Oleh @ayijufridar
HIDUP ini perlu perencanaan atau dibiarkan mengalir sesuai perjalanan nasib, barangkali tidak penting bagi Shangguan Jintong, satu-satunya anak lelaki dari Shangguan Lu, seorang perempuan sederhana yang dipaksa menikah pada usia 17 tahun. Jintong merupakan seorang tokoh yang manja dan memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain dengan lembut, padahal kehidupan di luar sana berlangsung sangat keras, kejam, dan jauh dari peradaban. Pemuda itu memang hidup di zaman sebelum dan mengalami masa-masa sulit ketika Republik Rakyat China baru berdiri. Dia mempunyai beberapa kesempatan untuk menjadi orang berhasil, tetapi dia selalu gagal memanfaatkannya sehingga
kemudian dialah yang dimanfaatkan orang lain.
Sebagai narator, Jintong mengisahkan problema keluarganya, terutama tentang ibunya yang diperlakukan dengan sangat kejam oleh keluarga ayahnya. Suami dari Lu, Shangguan Shouxi, adalah seorang pandai besi yang mengharapkan lahirnya anak laki-laki. Namun, dari delapan anak yang lahir semuanya perempuan. Dari delapan anak tersebut tidak satu pun dibuahi Shouxi karena laki-laki itu mandul. Ayah biologis Jintong sebagai anak bungsu dan satu-satunya lelaki adalah Pendeta Malory, seorang misionaris asal Swedia yang kemudian mati bunuh diri. Dalam keluarga, hanya Jintong dan Yunu (Kakak Kedelapan) yang memiliki satu ayah dan ibu. Yunu dilahirkan sebagai perempuan buta yang dalam perjalanannya menganggap dirinya hanya menjadi beban di masa-masa sulit sehingga ia memilih kabur dari keluarga.
Jintong memiliki masalah pribadi yang pelik, karena sampai usia dewasa dia tidak bisa melepaskan diri dari susu ibunya, bahkan ketika payudara ibunya sudah tidak berair lagi. Dia tidak dapat hidup tanpa air susu. Makanan lain yang biasa dikonsumsi masyarakat China pada masa itu, tidak bisa diterima tubuhnya dan hanya membuatnya muntah. Dalam masa perang ketika keluarga besarnya harus mengungsi, ibu Jintong terpaksa membawa kambing ke mana pun untuk disusui anak tersayangnya. Ketika Jintong sudah bersekolah pada usia 18 tahun, ibunya juga harus mengantarkan susu ke sekolah di dalam botol meski Jintong lebih nyaman menikmati susu langsung dari puting kambing dengan cara tidur di bawah selangkangan binatang itu.
Di sepanjang perjalanan hidupnya, Jintong selalu terobsesi dengan payudara sehingga beberapa kali ia mendapat masalah dengan hal itu. Meski berwajah ganteng dengan postur menjulang (titisan dari ayah biologisnya), dia bukankah lelaki yang layaknya laki-laki. Tidak tangguh dalam perkelahian, sekaligus gagap di depan perempuan. Dia lelaki lemah yang tidak bisa dijadikan contoh. Bahkan jika mengikuti kisahnya sampai akhirnya, tak bisa bila kita berpendapat Jintong adalah laki-laki naif. Selain sifatnya yang tidak ingin menyakiti orang lain, nyaris tak ada yang bisa dijadikan panutan dari Jintong.
Sempat menjadi kebanggaan ibunya ketika dia dinobatkan menjadi Pangeran Salju, hidup kemudian sangat tidak ramah kepada Jintong. Kakaknya, satu per satu jatuh hati kepada tentara yang saling bermusuhan. Tidak peduli menjadi istri keempat, jika sudah menaruh kepada seorang lelaki, maka tidak ada kekuatan yang mampu menahan gelora perempuan Shangguan. Ibunya juga menyadari hal itu tetapi juga tidak mampu mengendalikannya sehingga beberapa peluang untuk hidup yang lebih baik terbuang percuma.
Penulis novel ini, Mo Yan, tidak menggambarkan tokoh utama sebagai seorang pahlawan yang penuh dengan kebaikan dan keunggulan, sebaliknya malah penuh dengan kekurangan. Mo Yan seperti mengajak pembaca tidak hanya belajar dari hal-hal baik, tetapi juga mengambil iktibar dari hal-hal buruk yang dialami para tokoh dalam buku ini.
Big Breasts and Wide Hips berlatar sejarah pendirian Republik Rakyat China dengan keluarga Shangguan besar sebagai kisah utamanya. Mo Yan merangkai kisahnya dari satu anak ke anak lain, dari satu masa ke masa lain dengan berbagai tragedi yang menyelimutinya. Seluruh persoalan dan konflik berkelindan dan menguras emosi, mulai dari masalah keluarga, perang, sosial, politik, kelaparan, agama, sampai kepada cinta dan seks. Semuanya mengajarnkan kita betapa kehidupan adalah sebuah lukisan warna-warni dan tidak bisa dimaknai secara hitam putih.
Banyaknya tokoh utama dalam buku ini sedikit mengganggu konsentrasi, apalagi sebagian besar tokoh lazim disebut dengan angka urutan dan nama sebutan untuk menggantikan nama asli. Namun, gangguan kecil itu tidak sampai menghilangkan kenikmatan menyikam keutuhan cerita.
Mo Yan memang penulis terkemuka China saat itu, itu terlihat jelas dari sejumlah pujian penulis peraih Nobel Sastra dalam buku ini. Beberapa bukunya sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa, sementara yang lain sudah difilmkan dengan melibatkan bintang terkenal.[]
Life for a Pair of Big Breasts
By @ayijufridar
This life needs to be planned or allowed to flow on the journey of fate, perhaps unimportant to Shangguan Jintong, the only son of Shangguan Lu, a simple woman who was forced to marry at the age of 17. Jintong is a spoiled character and treats himself and others gently, whereas life out there goes very hard, cruel, and far from civilization. The young man did live in an age before and had a hard time when the People's Republic of China was just established. He has several chances to be a successful person, but he always fails to take advantage of him so that he then is used by others.
As a narrator, Jintong recounts his family's problems, especially about his mother being treated very cruelly by his father's family. The husband of Lu, Shangguan Shouxi, was a blacksmith who was expecting a son. However, of the eight children born all were women. Of the eight children none were fertilized Shouxi because the man was barren. Jintong's biological father as the youngest son and only man was Reverend Malory, a Swedish missionary who later committed suicide. In the family, only Jintong and Yunu (Eight Brothers) have one father and mother. Yunu was born as a blind woman who in his journey considered himself only a burden in difficult times so he chose to escape from the family.
Jintong has a complicated personal problem, because until adulthood he can not escape from his mother's milk, even when her mother's breasts are no longer watery. He can not live without milk. Other foods that the Chinese people consume at that time, are unacceptable to the body and only make it vomit. In wartime when his extended family had to flee, Jintong's mother was forced to carry goats everywhere to feed her beloved child. When Jintong went to school at the age of 18, his mother also had to deliver milk to school in the bottle although Jintong was more comfortable enjoying milk directly from goat's nipples by sleeping under the crotch of the beast.
Throughout his journey of life, Jintong is always obsessed with breasts so several times he gets into trouble with it. Despite his handsome face with a tall posture (the incarnation of his biological father), he is not a man worthy of a man. Not tough in fights, as well as stuttering in front of women. He's a weak man who can not be an example. Even if you follow the story until finally, can not if we think Jintong is a naive man. In addition to nature that does not want to hurt others, hardly anyone can be a role model of Jintong.
Had become the pride of his mother when he was crowned Prince of Snow, life then very unfriendly to Jintong. His brother, one by one, fell in love with a hostile army. It does not matter to be a fourth wife, if it has been put to a man, then there is no power that can withstand the female Shangguan surge. His mother was also aware of it but also unable to control it so that some chances for a better life are wasted.
The author of this novel, Mo Yan, does not portray the main character as a hero full of goodness and superiority, on the contrary, full of deficiencies. Mo Yan is like inviting readers not only to learn from the good things, but also take an account of the bad things experienced by the characters in this book.
Big Breasts and Wide Hips set the history of the founding of the People's Republic of China with the great Shangguan family as the main story. Mo Yan stringed his story from one child to another, from one time to another with the tragedies that surrounded him. All issues and conflicts are conflicting and emotionally draining, ranging from family, war, social, political, hunger, religion, to love and sex. Everyone taught us how life is a colorful painting and can not be interpreted in black and white.
The number of main characters in this book slightly disrupt the concentration, especially most of the common figures called the sequence number and the name of the title to replace the original name. However, the small nuisance does not diminish the pleasure of stabbing the wholeness of the story.
Mo Yan was the leading writer of China at the time, it is clear from the accolades of Nobel laureate literature writers in this book. Some of his books have been translated in many languages, while others have been filmed by involving famous stars.[]
Design by @jodipamungkas
sempat liat buku ini waktu bazar buku tp gak beli.. kayaknya bisa minjam nih bg @ayijufridar
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Salah satu novel yang saya sukai.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Seperti kebanyak buku dan film China, konsentrasi sering pecah dengan banyaknya tokoh Ampon @teukumukhlis. Kakak Pertama sampai kedelapan, Paman pertama sampai kedelapan. Kadang sering lupa. Tapi buku-buku Mo Yan memang menarik. Saleum literasi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Betul, Bang. Kadang2 saya harus membuka halaman sebelumnya untuk mengetahui perjalanan para tokoh cerita.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sama kalau begitu. Kalau bukunya tebal, kita akan sering membuka-buka halaman belakang agar tidak keliru mengingat tokoh.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit