Tahukah kita? Indonesia sudah dinyatakan darurat narkoba sejak tahun 1971 oleh Presiden RI ke-2 Soeharto, dan hingga saat ini status tersebut masih menjerat generasi bangsa. Bahkan, pengguna dan pengedarnya kian meluas. Belum lagi puluhan jenis narkoba baru.
Ilustrasi | Image source
Bayangkan saja, sepanjang 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah membongkar 46.537 kasus narkoba di seluruh Indonesia. Atas pengungkapan ini, BNN menyita ratusan ton barang bukti dari pelaku yang diketahui sebagai bandar hingga sindikat narkoba yang berada di Indonesia.
Adapun ratusan barang bukti tersebut yaitu 4,71 ton sabu-sabu, 151,22 ton ganja, dan 2.940.748 butir pil Ekstasi dan 627,84 kilogram ekstasi cair.
Selain itu, saking banyaknya penangkapan kasus narkoba, para penghuni sel tahanan saat ini juga didominasi oleh mereka yang tersandung kasus serupa. Maka tidak salah kalau pemerintah kita menetapkan Indonesia darurat narkoba.
Lalu, ketika masalah serius ini terus mengalami ekspansi yang nyata—pertanyaannya—bagaimana nasib bangsa ini di masa depan? Saya pikir kalau tidak ada keseriusan dan ketegasan semua pihak, tidak tertutup kemungkinan pengguna narkoba layaknya jumlah perokok saat ini, bahkan bisa lebih. Dan bisa jadi pula bangsa ini ikut dipimpin oleh orang-orang sakau. Miris.
Fenomena peredaran dan penyalahgunaan narkoba saat ini, membuat saya membandingkan dengan saat menjadi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMP). Kala itu tahun 2001, saya hanya mendengar saja narkoba jenis ganja tanpa melihat secara langsung yang kasusnya pun masih jarang terjadi. Apalagi kasus sabu yang saat ini mendominasi, memang boleh dibilang tak ada sama sekali di daerah saya saat itu. Saya hanya melihatnya di film-film mafia narkoba. Itu pun awalnya saya tak tau bahwa yang dicongkel pakai belati dan dicicipi adalah kokain dan sabu.
Ilustrasi | Image source
Ketika saya sudah menjadi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), saya mulai mendengar sabu dipakai oleh para elite, bos besar dan kalangan selebritis agar mereka lebih percaya diri dari tekanan sosial. Katanya juga sabu itu mahal, makanya hanya orang tertentu saja yang memakainya.
Namun saat menjejakkan kaki di kampus—tahun 2008—sabu perlahan terasa mulai meracuni generasi muda. Kabarnya, bagi mereka yang sudah kecanduan menggunakan sabu seperti mendapatkan status sosial yang tinggi. Apalagi konon sabu banyak dipakai kalangan elite. Mereka seakan di atas awan saat terkena sabu. Tapi sayangnya mereka tidak memikirkan dampak usai nikmatnya habis dan sakau.
Nah, terkait pebandingan tersebut, saya sangat merasakan peredaran dan penyalahgunaan barang haram itu kian membengkak hingga ke pelosok desa. Di sini sepertinya berlaku istilah dalam Ilmu Ekonomi, yakni hukum permintaan, di mana ‘Semakin turun harga suatu barang, maka kian banyak jumlah permintaan. Sebaliknya, kian naik harga suatu barang, maka jumlah yang diminta akan berkurang’.
Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba, seperti sabu, salah-satunya karena harganya mengalami penurunan, sehingga otomatis permintaannya meningkat. Sementara pemerintah seakan kehilangan jurus membendung peredaran narkoba. Tak ayal pula orang-orang berpenghasilan menengah ke bawah sudah ikut bisa menikmati barang haram itu yang dulunya hanya elite saja yang memakainya.
Apa yang terjadi pada orang yang memakai sabu?
Ilustrasi | Image source
National Drug Research Institute Australia, dr Nicole Lee mengatakan, saat sabu pertama kali masuk ke tubuh akan memberikan dampak yang besar. Namun efek samping yang ditimbulkan tergantung pada bentuk sabu, cara sabu masuk ke tubuh hingga dosis yang dikonsumsi.
Dikatakan, kebanyakan orang akan menghirupnya lewat rokok, menyuntikkan diri, atau mengonsumsi pil. Jika dihirup lewat rokok dalam beberapa menit akan langsung muncul. Sementara kalau ditelan maka efek bisa muncul sekitar 20 menit kemudian.
Dilansir dari ABC Australia, rasa nikmat, sensasi tenang merupakan salah satu efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan sabu. Beberapa pengguna mengaku, sabu memberikan mereka banyak energi dan menjernihkan pikiran.
Hal tersebut disebabkan sabu mendorong hormon dopamin menjadi 1.000 kali lipat batas wajar. Menurut dr Nicole, jumlah ini merupakan yang cukup tinggi jika dibandingkan tingkat dopamin yang dipicu oleh narkoba atau kegiatan lainnya.
Biasanya rasa nikmat akan berlangsung selama 4—12 jam sampai muncul efek sebaliknya. Efek itu antara lain berkurangnya konsentrasi secara drastis, sakit kepala, depresi hingga kelelahan. Reaksi balik ini akan berlangsung sampai 24 jam.
Saat kondisi tersebut muncul, umumnya pengguna akan merasa kecanduan dan kembali menggunakan sabu dalam dosis yang lebih tinggi agar bisa merasa normal. Lama kelamaan dosis sabu akan terus dinaikkan oleh pengguna sampai overdosis. Jika sudah overdosis, hal ini bisa menyebabkan stroke hingga gagal jantung.
Jadi jelas, narkoba itu memberikan kenikmatan sesaat, namun setelah itu harus menderita dan tersiksa selamanya. Belum lagi harus berurusan dengan hukum dan berkahir di dalam jeruji besi.
Kita tidak mungkin membiarkan pemerintah dan aparat penegak hukum saja yang memberantasnya. Namun hal serius ini semestinya menjadi tanggungjawab kita semua. Karenanya, saya mengajak teman-teman yang hobi nulis, blogger dan khususnya Steemians juga ikut mengkampanyekan dampak buruk yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkoba, demi masa depan bangsa yang cerah; bebas dari narkoba.
Ilustrasi | Image source
Harapan saya, masing-masing dari kita hendaknya ada satu artikel yang membahas tentang bahaya narkoba. Apalagi pegiat blog saat ini sepertinya didominasi para pemuda dan remaja labil, di mana mereka memiliki hasrat kuat mencoba-coba sesuatu yang baru. Dan kekhawatirannya adalah mereka mencoba kenikmatan sesaat dari narkoba. Nah, mengantisipasi hal itu, maka lewat tulisan kita perangi narkoba, karena tulisan mampu mengubah dunia.
Jadilah berarti sebelum mati!
Blangpidie, 7 Februari 2018
Salam hangat,
Mukhlis Azmi
Sources: Kompas | IDN TIMES | SINDONEWS
Follow: @azmi.mukhlis
Narkoba itu musuh bersama. Harus dilawan oleh semua orang. Pembuat dan pengedar harus dihukum berat. Korban hrs segera direhabilitasi
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Agree pak @Ismadi. Saya juga berpikir demikian. Hal tersebut sudah semestinya jadi tanggungjawab bersama.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Postingan yang bagus @azmi.mukhlis, semoga narkoba bisa diperangi di atas bumi ini.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
@atta.albar sebagai agen perubahan juga harus punya inisiasi yang tepat dalam memberantas narkoba. Semoga :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Inilah Virus paling ganas.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit