalah guru. Mereka memainkan peran tidak hanya di pondoj pesantren tetapi juga sebagai juru dakwah. Kedua konsep ini telah di kenal luas di Aceh, namun dalam dua dekade terakhir seelah pengenalan terhadap pondok pesantren modern yg di adopsi dari gontor pada tahun 1980-an panggilan ustaz telah diterima sebagai gelar dalam bidang keagamaan di Aceh.
Di aceh ulama berperan cukup aktif sejarah kedatangan islam hingga bergabung menjadi bagian dari RI. Semasa kerajaan islam para ulama menjadi penasihat khusus bagi sultan atau sultanah. Pada era perang melawan belanda ulama juga tampil sebagai pahlawan yang menggunakan ideologi jihad sebagai bentuk dari perang di jalan Allah.
Di Aceh, para ulama dikenal dengan panggilan teungku, abu,abi, waled, abati dan abon. Dlam hal ini terdapat hiraarki. Ulama yang paling tinggi di kenal dengan abu, yang terkadang di hubungkan dengan kampung kediaman mereka. Seperti abu tanoh, mirah, abu awe geutah, dan abu tanoh abe. Nama-nama panggilan yang terhubung dengan nama kampung menyiratkan bahwa mereka yang mengontrol pola hidup keagamaan di masyarakat.
Peran seorang abu chik atu teungku chik tidak hanya di dayah tetapi juga sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat. Misalnya, kerap mereka di undang ke acara-acara pemerintah. Atau mereka terkadang di kunjungi oleh pangima militer untuk bagian dari silahturahmi. Bahkan, beberapa abu chik juga terlibat dalam arena politik khususnya pada pemilu 2009.
Beberapa abu chik juga di kenal dengan sebutan syaikh, terutama jika memiliki tarekat. Di beberapa dayah khususnya di Aceh selatan, mereka melakukan suluk selama bulan ramadhan, jika tidak ada syaikh atau tarekat di beberapa dayah tertentu, maka beberapa santri senior akan melakukan khulud, meditasi selama 45 hari dekat dengan kuburan-kuburan ulama besar atau dalam kamar yang cukup gelap di dayah.
Adapun tengku yang bekerja di bawah abu chik atau tengku chik adalah teungku bale. Secara akademik, kelompok tengku ini sama dengan peran ustaz di dayah modern, sementara levelnya pun sama dengan tingkat SMU. Di samping itu teungku bale juga mewakili abu chik atau teungku chik dalam acara-acara keagamaan masyarakat.
Jika suatu kampung tidak ada seorang pun yang belajar di dayah, maka kampung tersebut akan mengalami persoalan internal. Artinya, mereka sama sekali tidak memiliki generasi yang menduduki sebagai teungku meunasah. Dlam hal ini tidak menutup kemungkinanpara orang tua akan merelakan anaknya gadis mereka di nikahi oleh alumni dayah. Tujuannya agar pemuda tersebut tinggal di kamung tersebut dan kemudian menjadi teungku meunasah.
Pada halam 939 dikatakan bab ini telah di uraikan satu kelompok dalam masyarakat islam di aceh, di mana beberapa ustaz-jawa telah memberikan konstribusi dalam kehidupan beragama. Walaupun, agaknya keberadaan mereka sangat boleh jadi ada hubungannya dengan keberadaan jaringan terorisme di Indonesia. Karena itu, beberpa sel jaringannya juga memiliki misi lain di Aceh yakni menjalankan jihad atau mendirikan khalifah islamiyyah. Dlam konteks ini ustaz-jawa sangat memahami pola organisasi di aceh mereka tidak hanya sebagai guru tetapi juga merupakan bagian dari gerakan islam di indonesia.