Coffee Ritual and Creative Culture
By @ayijufridar
Each generation has its own cultural challenge to remain rooted in the ancestral culture or even to erode the outer culture that pounded from various sides of the technology. The choice is not merely to reject and accept, sometimes the generation itself chooses without awareness because cultural change is not an atomic bomb that takes its toll in a single blow. Ripples appear more to certain events that are judged to clash with existing beliefs and cultures. The rest was quiet in long duration, almost unnoticed.
Technological strikes
Advances in informatics technology provide the widest space for the entry of foreign cultures. The process is practically like the story of a frog in a boiling water. At first, he was comfortable in the cool water that slowly turned warm. When the water turns hot and then burns, it's too late to jump. The frog was killed in the boiling water. More or less so culture works in society.
Informatics technology works faster than limited human migration in urban areas. Cultural penetration through technology provides a change of behavior that is almost natural (natural change). Our society has no agenda for controlling and planning change for the better. Religion is often referred to as a strong fortress withstand the onslaught of bad culture, only serve as a ritual of worship alone. The noble values of religion have not been used in all lifelines. Finally, people tend to swear cultural changes that can not be denied right.
That is what happens in the people of Aceh today. Rector of UIN Ar Raniry, Prof. Farid Wajdi Ibrahim MA, who mentioned that 80 percent of Aceh young generation likes to spend time sitting in a coffee shop (Bahasa: warkop), is a form of academic as well as parents concern about behavior change of Aceh young generation (Serambi, 22/3/2016 ). This concern has been voiced even long before the cafe boom that now hit Aceh. With a frightening comparative comparison, Farid Wajdi mentions the culture of hanging out in coffee shops day and night is a bigger disaster than the atomic bomb.
The impact of the disaster did not immediately look like an atomic bomb that claimed the visible casualties. The cultural disasters of coffee are slow changes that will appear to impact ten to fifty years later. Aceh cannot enjoy demographic bonuses because the generation that lives in the future is largely an unskilled generation, the generation is less competitive with the generation of other regions, let alone other countries that first shot. The world moves fast, then anyone who is slow is finally gone.
What really encourages cultural change among the younger generation of Aceh? The proliferation of cafes with charming designs and an increasingly diverse selection of coffee and non-coffee drinks is a demand that Wilbert Moore (2008) thinks is not a symptom of modern society—but a universal thing in human experience. Actually, this also happens outside of Aceh even in any hemisphere. The cafes grow and die, people come and go.
The concept of a shabby coffee shop with makeshift service is now marginalized. Cafe owners are now willing to spend hundreds of millions of dollars "only" for the interior to attract the attention of visitors and feel at home in it. Comfort atmosphere, taste, plus internet network to make visitors can surf comfortably and quickly.
Productive hangout
Whether touched or not by Prof Farid, the cafe is now not just a place to hang out, enjoy coffee, and then go home. As far as owning wi-fi networks, cafes are now transformed into offices, where young people with a number of professions work in productive hours—sometimes even up to dawn—compete in the virtual world. Business and commerce in cyberspace also penetrated Aceh. Even the students who manage the blog also benefit from Google AdSense with the cafe as an office. Some writers, making the cafe as a place to write news, short stories, and novels. With Rp6,000 sanger (local cappuccino) earns a writing that is worth more than ten times as much.
Although it must be acknowledged, social life in Aceh has not supported a certain career in the coffee shop. Concentration is often interrupted. We are a social society that intercepts each other occasionally when the self is at the peak of concentration. This is different from the life of cafes in big cities that provide many options to work in a place that is almost unknown to anyone. Existence in the cafe day and night should be a creative and productive source.
So far not been studied, how much money turns from the growth of the cafe is mushrooming. Not only from empty coffee or sanger glasses, there is a long business turnover, ranging from coffee farmers, distributors, barista, to café lovers. The cafe is not just a place of kill leisure time but can be a productive place for the creative generation. Unfortunately, only a small portion of Aceh's young generation is in this slice.[]
Ritual Ngopi dan Budaya Kreatif
Oleh @ayijufridar
Setiap generasi memiliki tantangan budaya sendiri untuk tetap mengakar pada budaya leluhur atau malah ikut tergerus budaya luar yang menggempur dari berbagai sisi teknologi. Pilihannya bukan semata menolak dan menerima, terkadang generasi itu sendiri memilih tanpa kesadaran sebab perubahan budaya bukanlah bom atom yang menelan korban dalam sekali hantam. Riak muncul lebih kepada even tertentu yang dinilai berbenturan dengan keyakinan dan budaya yang ada. Selebihnya berlangsung senyap dalam durasi panjang, nyaris tanpa disadari.
Gempuran teknologi
Kemajuan teknologi informatika memberi ruang seluasnya bagi masuknya budaya asing. Prosesnya bisa dibilang seperti kisah katak dalam rebusan air. Mulanya ia nyaman berada di dalam air sejuk yang perlahan berubah hangat. Ketika air berubah panas dan lalu membara, semuanya sudah terlambat untuk melompat. Sang katak tewas mengenaskan dalam air mendidih. Lebih kurang begitulah budaya bekerja di tengah masyarakat.
Teknologi informatika bekerja lebih cepat dibandingkan dengan migrasi manusia yang terbatas di wilayah perkotaan. Penetrasi budaya melalui teknologi memberikan perubahan perilaku yang nyaris alamiah (natural change). Masyarakat kita tidak memiliki agenda untuk mengendalikan dan merencanakan perubahan (planned change) ke arah yang lebih baik. Agama yang sering disebut sebagai benteng kuat menahan gempuran budaya buruk, hanya dijadikan sebagai ritual ibadah semata. Nilai-nilai luhur agama belum dijadikan acuan dalam semua lini kehidupan. Akhirnya, masyarakat cenderung menyumpah perubahan budaya yang sejatinya tak bisa ditolak.
Itulah yang terjadi di tengah masyarakat Aceh saat ini. Kritik Rektor UIN Ar Raniry, Prof Farid Wajdi Ibrahim MA, yang menyebutkan 80 persen generasi muda Aceh suka menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi (warkop), merupakan bentuk kekhawatiran akademisi sekaligus orang tua terhadap perubahan perilaku generasi muda Aceh (Serambi, 22/3/2016). Kekhawatiran ini sudah disuarakan bahkan jauh sebelum booming kafe yang kini melanda Aceh. Dengan komparasi yang terdengar seram, Farid Wajdi menyebutkan budaya nongkrong di warung kopi siang dan malam merupakan bencana yang lebih besar dari bom atom.
Dampak dari bencana itu memang tidak langsung terlihat seperti bom atom yang menelan korban kasat mata. Bencana budaya ngopi merupakan perubahan perlahan yang akan terlihat dampaknya sepuluh sampai lima puluh tahun kemudian. Aceh tidak bisa menikmati bonus demografi karena karena geneasi yang hidup di masa mendatang sebagian besar merupakan generasi tidak berketerampilan, generasi yang kalah saing dengan generasi dari daerah lain, apalagi negara lain yang lebih dulu melesat. Dunia bergerak cepat, maka siapa pun yang lambat akhirnya tiada.
Apa sesungguhnya yang mendorong perubahan budaya di kalangan generasi muda Aceh? Menjamurnya kafe dengan desain menawan dan pilihan minuman kopi dan non-kopi yang kian beragam rasa, merupakan sebuah tuntutan yang menurut pemikiran Wilbert Moore (2008) bukanlah sebuah gejala masyarakat modern—melainkan sebuah hal universal dalam pengalaman manusia. Sebenarnya ini juga terjadi di luar Aceh bahkan di belahan bumi mana pun. Kafe-kafe tumbuh dan mati, orang-orang datang dan pergi.
Konsep warung kopi yang kumuh dengan pelayanan seadanya kini mulai terpinggirkan. Pemilik kafe kini mau mengeluarkan ratusan juta rupiah “hanya” untuk interior demi menyedot perhatian pengunjung dan betah di dalamnya. Kenyamanan suasana, cita rasa, ditambah jaringan internet membuat pengunjung bisa berselancar dengan nyaman dan cepat.
Nongkrong produktif
Entah disinggung atau tidak oleh Prof Farid, kafe sekarang bukan sekadar tempat nongkrong, menikmati kopi, dan lalu pulang. Sejauh memiliki jaringan wi-fi, kafe sekarang menjelma perkantoran, tempat generasi muda dengan sejumlah profesi bekerja di jam produktif—bahkan terkadang sampai dinihari—bersaing dalam jagat maya. Bisnis dan perdagangan di dunia maya juga merambah Aceh. Bahkan para mahasiswa yang mengelola blog juga mendapatkan keuntungan dari Google AdSense dengan kafe sebagai kantor. Beberapa penulis, menjadikan kafe sebagai tempat menulis berita, cerpen, dan novel. Segelas sanger Rp6.000 menghasilkan sebuah tulisan yang nilainya lebih dari sepuluh kali lipat.
Meski harus diakui, kehidupan sosial di Aceh belum mendukung karier tertentu di warung kopi. Konsentrasi sering diinterupsi. Kita adalah masyarakat sosial yang saling bertegur sapa—kadang terjadi ketika diri di puncak konsentrasi. Ini berbeda dengan kehidupan kafe di kota besar yang memberikan banyak pilihan untuk bekerja di tempat yang nyaris tidak dikenal siapa pun. Keberadaan di kafe siang malam, harus dijadikan sumber kreatif dan produktif.
Sejauh ini belum diteliti, berapa banyak perputaran uang dari pertumbuhan kafe yang menjamur. Bukan saja dari gelas-gelas kopi atau sanger yang terisi lalu kosong, ada perputaran bisnis ikutan yang panjang, mulai dari petani kopi, distributor, peracik, sampai penikmat di kafe. Kafe memang bukan sekadar tempat poh beurakah, ngalor-ngidul yang tak jelas juntrungnya, tetapi bisa menjadi tempat produktif bagi generasi kreatif. Sayangnya, hanya sebagian kecil generasi muda Aceh berada dalam irisan ini. []
The above article has been published in Serambi Indonesia daily on April 11, 2016 and can be read on links at here.
Kalau di Jakarta dan Bandung, mgkn sudah lama yah orang kerja itu di cafe karena tuntutan biaya buka dan kerja di kantor lebih besar, biayanya itu loh jauh lebih tinggi dibandingkan di cafe. Lagipula jamnya kan bisa diatur serta tidak perlu harus setiap hari dan setiap waktu. Seperlunya saja. Sy menghitung nih.... Kalau sy ke kantor tiap hari, maka sy harus punya biaya utk bensin, tol, parkir, sekitar 4 jt per bulan. Itu belum termasuk makan, pakaian, dsb. Kalau ke cafe, paling sy habis 1-1,5 jt per bulan dan itu sudah termasuk makan cemilan, tidak pusing juga urusan pakaian dan tetek bengek lainnya. Pendapatan, itu relatif, kalau di kantor memang tetap, kalau di luar nggak bisa tetap, tapi kalau sy hitung dari saya sendiri, jauh lebih besar di luar kantor. Mungkin karena banyak yang seperti saya ini, akhirnya mrmang jadi banyak cafe2 berkembang sbg tempat kerja dan bisnis.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Perhitungan Sista @mariska.lubis memang sangat strategis karena begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan kalau bekerja kantoran. Selain kafe, zaman sekarang juga sudah lazim orang menggunakan kantor bersama di mal atau pusat bisnis lainnya.
Bekerja di kafe memang ada plus minusnya, termasuk bagi kita penulis. Bagi saya, kenikmatan menulis di rumah tak tergantikan dengan menulis di kafe, seindah apa pun kafenya. Namun pada dasarnya, menulis di mana pun akan mengasyikkan ketika sudah tenggelam dalam tulisan. Proses menuju "tenggelam" itulah yang kadang membutuhkan kerja keras.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
@mukhtarilyas. Generasi sekarang identik dengan generasi milenial, saya sepakat dengan @ayijufridar bahwa kehadiran cafe sebagai kantor untuk berproduktifitas. Sebaiknya ada penelitian untuk itu, karena menurut saya banyak mudharatnya jika berlama-lama di cafe bagi seorang pelajar.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya pikir, tidak hany abagi pelajar, bagi orang tua pun tidak baik terlalu lama di kafe Bro @mukhtarilyas. Apalagi, kafe atau warung kopi di Aceh belum mendukung kita jadikan sebagai tempat bekerja karena terlalu banyak gangguan. Namun, keberadaan warung kpi di Aceh memang tidak hanya dianalisis secara ekonomi semata, tetapi juga sosial dan kultural.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Menurut pandangan kasat mata saya sebagai penikmat kopi di cafffe.
Para generasi kita yang nongkrong di caffe tidak menjadikan coffe sebagai nongkrong produktif, tapi caffe sebagai tempat free Wfi untuk bermain Game dan hal konyol lainnya.
Dari sekian waktu yang di habiskan sampai dini hari, waktu untuk produktif hanya satu jam selebih non produktif yang melalaikannya dengan Game (generasi pemalas)
Saya pernah membuat postingan tentang APAKAH PEMERINTAH HARUS MEMBERLAKUKAN HUKUMAN TEMBAK MATI DI TEMPAT BAGI SIAPA SAJA YANG TIDAK MEMBACA BUKU?
Di masa milenia generasi Aceh telah di bodohi, banyak mudharatnya di caffe
" Generasi Aceh sekarang adalah generasi bodoh yang tidak mengenal sejarah dan tidak tau menghormati jasa perjuangan terdahulu" kutipan kata alm.Hasan Tiro dalam bukunya.
Sepertinya Generasi yang anti buku telah menjadi budaya tersendiri bagi generasi kita sekarang.
Mereka lebih senang Aceh disebut kota Seribu kedai kopi ketimbang kota yang rajin baca buku.
Kembali kekata produktif menjadi pertanyaan bagi kita tersendiri !!
Terimakasih Pak @ayijufridar
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Dengan seumangta yang ceria memulai hari untuk beraktifitas dengan suguhan tetap plihan kupi Pancong. Thanks bang @ayijufridar
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sukses selalu buat adun lon..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Padin saboh glah kupi kreatif nyqn kanda
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hana payah bayeue, asai bek taduek ngon Yah Qan dan @masriadi. Meunan ta tanyong na peng, sigoe awak nyan dijaweub; “Hana..!”. Nyoe na MJ @mukhtar.juned laen...🤣🤣🤣🤣
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Di Taiwan sendiri, Koffee merupakan tempat nyaman untuk bertemu relasi. Tidak perlu jauh-jauh, saya pribadi, lebih senang menunggu orang di dalam Coffee, atau sekedar swalayan seperti 7-11, Yang memiliki akses Free Wifi, dipadu suasana mendukung untuk meletakan laptop dan duduk nyaman. Bermodal segelas kopi, $40 saya bisa menyelesaikan tulisan di draft yang tersimpan. Jadi, fenomena nongkrong di Coffee tidak hanya sekedar menguap begitu saja. Namun ada kegiatan bermanfaat di dalamnya.
Salam sukses Bang @ayijufrudar.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Naah, bagi sebagian orang tidak nyaman bekerja di kafe, terutama untuk jenis pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi seperti menulis. Ada orang yang butuh suasana nyaman tanpa gangguan suara apa pun ketika menulis. Dulunya saya begitu, tetapi kemudian membiasakan diri menulis dalam berbagai suasana. Namun, ada juga butuh suasana khusus, terutama ketika menulis cerpen atau novel. Untuk tulisan yang lebih ringan, seperti membuat postingan di Steemit, bisalah sambil tertawa-tawa dengan kawan di kafe, hehehehehe.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sepertinya ini yang membedakan budaya kehidupan tanah air dan Taiwan, Bang @ayijufridar. di sini tiap mahasiswa / seseorang yg bergelut di bidang tulisan, bisa mengerjakan atau mencicil tugas mereka di mana saja. Bahkan di kereta sekalipun. yah,..mungkin pada konteks tulisan yg lebih santai. Hehehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya tidak tau sejak kapan saya mulai kecanduan kopi untuk menaikan produktivitas. Tapi semenjak aktif menulis, sehari minimal 2 cangkir kopi gk pernah ketinggalan. Tiada hari tanpa kopi.
Kalau di kota sibuk, kedai kopi memang banyak menolong bukan hanya sebagai tempat tongkrongan bergengsi, tapi juga sebagai CO-Working sekarang
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Dari kopi hingga membuka lapangan kerja tapi semua kembali ke pribadi cara memanfaatkannya sehingga gelar yang tersemat untuk Aceh berubah menjadi kota seribu kafe mendatangkan faedah yang lebih dahsyat dari sekedar senda gurau
Posted using Partiko Android
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
If you can dream it, you can do it.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
That's correct. I've read that quote before. But I think this quote has nothing to do with the above article. Thanks so much.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
budaya nongkrong di warung kopi siang dan malam merupakan bencana yang lebih besar dari bom atom.
Saya mulai mengurangi budaya ini bang.. hehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Dulu, saya malah tidak suka nongkrong di warung kopi. Lebih senang membaca dan menulis di rumah meski pada malam Minggu. Sekarang, nongkrong di warung kpi sudah menjadi bagian dari pekerjaan meski lebih sering tidak efektif bekerja di warung kopi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kecanggihan teknologi sudah mengorbankan budaya leluhur yang semestinya harus dipertahankan, ada juga sebagian remaja akibat kecanggihan teknologi harus mengorbankan pendidikan. Ini harus menjadi perhatian keluarga dan lingkungan.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit