Dia tidak begitu tinggi. Tetapi tegap. Penuh keyakinan. Banyak orang yang mengikutinya. Semua kata-kata yang terucap penuh arti. Jelas dan tidak bertele-tele. Padat bagaikan sudah terbiasa dalam keadaan seperti saat itu.
"hebat juga orang ini," gumamku.
Pada waktu itu, aku adalah kader dari cabang dengan status persiapan. Ada atau tidak, diriku 'hanya beban' bagi para petarung politik di Kongres HMI pada tahun 2013. Mungkin tidak banyak yang mengenalku. Tapi beberapa orang pada saat ini adalah orang-orang yang aku mintai waktu untuk "ngopi". Tapi, tidak banyak yang menganggap keberadaan ku. Maklum cabang "persiapan".
Kongres itu termasuk yang paling lama. Perlu 3 lokasi. Sampai terpilihnya bang Arief Rosyid sebagai mandataris kongres. Orang kecil yang ku jumpai itu? Yah, dia menjadi Sekretaris Jenderal atau orang kedua setelah ketua umum yang memiliki kekuatan di PB HMI. Hanya satu malam di lokasi yang tak ku kenal. Itu adalah malam pertama mengenal bang Mulyadi P. Tamsir.
Kena Tipu
Pada saat kongres itu bertepatan dengan musyawarah untuk menentukan pemimpin baru di HMI Cabang Lubuksikaping. Yah, kita tahu, waktu itu terpilih M. Aldi Awitra. Setelah kongres, aku dan beberapa teman mempersiapkan proses pelantikan si 'Master'.
Umumnya, pengurus Badko Sumbar lah yang melantik pengurus HMI Cabang Lubuksikaping. Sejak aku ber-HMI tahun 2007. Baru tahun 2013, ada Sekjen PB HMI yang langsung hadir di Lubuksikaping. Bang Mul adalah orang yang pertama dan pembuka jalan. Sejak itu, sudah beberapa kali "pengurus besar" mengunjungi Lubuksikaping. Selain dari status cabang yang sudah bisa "memberikan suara".
"Kalian bohong yah. Katanya cuma sebentar dan dekat," kata Bang Mul.
Ya, saat itu, rombongan Reno Fernandes memang membohongi bang Mul. Mereka mengatakan jarak tempuh dari Kota Padang ke Lubuksikaping hanya dua jam. Ternyata? Coba saja sendiri. Tetapi dari pusat Kalimantan Barat ke Sintang juga jauh sih bang. Sayang, waktu itu aku tidak jadi bertamu ke rumah mu bang.
Begitulah, pertemuan kedua, Bang Mul hadir di Lubuksikaping dan melantik pengurus HMI Cabang Lubuksikaping. Aku menyesal, entah apa yang disampaikan bang Mul kala itu. Tetapi, samar-samar aku berusaha mengingat bahwa Bang Mul menyampaikan tentang perkaderan atau kaderisasi.
Setelah itu, aku sempat bertemu dengannya di Bukittinggi. Kali ini, lupa ada kegiatan apa. Waktu itu, malam masih dingin. Tetapi, dia santai saja dan tidak seperti orang yang meminta di-wah-kan. Terlalu biasa. Nah, disini aku masih ingat pesannya.
"Tidak semua orang di Jakarta tahu dan kenal dengan pejabat. Contohnya kawan-kawan, tahu dengan Gubernur atau Kapolda atau pejabat lainnya. Tetapi, apakah mereka mengenal dan dekat sama kita. Jadi, sampaikan saja apa yang kamu bisa jelaskan dan lakukan. Jangan beri janji yang sudah pasti tidak bisa kamu penuhi," terangnya.
Pada malam itu, aku sedikit mendengar obrolan mereka. Bang Mul mendengarkan permohonan salah satu ketua umum cabang. Saat itu bang Mul berpesan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Terlebih, dia menyampaikan banyak senior "pengacara" yang sudah siap membantu sang Ketum cabang tersebut.
"Jangan berlebihan menjadi pengurus besar. Biasa-biasa saja," katanya padaku yang hanya diam mengamati gerak-gerik bang Mul.
Demokrasi Cita di Pekanbaru
Untuk sekian lama. Aku juga sudah 'merantau' dari Lubuksikaping ke kota Padang. Pada saat itu, aku mengikuti bagaimana HMI berdemokrasi. Bukan sebatas 'mantimun bungkuk', kali ini kami ikut menentukan arah juang secara politik.
Pada saat itu, aku mulai banyak bertemu dengan Bang Mul. Kadang melihatnya bercanda memang rada aneh. Bang Mul selalu tersenyum dan menyemangati banyak orang. Karena aku adalah "orang baru", tidak banyak yang bisa kami obrolin. Paling hanya mendengar saja.
"Sama Ari ya (Arianto Tinendung), terus saja disitu dan belajar," kata Bang Mul.
Meskipun orang baru, aku cukup cepat dekat dengan Bang Mul. Engga perlu lama-lama. Bang Mul memang bisa mendekatkan diri. Kalau kebetulan jumpa entah dimana. Dia bahkan selalu menyanjung orang-orang yang masih baru. Kadang, Bang Mul mengajari apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sendiri ikut maju di Kongres Pekanbaru.
"Pelajari saja ya dek. Lihat-lihat. Kalau ada yang bisa kamu bantu. Maka bantu saja kandidatmu," katanya suatu ketika. Pada saat itu juga, aku pertama kali bertemu dengan Bang Maman Abdurahman.
Setelah itu? Kita semua tahu, Bang Mul menerima mandat sebagai ketua umum. Sejak itu, aku pun memberanikan diri untuk 'merantau' ke Jakarta. Karena aku bukan siapa-siapa. Maka, jadilah aku pengurus Bang Mul yang hanya tersenyum melihat gerak-gerik para 'pemain'.
Kader Pertama di PB
Selain aku, memang ada Ega Satria yang berasal dari Lubuksikaping di kepengurusan Bang Mul. Pertama kali sejak 1996. Kader dari Lubuksikaping masuk dalam SK PB HMI. Sejak saat itu pula, aku mulai sering bertemu dengan Bang Mul. Iya wajar, kan dia Ketua Umumku.
"Udah jadi orang besar ya sekarang. Bagaimana rasanya. Sudah bisa dimintai tolong adek-adek?" Candanya suatu waktu.
Ternyata Bang Mul masih ingat apa yang dia sampaikan waktu di bukit tinggi. Padahal sudah lama. Dengan senyum, aku sudah bisa memberikan jawaban. Tentu saja, jawabanku dibalas dengan senyum bahagia dari Bang Mul.
Lagi-lagi, Bang Mul mengajari bahwa menjadi Pengurus Besar tidak serta Merta memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar. Menurutnya, menjadi bagian dari PB adalah proses, kaderisasi, dan ruang belajar baru. Dia yang pernah merasakan kehidupan di Jakarta lebih awal memang pandai dalam memberikan pengajaran.
"Kalau ada apa-apa, datang saja ke camp," ujarnya.
Bang Mul, dan banyak Ketum lain memang menyediakan satu rumah untuk pengurusnya. Rumah itu menjadi tempat bagi orang-orang yang baru pertama kali ke Jakarta. Tentu saja, kebanyakan dari mereka adalah pendukung Bang Mul saat kongres. Tetapi, bagi Bang Mul, orang yang melawan dirinya pun masih diterima. Beberapa diantara mereka memang sering membuat sakit kepala. Tetapi, mereka bebas tinggal di camp tersebut.
"Kalau mau, di camp saja. Biar kita sering ngopi," ajaknya.
Tetapi, aku sudah sepakat untuk tinggal bersama tim bang Arianto Tinendung. Jadi, ajakan Bang Mul pun ku tolak. Namun, karena keterbatasan 'kendaraan' dan ketidakmampuan ku menyenangkan hati orang lain. Akhirnya, aku pun jarang 'ngopi pagi' dengan Bang Mul. Paling ketemu di PB atau kebetulan saja 'masuak' ke mobilnya. Soal mobil, ada juga ilmu dari Bang Mul.
"Kamu harus bisa tidur di mobil. Karena, kandang-kadang, kamu hanya bisa tidur di mobil. Ketika turun, kamu harus bisa fresh lagi dan beraktivitas," katanya.
Iya, waktu itu kebetulan aku masuk dalam mobilnya. Kuperhatikan secara seksama bagaimana Bang Mul harus bisa membagi waktu. Tidak bisa tidur nyenyak. Kadang, dia hanya bisa tidur saat mobil melaju ke lokasi tujuan. Saat tiba di lokasi, Bang Mul sudah kelihatan segar.
"Gila, tidurnya hanya sebentar, sudah segar saja," dalam hatiku mengomentari kebiasaan Bang Mul.
Bicara lah
Selama menjadi pengurusnya Bang Mul, aku mendapat banyak kesempatan untuk "beradu argumen" dengan orang-orang dari "cabang besar". Untuk melawan mereka, perlu dikeluarkan strategi main layang-layang, tarik ulur. Pertama, kirim foto tulisan opini ku di koran ke group WhatsApp. Kedua, bicara yang terfokus kepada 'apa yang ku ketahui'.
Aku pernah ngotot soal 'pencurian bendera HMI'. Butuh waktu lama untuk memberikan hukuman kepada mereka yang memanfaatkan bendera tersebut. Sayangnya, banyak pelupa yang bahkan memuja para pelaku itu. Namanya saja politik. Pernah juga aku beradu pendapat dengan kelompok besar. Masalahnya adalah proses demokrasi di tingkatan cabang.
"Sudah jago ya. Kamu sudah mandiri," kata Bang Mul saat aku bisa menikmati segelas air putih di kosan yang kecil.
"Ketum koq kosannya kecil," sanggahku.
Bang Mul itu sederhana, engga banyak cengcong, cukup satu macam. Kosannya kecil sekali, hanya ada kasur, lemari pakaian, meja belajar. Sudah. Tidak banyak pernak-pernik di kamarnya. Karena banyak sertifikat dan plakat ditempatkan di ruangan kerjanya atau di camp. Bang Mul bilang, dia jarang di kosan, jadi tidak perlu banyak barang. "Kalau mau, ke camp saja," Bang Mul masih berusaha agar kami tinggal di rumah yang dia bayar untuk tempat tinggal adek-adek nya.
Jarang ku lihat dia marah. Ada waktu dimana dia kesal. Bang Mul sudah memberi ruang kepada beberapa orang. Tetapi, ada saja yang membuatnya 'masuk karuang'. Pernah dia ngopi-ngopi dengan sekelompok orang. Ehh, esoknya sudah menjadi terlapor di kepolisian. Meskipun begitu, Bang Mul tetap bisa memaafkan. Tetapi, ada waktunya dia juga menjaga jarak dari beberapa orang. Tetapi, dia cepat membuka diri.
Kamu Hebat, Dek
Siang itu, cukup terik ketika aku melangkahkan kaki dari kantin ke arah lobby kantor. Namun, langkahku terhenti. Ada teman yang aku hapal sekali. Dia sedang sibuk mengutak-atik diatas laptop. Ternyata dia bareng sama Bang Mul. Sontak kutanya keberadaan Bang Mul.
"Katanya tadi sholat," jawabnya.
Aku langsung menuju mushalla. Belum beberapa langkah, aku sudah melihatnya. Dengan senyum yang itu-itu saja, Bang Mul memperlihatkan kehangatan persaudaraan.
"Udah pake seragam, hebat,"
"Ahh Abang ini, aku bukan siapa-siapa disini,"
"Bukan siapa-siapa tetapi bisa pake seragam"
"Jangan begitulah, kan aku adeknya Abang juga,"
Sambil bercanda, Bang Mul masih menyempatkan untuk memberikan pelajaran. Kita itu sama, sama-sama dari cabang kecil dan jauh dari pusat provinsi. Perjuangan cabang kecil itu harus lebih kuat. Seperti dirinya, kader cabang kecil yang membuka harapan seluruh kader HMI se-Indonesia, bahwa siapapun dari dari cabang manapun bisa menjadi Ketum PB HMI.
"Lanjutkan prosesmu, sudah tepat langkah yang kamu ambil. Kamu hebat, dek," katanya sambil ku peluk.
Itu adalah terakhir kali kami bisa bersua badan. Sering kali ingin bersua. Tetapi, hanya bisa komunikasi via WA. Saat aku ke Sintang, aku pun tidak sempat silaturahmi ke keluarganya. Itu juga membuat Bang Mul kesal.
"Kamu ke rumah saja, bilang sama ibu kamu anak HMI. Tidur aja di rumah," katanya.
Padahal aku baru pertama kali ke Sintang. Kalau sempat ke rumah, aku juga engga tahu bagaimana bisa langsung tidur di rumahnya.
"Kamu ini, sudah aku bilang bilang ke keluarga kalau kamu ke rumah"
"Maaf bang, segan aja, kan baru pertama, lain kali aja bang, nanti pas sama Abang aja, baru kita nginap di rumah Abang"
Tapi, kata lain kali itu memang tidak ada lagi. Saat Bang Mul menikah, aku tidak memiliki bisa ikut serta dalam rombongan. Saat dia mempersiapkan pernikahan, aku juga terlalu sibuk.
"Aku bersaksi, Bang Mul, Abang itu orang baik, bahkan terlalu baik"