Reject the Change of Press Law | Menolak Perubahan UU Pers |

in indonesia •  7 years ago 

Reject the Change of Press Law

By @ayijufridar

Act No. 40/1999 on the Dairy Press is proposed to be revised several years ago. Unfortunately, the amendment of the law is not based on the spirit of press freedom, but strong indication of the effort to restore the press under control like the New Order era. It is characterized by the inclusion of possible articles of banning and the prohibition of broadcasting by force.

World Press Day_04.jpg

Although the draft law is still an academic draft that has not yet reached the ministry of Communication and Informatics, signals of rejection from the press have been seen. The Alliance of Independent Journalists (AJI) has firmly rejected the draft law of the press. The entire AJI chair of the city, which spread from Banda Aceh to Jayapura, signed the declaration because it was considered incompatible with the spirit of freedom and independence of the press.

Biased

Article 4 paragraph (5) of the Press Bill contains provisions on banning the media containing news or images or advertisements that undermine the dignity of a religion and/or interfere with the harmony of life between religious and or contrary to the sense of public morality and or harm the national defense and security system.

Here it is clear that there is an attempt to re-control the press in Indonesia with the justification of religious interest, morals, and national security defense. These three aspects have absurd limitations. Demarcation line is very blurred because it is full of interpreasi and very biased. The matter of decency, for example, until now the limits still cause the pros and cons because each tribe (even individuals!) have different views.

While concerning the defense of national security, the people of Indonesia would still be allergic to the term "national stability" in the Soeharto era that delivers everything including human rights. The government easily suppresses certain media that are deemed to jeopardize the organization of state security defense. This very reason is easily corrupted by the rulers and the state apparatus for the sake of power.

The Press Council (Dewan Pers) hasn’t taken an official position on whether the Press Law needs to be revised or not. However, a member of the Press Council Bambang Harymurti, assessing Law No. 40/1999 is still not important revised because there are still many journalists who have not understood it. This fact is apparent in the implementation of the duties of journalists, both at the national level, especially in Aceh.

Still relevant

Compared to Law Number 40/1999 which contains 21 articles, the bill now circulating is limited among journalists it has 19 articles. In addition to Article 5 which poses a threat to the freedom of the press, substantially the overall content is not unlike Law No. 40/1999. Amendments are shown in Article 11 concerning foreign capital in a press company. Especially regarding foreign capital, the revised article looks more comprehensive.

If passed, this bill can really be a threat to the freedom of the press. That now a lot of press is overwhelming, it is an indisputable fact. The image of journalists in general in Indonesia is very bad. The journalist's profession is often accused of being hypocritical, stating that he does not receive any compensation from the resource person, but in the back actually exploits the resource person.

However, such conditions are not an excuse to kill the freedom of the press as a whole. All parties play a role in the black white of the press in Indonesia. Do not forget, the behavior of the press is a reflection of the behavior of our officials and society because the press can not be separated from the community. Culture “envelope” (read: bribe) will not flourish if our society preserve it. So all parties who are related to the press come to contribute influence, good or bad.

Law of 40 itself is not without its weaknesses. As a man-made law product, the lack is certain. Denying the involvement of the press in revision is the same as building a house without involving the trader, of course, without forgetting the presence of other groups such as academics and legal experts.[]


Source

Menolak RUU Pers

Oleh @ayijufridar

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers perah diusulkan untuk direvisi, beberapa tahun lalu. Sayangnya, perubahan undang-undang tersebut bukan dilandasi semangat kebebasan pers, tapi terindikasi kuat adanya upaya untuk mengembalikan pers di bawah kontrol seperti masa Orde Baru. Hal itu ditandai dengan masuknya pasal kemungkinan pembredelan dan pelarangan penyiaran secara paksa.


Source

Meskipun rancangan undang-undang pers tersebut masih berupa draf akademik yang belum sampai ke menteri Komunikasi dan Informatika, sinyal-sinyal penolakan dari kalangan pers sudah terlihat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas menolak rancangan undang-undang pers tersebut. Seluruh ketua AJI kota yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura, menandatangani pernyataan penolakan tersebut karena dinilai tak sesuai dengan semangat kebebasan dan independensi pers.

Alasan bias

Pasal 4 ayat (5) dari RUU Pers tersebut memuat ketentuan pembreidelan terhadap media yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukukan hidup antarumat beragama dan atau bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan atau membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional.

Di sini terlihat jelas adanya upaya untuk mengontrol kembali pers di Indonesia dengan justifikasi kepentingan agama, kesusilaan, dan pertahanan keamanan nasional. Ketiga aspek tersebut mempunyai batasan yang absurd. Garis demarkasinya sangat kabur karena sarat interpreasi dan sangat bias. Soal kesusilaan, misalnya, sampai sekarang batasannya masih menimbulkan pro-kontra karena setiap suku (bahkan individu!) mempunyai pandangan berbeda.

Sementara menyangkut pertahanan keamanan nasional, rakyat Indonesia tentu masih alergi dengan istilah “stabilitas nasional” di masa Pemerintahan Soeharto yang menerabas segala hal termasuk hak azasi manusia. Pemerintah dengan mudah memberangus media tertentu yang dinilai membahayakan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Alasan ini sangat mudah diselewengkan penguasa dan alat negara demi kepentingan kekuasaan.

Dewan Pers belum mengambil posisi resmi apakah UU Pers perlu direvisi atau tidak. Namun, seorang anggota Dewan Pers Bambang Harymurti, menilai UU No 40/1999 masih belum penting direvisi karena masih banyak wartawan yang belum memahaminya. Kenyataan itu memang terlihat dalam pelaksaan tugas jurnalis, baik di tingkat nasional lebih-lebih di Aceh.

Masih relevan

Dibandingkan dengan UU No 40/1999 yang memuat 21 pasal, RUU yang sekarang beredar terbatas di kalangan wartawan itu memiliki 19 pasal. Selain Pasal 5 yang menjadi ancaman bagi kebebasan pers, secara substansif isi keseluruhan tidak jauh berbeda dengan UU No 40/1999. Perubahan antara lain terlihat pada Pasal 11 tentang modal asing dalam perusahaan pers. Khusus mengenai modal asing, pasal hasil revisi terlihat lebih komprehensif.

Jika sampai disahkan, RUU Pers ini benar-benar bisa menjadi ancaman bagi kebebasan pers. Bahwa sekarang banyak pers yang keblablasan, itu adalah fakta yang tak bisa dibantah. Citra wartawan secara umum di Indonesia memang sangat buruk. Profesi wartawan kerap dituding hipokrit, menyatakan tidak menerima imbalan apa pun dari narasumber, tapi di belakang malah memeras narasumber.

Namun, kondisi demikian bukan alasan untuk membunuh kebebasan pers secara keseluruhan. Semua pihak ikut berperan dalam putih hitamnya pers di Indonesia. Jangan lupa, perilaku pers merupakan cermin dari perilaku pejabat dan masyarakat kita karena pers tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Budaya amplop (baca: suap) tak akan tumbuh subur bila masyarakat kita melestarikannya. Jadi semua pihak yang berhbungan dengan pers ikut menyumbangkan pengaruhnya, baik atau buruk.

UU No 40 sendiri bukan tanpa kelemahan. Sebagai sebuah produk hukum buatan manusia, kekurangan sudah pasti ada. Menafikan keterlibatan kalangan pers dalam revisi sama saja dengan membangun rumah tanpa melibatkan tukangnya, tentu saja tanpa melupakan kehadiran kalangan lain seperti akademisi dan pakar hukum.[]


Source


Badge_@ayi.png

Design by @jodipamungkas

DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Sudah upvote 😆😆

Terima kasih @andikatpratama. Mana postingannya yang mantap?

Mantaps bg ayi.

Terima kasih, @abupasi.alachy. Saleum.

Dangerous...

Lage lagu Michael Jackson @hermanrn; dangerous...!

tragisnya nasib profesi jurnalis ya.. Ikut bersedih sedalam-dalamnya jika itu sempat jadi kenyataan.

Makanya, selain menjadi jurnalis, harus menjadi Steemians @mushthafakamal. Hehehehee....

saya sih nggak terlalu pusing dengan uu pers diamandemen atau tidak... lah prakteknya, banyak wartawan bodrex bekerja di media abal2.

Mau dibredel gimana? Dibredel kantornya..pindah ke kantor lainnya, cetak lagi dengan nama koran atau media berbeda... meres orang lagi, bikin berita bombastis, mendatangi pihak2 yang sedang dilanda masalah.

Meres....! Kalau nggak mau kasih uang tak beritakan loh...., wong ada media besar bisa dibeli untuk tidak memberitakan suatu berita tinggal telpon pimrednya, beres dah!

Salah satu solusinya adalah menggalakkan pendidikan jurnalistik kepada masyarakat, yang mana nantinya citizen jurnalistik akan muncul sebagai media alternatif. Itu opini saya sih... :) Siip mas :)

Nyimak saja.

  ·  7 years ago (edited)

Pers yang baik adalah yang netral, independen. Tdk teralifiasi ke parpol atau ke kekuasaan tertentu sehingga dpt dgn mudah menyuarakan kebenaran, mengktritik jika salah dan memberi apresiasi jika program dijalankan dgn baik. Dan di alam demokrasi, pers sgt diperlukan sbg sebuah pilar dlm membangun bangsa. Jika pers sdh dikontrol terlalu jauh mk itu sama dgn pembungkaman nilai2 kebebasan dan kebenaran. Itu tdk sehat.