Hari jumat sore dua hari yang lalu saya berkunjung ke bukit Brukoh. Sebuah bukit yang saat ini sedang trending dikalangan penikmat wisata lokal kabupaten Pamekasan, Madura. Meski kepopuleran spot wisata alam baru ini telah meluas sejak setahun terakhir, saya yang hanya tinggal sejauh lima kilometer jaraknya dari Brukoh baru hari itu untuk pertama kalinya menginjakan kaki disana.
Sebagai orang gunung, saya tidak begitu tertarik dengan wisata alam pegunungan. Konon lagi dengan pemandangan alam sebuah bukit kecil dipulau setandus Madura tidak memicu semangat saya untuk mendatanginya. Kecuali rasa ingin tahu serta keinginan untuk menulis di blog ini yang membawa saya ke bukit Brukoh pada hari itu. Ditemani putra bungsu saya yang berusia belum genap enam tahun saya bersepeda motor kesana pada waktu singkat antara sholat asar dan magrib.
Untuk mencapai tujuan akhir di bukit Brukoh saya bersepeda motor melalui jalanan aspal yang membelah persawahan dan permukiman jarang penduduk dari arah Pakong menuju Sumenep. Tiba di desa Somalang saya belok kiri pada sebuah simpang jalanan sempit dengan plang nama jalan penunjuk arah menuju stasiun transmisi TVRI. Plang ini terpasang seadanya saja, untuk menyadari adanya plang tersebut pengendara harus memperhatikannya dengan teliti.
Dari persimpangan tersebut kearah selatan melintasi jalanan aspal yang rusak parah hingga bukit Brukoh sejauh 1,5 km lagi. Kondisi jalan masih diapit hamparan sawah dan permukiman warga desa Bajang.
Saat ini di kabupaten Pamekasan dan Sumenep sedang musim tembakau. Seluruh areal persawahan di kedua kabupaten ini ditanami tanaman tembakau sebagian kecil ditanami jagung dan kedelai. Di beberapa tempat terbuka dan halaman rumah penduduk terhampar bilah-bilah anyaman dari batang bambu yang dijadikan alas penjemuran rajangan daun tembakau hasil panen para petani.
Tiba pada kelokan terakhir pada jalanan yang mulai mendaki, terpasang sebuah portal bambu. Lima orang remaja duduk di balai-balai yang juga berkontruksi bambu. Disitu pengunjung membayar tiket masuk sebesar Rp. 5.000 sudah termasuk tarif parkir. Tiga puluhan meter berikutnya adalah jejeran kios penjual makanan yang dikelola oleh warga sekitar serta sebuah lapangan parkir sempit. Sepeda motor tidak diizinkan untuk dikendarai hingga ke punggung bukit.
Jalanan mendaki lagi sekitar 200 meter dari sana, mengitari sisi timur hingga utara pinggang bukit. Pada sisi kiri jalan dibawah tebing bukit yang curam terhampar pemandangan persawahan dan rumah warga berserakan disana-sini. Tiupan angin musim kemarau yang kencang menerbangkan debu menciptakan kabut tipis diudara. Dari balik kabut debu itu agak samar sebuah perbukitan lain terbentang memanjang, itulah bukit Payudan. Warga Madura menyebutnya gunung Payudan. Sebuah gunung mistis yang dipercaya menyimpan banyak kisah legenda tentang pulau Madura.
Gedung stasiun transmisi TVRI dan sebatang menara besi berdiri tepat di punggung bukit. Hampir keseluruhan punggung bukit ini masuk dalam area milik TVRI yang terlarang untuk dimasuki oleh pengunjung yang berwisata ke Brukoh. Para wisatawan di batasi pergeraknya hanya pada sedikit bagian tebing yang agak datar di bagian timur laut dan timur bukit. Deretan letter dari fiberglass berwarna cerah dipajang pada tebing rendah tepat dibawah menara pemancar.
Hari itu dipunggung bukit, sekitar dua puluhan pengunjung bergerombol menikmati pemandangan alam. Satu kelompok pengunjung menikmati fasilitasi yang disediakan pengelola bukit yaitu beberapa bangku beton yang didesain dan ditata seadanya tanpa melibatkan estetika sebagai sebuah spot wisata. Saya mencoba memotret bebangkuan beton tersebut dari beberapa sisi, namun gagal mendapatkan suasana yang dramatis disana.
Fasilitas lain yang tersedia disini adalah seonggok batu kapur alami yang datar pada puncaknya. Batu ini agak luas dengan tinggi 3 meter terletak di bagian timur punggung bukit. Untuk menaiki onggokan batu tersebut dibangun tangga beton setengah melingkar dan dipagari besi hollow. Fasilitas lain adalah sebuah ornamen agak besar berbentuk hati bertaut terbuat dari beton. Para pengunjung menyempatkan diri berswafoto di ornamen tersebut sebelum menaiki tangga beton kepuncak batu.
Pengunjung yang naik keatas batu bisa mengarahkan pandangannya kearah tenggara, dari sana bentang alam dihiasi oleh hijaunya persawahan dan berakhir pada biru laut selat Madura. Namun ada sebuah bukit lain yang terlihat gersang menghalangi sebagian lansekap alam yang ada di timur bukit. Lokasi ini juga menjadi spot swafoto pengunjung. Ornamen hati juga banyak ditempelkan pada railing besi pengaman. Namun kehadiran ornamen tersebut tidak malah menjadikan pemandangan indah dari puncak batu menjadi indah. Justru gara-gara ornamen tersebut menjadikan lokasi itu terkesan "maksa" buat dijadikan sebagai objek swafoto.
Pengelola juga kurang jeli menyampaikan pesan-pesan lingkungan buat para pengunjung. Contohnya sebuah tempat sampah yang disediakan di pinggir jalan di depan deretan letter fiberglas besar pada bawah tower. Tempat sampah beton itu merusak suasana jika pengunjung ingin mendapatkan foto bagus dari sana. Contoh yang lain adalah brosur dan tanda peringatan yang dipaku pada setiap batang pohon yang tumbuh di punggung bukit. Keteledoran ini memberi kesan bahwa pengelola masih gagap dalam menerapkan langkah melestarikan lingkungan hidup. Alih-alih menyampaikan pesan pelestarian lingkungan hidup, kehadiran brosur tersebut malah merusak nuansa alami sebuah spot wisata alam.
Namun dibalik kekurangan dan keindahan yang coba ditawarkan oleh pengelola bukit Brukoh, ada satu hal yang layak mendapat apresiasi positif. Yaitu dengan adanya ide pengelolaan bukit Brukoh yang dijalankan oleh pemuda desa menjadikan bukit gersang didesanya memiliki nilai jual. Maraknya penggunaan sosial media ditengah masyarakat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengenalkan desa mereka kepada pihak luar.
Deretan warung yang menjajakan ragam makanan adalah bukti bahwa spot wisata baru ini telah meciptakan sumber ekonomi baru bagi warga sekitar. Bukit yang beberapa tahun lalu masih kerap digunakan sebagai tempat mesum para oknum tak bertanggung jawab kini telah bebas dari perilaku yang bertentangan dengan adat budaya masyarakat. Lalu dengan adanya spot wisata ini, masyarakat desa Bajang seharusnya layak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah kabupaten dan provinsi. Terutama untuk segera dibangun infrastruktur jalan yang layak menuju desa Bajang.