Reservoir di Bawah Permadani Hijau: Sejarah Arun NGL

in indonesia •  7 years ago 

Reservoir di Bawah Permadani Hijau

Masyarakat Aron di Aceh Utara menggantungkan hidup dari pertanian dan menanam padi di atas tanah tanpa pernah tahu di bawahnya mengandung 17 triliun kaki kubik gas alam.

Kontruksi Kilang Arun (3).jpg
Foto: Dokumentasi PT Arun NGL

PETAK-PETAK sawah di Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten Aceh Utara, terbentang luas layaknya permadani hijau yang digelar di atas padang savana. Sejauh mata memandang hanya hijau, hijau, dan hijau yang ditingkahi dengan semilir angin berembus. Sebagian besar masyarakat di sana menggantungkan hidup dari pertanian. Mereka menggarap sawah setahun sekali dengan mengandalkan air tadah hujan. Saluran irigasi belum ada. Para petani menyimpan hasil panen untuk persediaan selama setahun, sekaligus mewaspadai musim kemarau yang mungkin melanda.

Selain bertani, masyarakat di kawasan Aron menjadi pedagang. Perekonomian di sana lebih maju dibandingkan kawasan sekitarnya. Masyarakat dari kecamatan lain berbelanja di Kecamatan Syamtalira Aron sehingga membuat daerah itu menjadi ramai, selain karena ada kantor pelayanan pemerintahan yang dikendalikan asisten wedana.

Tidak ada yang tahu, di bawah lahan persawahan dan kebun penduduk, di kedalaman 10 ribu kaki atau 3.048 meter, mengandung kekayaan gas sejumlah 17,1 triliun kaki kubik. Di atasnya, masyarakat terus hidup dengan sederhana, mengandalkan hidup dari hasil pertanian.

Itulah pemandangan sekitar tahun 1960-an ketika kekayaan gas belum terendus di kerak bumi. Setelah pemerintah menjalin kerja sama dengan Mobil Oil Incorporation dari Amerika Serikat, eksplorasi gas mulai dilakukan termasuk di Aron.

Warga baru mengetahui adanya gas dalam perut bumi setelah perusahaan Standard Oil Company of New York (Socony) asal Amerika Serikat melakukan penjajakan awal untuk eksplorasi. Kegiatan itu secara perlahan mengubah suasana di Syamtalira Aron. Orang-orang asing dari Amerika Serikat mulai berdatangan. Tatkala itu, kehadiran warga asing menjadi pemandangan baru bagi masyarakat. “Seingat saya bule mulai masuk ke Aceh Utara sekitar tahun 1967 untuk perintisan sebelum survei minyak bumi. Ketika itu kami baru sepekan siap panen padi. Tapi kami tidak mengerti maksud mereka mencari minyak bumi,” ungkap Yunus (67) warga Syamtalira Aron.

Kawasan Syamtalira Aron sejak saat itu mulai “disesaki” pendatang untuk proses survei seismic ditemukan ladang minyak bumi. Seismic adalah pencarian data terhadap kandungan sumber hydrocarbon (migas) yang ada di bawah bumi atau melakukan pemetaan struktur di bawah permukaan bumi untuk bisa melihat ada kemungkinan adanya jebakan minyak (trap) dengan pengeboran dan bahan peledak.

Aron semakin ramai dan berbagai jenis kendaraan proyek hilir mudik. Puluhan pemuda dari Syamtalira Aron, Matangkuli, Tanah Luas dan sekitarnya juga ikut sibuk, setelah mereka ikut dalam proses perintisan tersebut yang dikendalikan oleh perusahaan ISA.

Pengeboran awal dilakukan di sejumlah lokasi dalam Kecamatan Syamtalira Aron, Nibong, dan Tanah Luas yang dilakukan setelah diperoleh perekaman hasil peledakan dengan seismic.

Pagi itu, 24 Oktober 1971, Bob Graves yang memimpin eskplorasi Mobil Oil Indonesia (MOI) sambil tersenyum mengumumkan hasil survei yang telah dilakukan sejak empat tahun lalu tidak sia-sia. Setelah melakukan pengeboran di sejumlah titik tanpa putus asa, akhirnya kerja keras itu berbuah manis. Gas alam yang diprediksikan sebelumnya berada dalam perut bumi di Kecamatan Syamtalira Aron telah ditemukan. Sebelumnya perusahaan Socony saat beroperasi di Sumatera Utara telah mendeteksi bahwa di Aceh terdapat kandungan gas dalam jumlah besar. Socony kemudian membangun kerjasama dengan Pertamina, perusahaan migas milik pemerintah. Kerja sama itu dituangkan dalam kontrak kerja yang telah dimulai pada 1968.

Proses pencarian migas tak hanya berhenti sampai Arun dan sekitarnya. Para pria bule mulai menerawang jauh ke lepas pantai. Mereka memprediksikan gas alam bukan berada di dalam perut bumi di bumi masyarakat Syamalira Aron, tapi juga di lepas pantai Selat Malaka. Hipotesis kembali berhasil dibuktikan perusahaan yang bermarkas di Texas itu pada 1972 dengan ditemukannya cadangan gas lepas pantai (offshore).

Kontruksi Kilang Arun (2).jpg
Konstruksi pembangunan kilang NLG PT Arun di Lhokseumawe, Aceh, pada 1974. Foto; dokumentasi PT Arun.

Kilang operasi minyak

Alat berat mulai compactor, back hoe, graider dan sejumlah alat berat lainnya meraung-raung siang malam. Alat tersebut “dipaksa” bekerja keras untuk menyelesaikan tugasnya membuat saluran pembuang di sekeliling lokasi reservoir. Kawasan yang sebelumnya ditumbuhi semak belukar menjadi hamparan yang luas untuk proses ekploitasi gas.

Mobil colt dhiesel dan truk besar mulai hilir mudik Buket Rata dan Syamtalira Aron membawa muatan tanah untuk penimbunan. Suasana yang sebelumnya sunyi, berubah riuh rendah dengan mesin-mesin dan teriakan para pekerja.

Masyarakat sekitar ikut lebur dalam kesibukan itu. Kehadiran para pekerja membuka kesempatan bagi mereka untuk terlibat di dalamnya, atau memanfaatkan keberadaan pekerja untuk kegiatan perekonomian. Nama Kecamatan Syamtalira Aron yang hanya terdengar sebagai kecamatan pusat pemberlanjaan, menjadi pusat sekarang menjadi tenar sampai tingkat internasional.

Jalan hotmix mulai berukuran delapan meter mulai melingkari setiap kecamatan itu. Arus lalu lintas kendaraan dan orang mulai lancar seiring dengan perbaikan jalan. Aron mulai berdenyut, lebih cepat dan kuat.

PT Arun NGL_02@Ayi Jufridar.jpg
PT Arun NGL semasa masih beroperasi. Foto @ayijufridar.

Dari Aron ke Arun

Penemuan reservoir di Aron bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan gas di pasar dunia. Jepang dan Korea Selatan yang sedang mengembang perekonomian melalui sektor industri, membutuhkan sumberdaya energi fosil seperti minyak dan gas. Untuk kebutuhan penjualan gas di ladang Aron, dibutuhkan kilang LNG yang menjadi operator.

Perusahaan operator itu dibentuk dengan komposisi kepemilikan saham MOI Inc sebanyak 30 persen, Japan – Indonesia LNG Co atau Jilco sebanyak 15 persen, dan Pertamina sebagai wakil pemerintah sebanyak 55 persen. Dengan pinjaman khusus dari Bank of New York, Amerika Serikat, para investor sepakat mendirikan kilang LNG berteknologi tinggi yang dikelola perusahaan patungan yang ditabalkan dengan nama PT Arun NGL, sesuai dengan nama lokasi penemuan reservoir gas pertama kali dengan sedikit perubahan lafadz.

Pada 23 Agustus 1974, pemerintah meneken kontrak pembangunan kilang PT Arun. Adalah Bechtel Inc, perusahaan konstruksi kilang petrokimia berbasis di Amerika Serikat yang memenangi tender pembangunan kilang PT Arun. Perusahaan ini sudah berpengalaman dalam membangun kilang LNG di berbagai belahan dunia, sehingga dianggap layak dan pantas membangun kilang PT Arun.

Pada masa itu, kemampuan teknis dalam bidang LNG masih sangat terbatas di Indonesia. Fakta ini membuat pekerja asing membanjiri Lhokseumawe. Sedikitnya terdapat 250-an pekerja asing dalam pembangunan kilang PT Arun. Untuk pekerjaan ringan yang tidak terlalu menuntut kemampuan khusus, ditangani para generasi muda dari berbagai daerah di Indonesia, dan tentu saja termasuk dari Aceh. Menjadi tenaga kerja kontrak di Bechtel Inc masa itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi pemuda Aceh, tak peduli meski hanya sebagai tenaga satuan pengamanan atau jenis pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik. Sampai-sampai, beredar pantun yang sangat akrab di telinga masyarakat Aceh pada masa itu; Dulu buah salak, sekarang buah apel. Dulu abang becak, sekarang abang Bechtel. Meski pantun disampaikan dengan nada guyon, faktanya memang buah apel yang menjadi buah-buahan favorit pekerja asing, mulai mengalir masuk Lhokseumawe pada masa itu.

Kehadiran pekerja asing itu yang berbaur pekerja lokal, menjadi momentum tranformasi skills serta budaya kerja. Budaya disiplin dan bersih yang sudah menjadi ruh-nya pekerja asing, perlahan diadopsi para pekerja lokal. Perubahan budaya kerja dan transfer tekonologi mulai terjadi. Bechtel mulai pembangunan train 1, train 2, dan train 3 pada 1974 dan baru selesai pada 1978.

Maka kesibukan terjadi pada 19 September 1978. Gubernur Aceh Muzzakir Walad bersama sejumlah bupati mulai berkumpul di pelabuhan Blang Lancang, sebuah pelabuhan yang dibangun khusus untuk melakukan ekspor LNG. Sepanjang jalan lintasan jalan itu dijaga ketat aparat TNI untuk menyambut Presiden Soeharto. Hari itulah Soeharto meresmikan Kilang Arun Natural Gas Liquefaction (NGL).

Peresmian itu dilakukan, setelah proses produksi gas berhasil dilakukan berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang pada 14 Oktober 1977.

Disisi lain, pada tahun sama Mobil Oil telah memulai kegiatan eksplorasi gas di Cluster I. Setahun kemudian Mobil Oil memulai kegiatan di Cluster II. Selanjutnya, tahun 1982 dan 1983, dimulai kegiatan eksplorasi di Cluster III kini berada di Kecamatan Nibong, dan Cluster IV kini berada di Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara.

Aceh memasuki sejarah baru sebagai daerah pengekspor gas alam cair yang hanya bisa dilakukan dengan kehadiran industri berteknologi modern.

Setelah puluhan tahun beroperasi, memberikan kontribusi pendapatan bagi daerah dan negara, sampai 2014 api flare di PT Arun masih menyala. Jika melintasi Jalan Medan – Banda Aceh sepanjang Batuphat Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, masyarakat bisa melihat kerlap-kerlip lampu pada malam hari seperti seribuan kunang-kunang yang menari. Di balik cahaya yang menari, tersimpan kisah yang berkelindan sejak lahirnya PT Arun. Kisah yang melibatkan banyak pemain di balik denyut perusahaan yang bukan saja dinikmati daerah, negara, para karyawan atau kontraktor, tetapi juga masyarakat sekitar – langsung atau tidak langsung. []


Badge_@ayi.png

Design by @jodipamungkas

DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Di negeri orang, mereka mengeruk tanah sampai berkilo-kilo dalamnya untuk menemukan gas alam dan lainnya. Di tanah kita, hanya beberapa meter saja, maka gas, uranium dan minyak sudah bisa diraih. Tapi malang tak bisa dicegah, kita tetap miskin dengan kekayaan ini bang @ayijufridar

Tapi Aceh sendiri ketinggalan...pusat tak adil..kawan...vote mrazi...saya udah vote punya teman..oke

Thanks so much.

Nice post i am follow you follow me back
Best of luck!
@rumaisanofal

Thanks so much @rumaisanofal.

Memang tulisan bg Ayi Han ek koeh :-D
Mantap bg.
Sangat bermanfaat! :)

Terima kasih @barvon. PT Arun sekarang tinggal kenangan.

Kejayaan Aron, tinggal kenangan, sampai saat ini kemiskinan di Aceh Utara masih membelenggu di negeri yang "katanya" petro dollar. Menyedihkan memang...

Arun merupakan era kebangkitan Aceh. Namun kini hanya tertulis di buku2 sejarah. Itulah yang bisa kita wariskan kepada generasi sekarang.

Aceh selalu kehilangan momentum besar menuju kejayaan Pak @ismadi. Bukan hanya kekayaan gas, konflik bersenjata bahkan tsunami yang dahsyat saja tidak berhasil menjadi daya ungkit untuk bangkit.

Aceh kaya,namun tak berdaya 😂 @ayijufridar

Tragis; orang kaya tak berdaya. Biasanya orang miskin yang yang berdaya karena tidak ada sumber daya, hehehehehe.

Mobil Oil/ExxonMobil meninggalkan Aron tanpa adab setelah mengosongkan perut bumi Aron. Akankan masyarakat Aron menuai petaka .

Perusahaan itu harus bertanggung jawab terhadap alam dan masyarakat lingkungan Bang @terpia. Pemerintah Aceh dan Indonesia juga tidak boleh lepas tangan terhadap kondisi ini. Jangan setelah diberi tanah, Kuta sudah berpuas diri. Tanah itu milik kita sendiri