Kamping di Pulau Pari

in indonesia •  7 years ago 

Udara dingin menembus jaket abu-abu yang saya kenakan saat melintasi jalanan sepi pada dini hari itu. Sepeda motor saya kebut sampai lampu jalan terlihat seperti berkelebat di sisi kiri dan kanan jalan. Jika tak terlihat lubang di depan, maka tak kukurangi lajunya. Bukan karena ingin cepat tiba. Tapi saya khawatir hujan turun dan saya bisa terhambat lama karena harus berteduh.

Perjalanan dari Serang ke Muara Angke ini menghabiskan waktu perjalanan lebih kurang 3 jam. Menempuh lebih dari 100 kilometer dengan cuaca yang terus membuat saya tak tahan ingin segera cepat sampai. Dingin banget!

Saya memulai perjalanan dari rumah pada pukul 2 dini hari. Dan tiba di Muara Angke pada pukul 5 subuh. Saya terpaksa berhenti dan singgah di depan teras toko untuk menghindari hujan yang tiba-tiba turun lebat. Yang saya khawatirkan malah terjadi pada saat saya hampir tiba di lokasi. Semoga hujan ini segera cepat berhenti, doa saya dalam hati.

Hujan berhenti setelah setengah jam saya termangu di depan toko, dikerubuti nyamuk-nyamuk jantan yang kelaparan. Saya meraba ransel dan mendapatkan beberapa bagian yang basah terkena cipratan air. Tapi saya tak ambil pusing, saya menyalakan motor dan mengendarainya lagi menuju tujuan pertama: Pelabuhan Kali Adem.

Saya sudah membikin janji dengan dua orang teman yang lain untuk berkumpul di pelabuhan. Kami berencana berkemah di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Saya membawa perlengkapan berkemah seperti tenda, nesting, dan kompor. Motor saya titipkan di tempat penitipan motor tak jauh dari pelabuhan. Ongkosnya 10.000 per malam.

Pukul 6 pagi, dua orang teman saya tiba: Arkun dan Jaka. Kami membeli tiket yang saya lupa berapa harganya di sebuah konter tiket. Kalau tidak salah 35.000 per orang. Setiap pulau, beda-beda pula harganya. Kapal penumpang yang berlabuh di Dermaga Muara Angke rata-rata memiliki ukuran yang sama. Terdiri dari dua tingkat yang memuat penumpang antara 50-60 orang sekali jalan.

Waktu tempuh dari Muara Angke ke Pulau Pari membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Paling enak menunggu tiba di lantai atas karena penumpang bisa tidur berbantalkan baju pelampung yang tersedia. Tapi jika di tengah laut sedang hujan, resikonya adalah air merembes masuk ke dalam. Atau percikan ombak pun bisa membuat lantai basah.

Pulau Pari sendiri adalah pulau yang terbilang kecil namun nyaris dipadati oleh rumah-rumah warga dan homestay. Pada musim liburan, homestay di pulau ini hampir selalu penuh dan yang tersisa adalah tenda-tenda yang disewakan. Bagi penyuka hidup di tengah alam, tentu ini menjadi pilihan menarik untuk berlibur di Pulau Pari.

Kami mendirikan tenda di Pantai Perawan. Letaknya berada di sisi pulau yang lain. Jadi kami harus berjalan memutar setengah pulau untuk tiba ke lokasi. Ada banyak kios-kios yang menjual makanan ringan dan bahan pokok. Pun warung-warung yang menjual makanan jadi juga tersedia banyak di banyak tempat di jalan utama di Pulau Pari. Jika kelaparan di tengah jalan atau kehabisan logistik, kamu bisa mencarinya dengan mudah.

Pantai Perawan cukup terawat dan bersih. Tapi hanya bagian pantainya saja. Sayangnya di bagian belakang pantai, yang banyak ditumbuhi pepohonan, sampah bertebaran di mana-mana. Entah itu sampah-sampah kiriman Jakarta atau buangan pengunjung. Namun sampah-sampah dari daratan memang luar biasa banyaknya. Saya menemukan sampah kiriman ini di hampir semua sisi pantai. Tersangkut dan tertahan di akar-akar pohon bakar dan terdampar di pantai. Menutupi seluruh permukaan pasir.

Tiga tenda kami sudah berdiri di dekat sebuah tiang lampu penerangan, bersama puluhan tenda pengunjung lain di sisi kiri Pantai Perawan. Jaraknya ke bibir pantai tak sampai 10 meter. Deburan ombak terdengar lumayan keras meski ombaknya hanya berupa jilatan-jilatan pada pasir. Tapi suara deburan ombak ini membuat suasana malam lebih syahdu. Bagi orang yang tinggal jauh dari lautan, suasana malam di pinggir pantai ini rasanya sangat mahal. Tak bisa sering-sering dialami karena jaraknya yang sangat jauh dari kediaman.

Aku menyeduh kopi untuk teman-teman yang asyik bermain kartu. Aku sendiri memilih membaca buku di bawah temaram lampu hingga kantuk datang menyerang. Kopi yang sudah kuseduh tadi tak mampu mencegah serangan kantuk. Aku beranjak masuk ke tenda, membaringkan badan di atas matras. Suara-suara orang bernyanyi di pinggir pantai perlahan mengecil seiring berkurangnya kesadaranku.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Seperti penulis andre hirarata (ikal)

Alhamdulillah, makasih, bang @berkat.