(Dr. Junus Satrio Atmodjo menyampaikan hasil disertasi doktoralnya di Museum Nasional Indonesia, Kamis, 22 Maret 2018. Foto: Fadhlan S. Intan/IAAI)
“Sia-sia Anda memiliki pengetahuan, jika belum dibagikan kepada yang lain”, demikian kutipan kata mutiara dari kitab lama. Suatu ungkapan yang sungguh mengena, karena memang tidak ada gunanya seorang memiliki pengetahuan atau ilmu bila hanya untuk dirinya sendiri, tidak dibagikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas.
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah (Komda) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) agaknya berpikiran sama. Maka Kamis, 22 Maret 2018, pengurus IAAI Komda Jabodetabek mengadakan diskusi ilmiah di Museum Nasional Indonesia (MNI), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Diskusi kali ini mengetengahkan presentasi doktoral para doktor bidang arkeologi Universitas Indonesia (UI) dalam kurun 2015-2017.
Bisa jadi sebagian sudah hadir ketika sidang terbuka promosi doktoral itu diadakan. Tetapi banyak juga anggota IAAI di wilayah Jabodetabek yang belum sempat menyaksikan promosi di UI itu. Lagi pula, kalau pun hadir saat sidang terbuka promosi doktoral itu, kecuali mereka yang menjadi promotor dan tim penguji, hanya bisa mendengar saja. Kali ini terbuka kesempatan untuk bertanya-jawab dan mengajukan komentar terkait masalah yang diteliti.
(Ketua IAAI Komda Jabodetabek, Dedah R. Sri Handari, membuka diskusi ilmiah berisikan presentasi doktoral arkeologi UI 2015-2017 di Museum Nasional Indonesia, Kamis, 22 Maret 2018. Foto: Fadhlan S. Intan/IAAI)
Apalagi, IAAI Komda Jabodetabek yang dipimpin ketuanya, Dedah R. Sri Handari, berusaha semaksimal mungkin sehingga diskusi tersebut berlangsung gratis tanpa harus membayar sepeser pun, asalkan yang bersangkutan adalah anggota IAAI. Bahkan beberapa calon anggota IAAI, yang sudah mendaftar tetapi belum disahkan keanggotaannya, juga diizinkan hadir.
Maka, lima doktor bidang arkeologi UI pun tampil. Mereka adalah Dr. Junus Satrio Atmodjo, Dr. Rr. Triwurjani, Dr. St. Prabawa Dwi Putranto, Dr. Taqyuddin, dan Dr. Andriyati Rahayu. Masing-masing mempresentasikan disertasi doktoral mereka di depan sekitar 100 peserta anggota IAAI se-Jabodetabek.
Setelah didahului sambutan-sambutan oleh Kepala MNI, Siswanto, Ketua IAAI Pusat yang diwakili Ninie Susanti, dan dibuka oleh Ketua IAAI Komda Jabodetabek, Dedah R. Sri Handari, acara diawali dengan presentasi Junus Satrio Atmodjo yang mengangkat disertasinya berjudul “Lanskap Budaya Kawasan Pesisir Jambi Abad XI-XIII: Peran Masyarakat Kuno Memanfaatkan Rawa sebagai Permukiman yang Permanen”. Selanjutnya disusul Rr. Triwurjani dengan judul “Arca-Arca Megalitik Pasemah Sumatera Selatan: Kajian Semiotik".
Berikutnya adalah presentasi dari St. Prabawa Dwi Putranto berjudul “Model Manajemen Sumber Daya Budaya Bawah Air Terintegrasi di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah”. Lalu dilanjutkan oleh Taqyuddin dengan presentasi berjudul “Rekonstruksi Lanskap Arkeologi Pertanian Masa Jawa Kuno (Abad VIII-XI)”, dan Andriyati Rahayu yang menampilkan presentasi berjudul “Kehidupan Kaum Agamawan Masa Majapahit Akhir: Tinjauan Epigrafis”.
Secara keseluruhan, presentasi yang disajikan sangat menarik. Banyak hal-hal baru atau kalau pun tidak baru, tetapi jarang diketahui – bahkan di kalangan arkeolog sekali pun – yang diungkapkan oleh para pemrasaran. Semangat untuk meneliti tinggalan-tinggalan masa lalu dan mencari korelasi dengan masa kini, serta kemungkinan dapat diterapkan terus di masa depan, terlihat nyata dalam diskusi yang digelar tersebut.
Satu hal yang mungkin menarik adalah komentar dari Nunus Supardi, salah satu tokoh senior di bidang kebudayaan yang pernah menjadi Direktur Purbakala dan Sekretaris Direktur Jenderal Kebudayaan. Dia menyoroti keberadaan institusi pemerintah yang menangani situs dan tinggalan arkeologi bawah air.
(Nunus Supardi, yang pernah menjadi Direktur Purbakala dan Sekretaris Direktur Jenderal Kebudayaan, sedang menyampaikan komentarnya. Foto: Fadhlan S. Intan/IAAI)
Sudah bukan rahasia lagi, begitu banyak situs dan tinggalan arkeologi yang ada di bawah air. Sayangnya, beberapa kali benda-benda dari kapal tenggelam yang merupakan benda arkeologi benilai sejarah yang tinggi, berhasil dicuri dan diangkut ke luar negeri. Belakangan justru muncul di balai-balai lelang terkemuka, dijual dengan harga sangat mahal. Sementara Indonesia hanya bisa “gigit jari”. Bukan saja tak mendapat bagian dari keuntungan penjualan, tetapi juga kehilangan benda bersejarah yang amat berharga.
Itulah sebabnya, Nunus Supardi merasa sedih. “Saya sedih, dulu ada Direktorat Arkeologi Bawah Air (yang menangani masalah dan temuan arkeologi di bawah air). Dari ada, setengah ada, sampai (sekarang) tidak ada,” tuturnya.
Padahal Nunus mengingatkan, Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan kita jangan memunggungi laut. Sebagaimana disampaikan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI pada 2014, Jokowi antara lain mengatakan, “Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita." Lalu ditambahkannya, “Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk."
Saatnya, kata Presiden, mengembalikan kejayaan kita di laut. Dan seperti disampaikan Nunus Supardi serta banyak arkeolog lainnya yang hadir pada diskusi tersebut, salah satunya juga dengan lebih memperhatikan situs dan tinggalan-tinggalan arkeologi di bawah air. Jangan lagi kita “gigit jari” mendengar berita benda-benda bersejarah dari bawah perairan Indonesia dicuri dan dijual di luar negeri dengan harga sangat mahal.
Suka sekali dgn pembukanya. Kata mutiara yg hingga kini masih dipakai
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih komentarnya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit