Di era post-modernism (post-truth?) seperti sekarang ini kadar kepintaran seseorang seringkali diukur dengan produk rekayasa imajinasi sosial. Misalnya orang-orang yang menguasai ilmu matematika dianggap pintar karena matematika menjadi tolok ukur trend kepintaran dalam dalam sebuah komunitas sosial tertentu. Saya masih ingat ketika masih sekolah orang yang mendapatkan rangking rata-rata mereka yang mampu menguasai matematika atau ilmu eksakta lainnya yang berhubungan dengan angka dan hitung-hitungan.
Lalu terjadi penambahan dan sedikit pergeseran ketika globalisme mulai memuncak karena didukung media komunikasi melalui jaringan internet. Sehingga dunia ini terasa sempit karena seseorang yang sedang berada di suatu belahan dunia mampu terhubung seketika dengan orang yang berada di belahan dunia lainnya. Di saat seperti ini bahasa inggris menjadi tolok ukur baru kadar kepintaran seseorang. Orang yang mampu berbahasa inggris dengan fasih secara tidak langsung dibaiat menjadi seorang yang pintar dengan sendirinya.
Untuk membuktikannya silakan jawab pada diri anda sendiri siapa orang yang paling pandai dalam kelas semasa anda SMA dulu?! Sudah? Coba ingat lagi. Apakah ada di antara mereka selain yang menguasai matematika atau ilmu eksakta dan bahasa asing? Saya berani katakan tidak ada. Jika pun ada persentasenya sangat kecil, persis seperti reward stemian pemula kelas ikan teri, nolkoma sekian!
Atau untuk lebih mudah mendeteksinya lihat saja jurusan favorit di setiap kampus yang ada, pasti tidak jauh-jauh dari jurusan teknik, kedokteran dan sejenisnya. Celakanya kajian tentang ilmu sosial-agama dan filsafat justru dianggap kolot dan tidak memiliki daya tawar, padahal kajian tentangnya sangat dibutuhkan saat ini mengingat kondisi sosial terus berubah seiring berjalannya zaman. Namun apa daya, sikapnya sudah jahannam sejak dalam pikiran.
Pola pikir seperti ini seolah-olah membatasi bahwa orang yang pintar itu adalah hanya mereka yang menguasai matematika atau ilmu sains dan bahasa asing saja. Sehingga basic keilmuan lainnya secara tidak langsung tergeser ke sudut ruangan yang gelap dengan masa depannya yang suram. Padahal mereka yang belajar ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, filsafat, politik, seni, agama dan lain-lain juga berhak mendapatkan kelas dan posisi yang setara dalam ruang imajinasi sosial.
Kita sering lupa bahkan kerap mengabaikan bahwa setiap orang memiliki kemampuan basic-nya masing-masing. Biasa orang menyebutnya bakat. Ia tidak bisa diukur dengan standard yang umum dan kaku. Begitu juga halnya dengan kecerdasan. Kecerdasan seseorang tidak bisa dipatok dengan hanya satu komponen tertentu.
Albert Einstein pernah mengatakan : "Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid". Memang semua orang itu jenius. Tapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, maka ia akan menjalani hidupnya dengan penuh kepercayaan bahwa ia itu bodoh.
Ilustrasi ini sangat tepat untuk merefleksikan fenomena di atas. Kecerdasan seekor ikan itu tidak bisa diukur dengan memanjat karena keahliannya adalah berenang. Memanjat itu keahlian seekor monyet atau tupai misalnya. Maka tidak bisa kita mengukur kadar kecerdasan monyet atau tupai dengan berenang karena itu memang bukan bidangnya.
Begitu juga dengan manusia, setiap orang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Tidak bisa kita memaksa seorang politisi yang pandai beretorika untuk memegang kuas menyuruhnya melukis di atas kanvas. Tidak bisa kita memaksa seorang petani yang keahliannya bercocok tanam untuk menulis karya ilmiah untuk dimuat di jurnal terindeks scopus. Tidak bisa kita memaksa seorang tentara yang akrab dengan senjata untuk mengajar teori-teori ilmiah menjadi dosen di kampus.
Begitulah manusia, ilmu itu sangat luas. Bahkan jika air laut dijadikan tinta dan ranting pohon dijadikan pena niscaya ilmu tidak mampu dituliskan semuanya. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan Sang Pengatur Semesta!
Tuah Sigö, Fadhli Espece | @cucoraja
Illustration : Thinking Humanity
Nyaaannn... Seb bereh kiraju... Meuhambo...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bek brat-brat that, meulungkop kuwah enteuk 😂
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Buet ureung awai sit ka meutente
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
geutanyoe mantong ta rika-rika
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hana bantah..
Pedas sambal kita malam ni..nyoe cap👍
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
asam keu-eung kiraju, bah meulawök-lawök
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
luar biasa bang saya dapat simpulkan dari postingan abng, semua orang itu pasti panda dan sukses tapi ada bidangnya masing masing,
maka patutlah kita katakan "nikmatilah hidupmu dengan masing-masing kesenangan kita tidak ada pada meraka kesenangan mereka tidak ada pada kita"
salam kenal@maulidin-alasyi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Benar, setiap orang memiliki tupoksinya masing-masing. Tidak bisa memaksa kehendak kita atas atas perilaku orang lain seperti halnya ilustrasi diatas, bagaimana mungkin ikan dipaksa untuk memanjat pohon. Begitu juga dengan manusia.
Tabek kamo dari Yogyakarta
Dua blah jaro ateuh jeumala
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Mantap that cerita, neu anggap ju lon ponten 💯 tulesan droeneuh, walaupun engkol kosong. Neu maklum manteng akun aneuk seureudeng😂
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahahaha kabereh nyan
Sabah kaleuh neusinggah
Tabek
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit