The Islami Press | Bilingual |

in indonesia •  7 years ago  (edited)

Oleh @ayijufridar

KELATAHAN tampaknya sudah menjadi bagian dari karakter masyarakat kita, termasuk dalam bidang jurnalistik. Kewenangan eksklusif yang diberikan Undang-Undang Nomor 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh, membuat pers juga ingin ditampilkan berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Seolah ada yang keliru dengan wajah pers Aceh selama ini.

Diskursus tentang qanun pers dan penyiaran Islami memang seperti mempersoalkan sesuatu yang masih berada di awang-awang. Sejumlah jurnalis senior di Banda Aceh, mengaku tidak tahu seperti apa pers yang Islami tersebut karena sulitnya memperoleh rancangan qanun tersebut. Bahkan secara berseloroh, seorang jurnalis mengatakan nanti wartawan di Aceh harus mengenakan sarung dalam setiap peliputan dan naik menunggangi unta sebagai kendaraan. Kalau itu dilanggar maka jurnalis akan dicambuk karena melanggar qanun atau peraturan daerah.

Aksi_160212.jpg

Legalitas formal

Dari aspek legalitas formal, Pasal 153 Undang-Undang Nomor 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh memang memberikan ruang bagi pemberlakuan qanun pers dan penyiaran Islami. Semangat yang dikandung di dalamnya tentu saja penerapan nilai-nilai Islam dalam dunia jurnalistik. Semangat ini tentu saja patut didukung semua pihak tanpa harus melupakan semangat pluralisme dalam berkehidupan di Aceh. Namun, peraturan tentang pers Islami itu tetap terasa sebagai sebuah pemaksaan yang hanya mementingkan kulit.

Sikap penolakan terhadap pers Islami itu langsung diperlihatkan sejumlah jurnalis di Banda Aceh, seperti yang mencuat di beberapa media. Mereka menilai Undang-Undang Nomor 40/1999 Tentang Pers, sudah cukup untuk mengatur cara kerja jurnalis. Kendati UU No 40 tidak mengatur secara detail, masih ada Kode Etik Jurnalistik melengkapinya dalam mengatur pekerja pers agar bersikap Islami kendati tidak menyebutnya demikian.
Kalau mau lebih teliti mengulik Kode Etik Jurnalistik pasal per pasal, maka akan terlihat betapa lengkapnya perilaku wartawan diatur. Pasal 4 dari KEJ itu mengatur agar wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Khusus untuk cabul, penafsirannya adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Ini baru salah satu pasal. Prinsip jurnalistik yang berlaku universal pun seperti keberimbangan, jujur, akurat, mendidik, juga bagian dari nilai-nilai Islami. Sepuluh pasal lainnya pun, jika dipatuhi dengan baik oleh jurnalis di Aceh, maka mereka akan menghasilkan produk jurnalistik yang Islami. Jadi, Islami seperti apa yang dimaksudkan dalam qanun itu nanti.

Dari sejumlah qanun syariat Islam yang telah diberlakukan di Aceh, banyak yang masih bersifat artificial. Qanun masih dijadikan alat untuk mengatur masyarakat kecil dan cenderung diskriminatif. Hal itu dibuktikan dengan survey yang dilakukan Yayasan Keumala Lhokseumawe di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Hal ini juga yang menjadi kekhawatiran sejumlah jurnalis di Aceh. Qanun pers Islami itu nantinya tidak jauh-jauh dari persoalan kulit, tidak sustansial sehingga harapan menguatnya fungsi watchdog pers belum terpenuhi.

DSC_0092.jpg

Hanya kulit

Kalau hanya mengatur masalah artificial seperti hanya menyiarkan azan setiap waktu bagi radio dan televisi atau hal-hal semacam itu, sungguh qanun itu tidak diperlukan lagi. Tidak hanya media di Aceh, di Jakarta sekali pun hal itu dilakukan. Bahkan semua stasiun TV di Jakarta menginterupsikan seluruh program untuk azan Maghrib. Jadi, tidak perlu membuang biaya, waktu, pikiran, dan tenaga untuk menghasilkan sebuah qanun yang seara praktis sudah dilaksanakan kalangan pers.

Kalau hanya mengatur masalah-masalah kulit, wajar saja ada penolakan dari kalangan jurnalis di Aceh. Ada kekhawatiran qanun tersebut malah mengebiri fungsi pers, mengekang kebebasan berekspresi. Selain itu, qanun tersebut nanti dikhawatirkan menjadi senjata pemukul bagi pers yang kritis. Frasa Islami hanya digunakan sebagai tameng pelindung kekuasaan.

Entah atas pertimbangan apa, qanun tersebut masuk ke dalam qanun prioritas yang harus dibahas. Apakah karena produk jurnalistik yang ada saat ini sudah tidak Islami lagi, atau orang-orang yang terlibat di dalamnya yang berperilaku tidak Islami?

Pemberlakuan qanun, bagaimana pun bentuknya, akan memberikan dampak bagi pengembangan pers nasional. Taruhlah pers Islami diberlakukan di Aceh karena di daerah ini berlaku syariat Islam. Namun, hal ini memberi peluang bagi daerah lain untuk mengesahkan peraturan daerah yang juga bersifat eksklusif. Di provinsi yang kuat Kristen, akan memberlakukan peraturan daerah tentang pers yang Kristiani, demikian juga daerah lain seperti Bali yang kuat Hindu-nya.

Kalau pun tidak bisa dicegah, kalangan jurnalis di Aceh harus lebih banyak terlibat dalam penyusunan qanun tersebut. Selain itu, tidak ada salahnya melibatkan wartawan-wartawan senior dari luar Aceh yang punya kapasitas. Jangan sampai peraturan tentang jurnalistik malah dibuat oleh kalangan yang antiterhadap kebebasan pers. []



Source

The Islami Press

By @ayijufridar

BALANCE seems to have become part of the character of our society, including in the field of journalism. Exclusive Authority granted by Law Number 11/2006 on Aceh Government, makes the press also wants to be displayed differently from other regions in Indonesia. As if there is something wrong with the face of the Aceh press.

Discussion about the qanun (local rules) of the press and Islamic broadcasting is like questioning something that is still in the clouds. A number of senior journalists in Banda Aceh, claimed not to know what the Islamic press is because it is difficult to obtain the draft qanun. Even jokingly, a journalist said later reporters in Aceh should wear a sarong in every coverage and ride riding a camel as a vehicle. If it is violated then the journalist will be flogged for violating qanun or local regulations.

Formal legality

From the aspect of formal legality, Article 153 of Law Number 11/2006 on the Government of Aceh does provide room for the imposition of press qanun and Islamic broadcasting. The spirit contained in it of course the application of Islamic values in the world of journalism. This spirit of course should be supported by all parties without having to forget the spirit of pluralism in life in Aceh. However, the regulation on the Islamic press still feels as a coercion that is only concerned with the skin.

The attitude of rejection of the Islamic press was immediately shown by some journalists in Banda Aceh, as it stuck out in some media. They considered Law No. 40/1999 on the Press, it was enough to regulate the workings of journalists. Although Law No. 40 does not regulate in detail, there is still a Journalism Code of Ethics that complements it in managing press workers to be Islamic even though they do not.

If you want to more closely about Code of Ethics Journalism article by chapter, it will look how full the behavior of journalists arranged. Article 4 of the KEJ stipulates that Indonesian journalists do not make false, slanderous, sadistic, and obscene news. Especially for obscenity, the interpretation is an erotic description of behavior with photographs, images, sounds, graphics, or writing solely to arouse lust.

This is just one chapter. The universally applicable principles of journalism are like balance, honest, accurate, educational, as well as part of Islamic values. The other ten articles, if properly obeyed by journalists in Aceh, they will produce Islamic journalistic products. So, what kind of Islamic is meant in that qanun later?

From a number of qanun Islamic laws that have been enacted in Aceh, many are still artificial. Qanun is still used as a tool to organize small communities and tend to be discriminatory. This is evidenced by the survey conducted Keumala Lhokseumawe Foundation in a number of districts / cities in Aceh. This is also the concern of some journalists in Aceh. The Qanun of the Islamic press will not be far from the skin issue, it is not sustansial so the hope of strengthening the function of watchdog of the press has not been fulfilled.

If it only regulates artificial issues such as just broadcasting the call to prayer every time for radio and television or such things, it really is not necessary. Not only the media in Aceh, even in Jakarta, it is done. In fact, all TV stations in Jakarta interrupt the entire program for the Maghrib azan. So, no need to waste the cost, time, thought, and energy to produce a qanun practically already implemented among the press.

Artificial

If it only regulates artifial problems, there is reasonable rejection from journalists in Aceh. There are concerns that the qanun may castrate the function of the press, curb the freedom of expression. In addition, the qanun will be feared to be a weapon hit for the critical press. The Islamic phrase is used only as a protective shield of power.

For whatever reason, the qanun goes into the priority qanun that must be discussed. Is it because the existing journalistic product is no longer Islamic, or the people involved in it who behave un-Islamic?

The enactment of this qanun will, after all, shape its impact on the development of the national press. Put the Islamic press into effect in Aceh because in this area apply Islamic law. However, this provides an opportunity for other regions to legitimize local regulations that are also exclusive. In a strong Christian province, it will enact local regulations on the Christian press, as well as other areas such as Bali's strong Hindu.

If it can not be prevented, journalists in Aceh should be more involved in the preparation of the qanun. In addition, there is no harm in involving senior journalists from outside Aceh who have the capacity. Do not let the rules about journalism even made by the anti-freedom of the press. []

KSI_01.jpg


Badge_@ayi.png

Design by @jodipamungkas

DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

For whatever reason, the qanun goes into the priority qanun that must be discussed. Is it because the existing journalistic product is no longer Islamic, or the people involved in it who behave un-Islamic?

Kasihan Aceh, menjadi kehilangan keAcehannya justru ketika mencoba untuk lebih unjuk gigi soal keislamannya. Pdahal tak perlu demikian sebab Aceh memang Islam, "isinya" sangat Islam, sehingga tak perlu berlebihan untuk menunjukkan dalam penampilan.

Islam bukan hanya artifisial, tapi harusnya terlihat dalam perilaku sehari-hari. Kalau sudah Islami, pasti nggak ada korupsi lagi, hehehehehe

Semoga aspirasi nya di dengar bg, dan pers Aceh lebih maju :)

Qanun pers Islami itu nantinya tidak jauh-jauh dari persoalan kulit, tidak substansial

Sepakat bg, ini wacana lama setahuku. Bahkan ada Kaukus wartawan peduli syariat islam, mungkin untuk membuat jarak dengan wartawan yang tidak syar'i menurut mereka. Seingat saya dulu ada beberapa wartawan senior yang saya ketahui menggalang dukungan dengan mempopulerkan tagar #syariatkanmedia di twitter. Ketika tagar itu menjadi trending, sebagian kawan-kawan kami di FH berencana membentuk kelas belajar baca tulis arab-jawi. Ketika di tanya kenapa, mereka bilang "karena #syariatkanmedia sedang populer, mungkin sebentar lagi akan dikeluarkan qanun koran2 di aceh harus dicetak dengan tulisan arab-jawi". Satire!

Berisi, bang @ayijufridar.

Kita sebenarnya belum siap dengan konsep Islam yang hakiki... Walaupun perjuangan untuk pers Syariah harus terus disuarakan agar pemberitaan mengalah ke liberalisme pemikiran.

Dengan meliput dan menulis berita sesuai Kode Etik, sebenarnya sudah Islami. Tapi menegakkan Kode Etik pun, masih sulit.

Jangan sampai peraturan tentang jurnalistik malah dibuat oleh kalangan yang antiterhadap kebebasan pers.

Mantap bang @ayijufridar saya setuju ..

bersama #indonesia kita bisa!