Membahas konstribusi keilmuan alumni luar negeri di Aceh dalam Acehnologi pada prinsipnya adalah berusaha untuk menyambungkan silaturahmi keilmuan antara mereka yang pernah belajar di luar negeri, baik di timur maupun di barat, agar lebih memahami ranah-ranah kehidupan rakyat Aceh secara lebih baik. Saat ini, era keterbukaan telah memberi angin baru bagi siapapun untuk menuntut ilmu dimana pun.
Alumni pendidikan luar negeri memang sangat di minati oleh masyarakat Aceh, terutama timur tengah. Dalam tradisi masyaraka Aceh jika seseorang ingin berangkat keluar negeri tidak sedikit para orang tua akan melakukan syukuran akan keberangkatan anak-anak mereka. Syukuran ini selain sebagai simbol pemberitahuan kepada sanak saudara, juga berfungi sebagai upaya agar putra-putri tersebut selamat sampai tujuan dan bisa kembali lagi kedalam masyarakat. Karena itu, berangkat keluar negeri merupakan simbol yang amat bergengsi bagi masyarakat Aceh.
Pada zaman dulu di Aceh, jika ingin belajar keluar negeri maka para anak muda Aceh akan pergi menuntut ilmu ke Timur tengah, hal ini di karenakan jika mereka berkiprah di dalam masyarakat peran mereka sangat di rasakan karena keluasan dan kualitas ilmu yang mereka dapatkan. Namun jika tradisi belajar ke luar negeri yang non-studi Islam pada zaman dahulu hanya kelompok-kelompok bangsawan atau kaum ningrat saja yang dapat belajar ke kawasan Barat. Jadi wajar, jika dalam tradisi pengiriman di Aceh ke Eropa belum begitu mencuat di kalangan masyarakat Aceh. Akibatnya, peran orang Aceh dalam pentas nasional lebih banyak di perankan oleh para sarjana yang pernah mengenyam pendidikan dayah.
Namun walaupun pendidikan di luar negeri merupakan simbol yang amat bergengsi bagi masyarakat Aceh ternyata ada juga anak-anak Aceh yang tidak mengeyam pendidikan di luar negeri tapi sangat berpengaruh bagi Aceh dan Indonesia. Di antaranya adalah Hasbi Ash-Shiddieqy yang merupakan ulama dari Aceh yang tidak pernah mengeyam pendidikan di luar Aceh namun perannya setara dengan pembaru-pembaru Islam di luar negeri, lalu Aceh juga memiliki Ali Hasjmy sebagai ilmuan serba bisa, namun sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri dan hal serupa juga di alamani oleh Junus Ismail, dimana beliau merupakan salah satu tokoh dan ilmuan Aceh yang tidak pernah mengeyam pendidikan di luar negeri. Harus di akui bahwa pada tahun 1970-an para sarjana yang sangat produktidf di Aceh sama sekali bukanlah Alumni Timur Tengah ataupun Universitas ternama di Eropa atau Amerika Utara, namun karya-karya mereka sering di rujuk oleh para sarjana dalam maupun luar negeri.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an Aceh masih mampu meberikan konstribusi terbaiknya dalam dunia akademik Indonesia. Setelah tahun 1990-an hingga 2000-an episode suram akademik Aceh dipicu oleh gejolak antara provinsi ini dengan pemerintah pusat di Jakarta. Namun, upaya untuk belajar keluar negeri masih begitu kuat di kalangan anak muda Aceh . hal ini tercermin dari minat anak-anak muda Aceh belajar ketimur Tengah dan dalam beberapa hal tertentu ke negeri tetangga. Adapun selain ke Timur tengah dan negara tetangga mereka juga mendapatkan perlakuan istimewa seperti beasiswa ke kawasan Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Mereka belajar kesana bukan hanya diseleksi melainkan juga di ukur dari tingkat kepiawaian mereka dalam berbahsa inggris.