Kunang-kunang bertebaran kala kepala bersandar santai, bintang pun menyapa saat kepala kudongakkan. Apa yang lebih indah? Sebuah cuplikan dari waktu malamku di desa tepian sungai Silat ini. Masih panjang waktu ke depan, namun aku bisa dengan lantang sekarang berteriak. Aku sudah jatuh cinta dengan tanah ini. Tanah yang membuatku tenang dengan ketenangannya. Yang menyegarkanku dengan arus sungainya yang mendayu. Apa yang lebih indah?
Bisa jadi, yang lebih indah adalah senyuman tulus para penghuni desa. Dengan tangan terbuka menyambut dan memperlakukan aku. Anak-anak yang tidak berhenti berkunjung saat pintu kubukakan. Anak-anak yang menemani waktu siangku bermalas-malasan melawan panas. Anak-anak yang bersamaku bernyanyi bersama meniti jalan ke sarai Klansin. Anak-anak yang mengajakku mencari daun pakis untuk kemudian disayur. Mereka yang selalu ada untuk membawaku kembali berpetualang, seperti masa kecilku dulu. Melihat mata mereka, aku seolah masuk dalam pusaran kejujuran dan kenangan masa kecil. Saat cemas tiada dan yang ada hanya antusiasme serta rasa ingin tahu yang membuncah. Berteman waktu tanpa takut suatu apa. Jujur dalam semua kata dan laku. Apa yang lebih indah?
Mungkin juga, lebih indah pelangi di sini. Pelangi yang timbul di bumi, bukan di langit. Di waktu yang sama saat di suatu ujung negeri yang katanya toleran ini konflik agama kembali menunjukkan baranya. Di sini silaturahmi dengan indah terjalin. Tiga dusun berdekatan dengan mayoritas agama yang berbeda ( islam, kristen dan katolik) dengan senyum tulus berkunjung dusun Islam dan mengucapkan selamat idulb fitri. Di pedalaman hutan kalimantan, apa yang lebih indah?
Baru satu bulan dan keindahan kehidupan di sini telah memenuhiku sedemikian rupa. Di sini di tempat yang katanya menakutkan dan penuh keterbatasan, pelangi itu menghiasi bumi dengan cerah. Toleransi ada tanpa perlu digembar-gemborkan. Lalu kenapa kalian yang ada di kota tak bisa menciptakan pelangi?