Bab ini merupakan bab terakhir dari bagian fondasi peradaban Acehnologi, yang mana akan membahas terkait tentang penggunaan bahasa dalam kehidupan masyrakat Aceh.
Bisa kita (orang Aceh) saksikan bersama, bahwasanya bahasa yang menjadi simbol jati diri orang Aceh, yang tidak lain adalah bahasa Aceh itu sendiri keberadaanya semakin hari semakin mengkhawatirkan, selain kerap bukan dijadikan sebagai bahasa pengantar sehari-hari, karya-karya dalam bahasa Aceh pun kini telah sedikit sekali yang ditulis.
Kemudian juga penggunaan bahasa Aceh dianggap tidak begitu penting lagi khususnya di dalam ruang publik oleh masyarakat Aceh sendiri, dengan demikian tidak berlebihan jika kita katakan bahwa orang Aceh malu menggunakan bahasa yang menjadi simbol mereka. Hal ini pula akan mengakibatkan wujud bahasa Aceh lebih menjadi bahasa rakyat ketimbang bahasa resmi protokoler dan juga kekuatan daya tawar bahasa ini akan cenderung tidak memiliki dampak atau pengaruh dalam tatanan berpikir orang Aceh pada era sekarang ini.
Hal inilah yang kemudian menjadi rumusan masalah dalam studi ke-Aceh-an untuk bisa diketemukan solusinya yaitu bagaimana caranya agar penglibatan bahasa Aceh sebagai bahasa utama di Aceh tidak sirna secara perlahan-lahan.
Jika kita melihat sebuah perkampungan di Aceh, maka mereka kerap menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama mereka, bukan bahasa Indonesia. Inipun saya rasa hanya bisa kita temukan pada perkampungan dipedalaman yang jauh dari kota. Untuk yang dekat dengan kota dan juga di perkotaan, maka bahasa Aceh era sekarang sungguh jarang kita mendengarnya. Dari mulai tempat tongkrongan yang mewah sampai dengan warkop yang sederhana, para anak muda kerap menggunakan bahasa indonsesia, bukan bahasa Aceh.
Saya sangat salut dan mengapresiasi sekelompok pengguna steemit yang telah mengadakan Kontes Meupantoen, saya menemukan salah satu akun steemit yang menyelenggarakan kontes ini yaitu @sogata. Hal ini pastinya akan sangat membangun perlahan-lahan budaya Aceh dan juga kecintaan generasi muda Aceh akan bahasanya melalui Meupanton ini [Lihat Selengkpanya: KONTES MEUPANTOEN DALAM BAHASA ACEH #21 | Pengumuman Kontes 20] Semoga kontes ini akan terus terselenggara dengan baik, sehingga upaya dalam menumbuhkan kembali peran dan makna bahasa Aceh dalam generasi muda bisa terwujud kelak.
Dulu pengalaman saya, orang tua saya mengajarkan bahasa Indonesia terlebih dahulu, bukan bahasa Aceh. Hal ini disebabkan ibu saya berasal dari Kota Langsa dan seperti yang kita ketahui bersama karena dekatnya dengan Kota Medan maka sangat asing bahasa Aceh di sana. Itulah mengapa awalnya saya diajarkan berbahasa Indonesia.
Padahal semestinya kita sebagai orang Aceh, maka bahasa yang paling pokok untuk diajarkan kepada anak-anak adalah bahasa Aceh, bukan bahasa Nasional. Hal ini untuk menyadarakan generasi muda akan jati diri mereka sebagai orang Aceh asli. Mereka yang diajarkan berbahasa Aceh awalnya, juga bisa berbahasa Indonsesia. Jadi jangan sampai bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu bagi anak-anak Aceh.
Jika saja saya tidak pindah ke Aceh Besar, maka kemungkinan besar saya akan terus menggunakan bahasa Indonesia di setiap pergaulan saya, dan tidak menutup kemungkinan akan mencari teman yang sesama tipe, maksudnya mencari teman yang tidak lihai berbahasa Aceh.
Sekarang disetiap interaksi sosial, saya cenderung menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama untuk memulai percakapan. Bahkan keluarga saya sendiripun mengatakan bahwa saya sudah terlalu kental (medhok) berbahasa Aceh yang padahal dulunya diajarkan bahasa nasional sebagai bahasa utama. Saya merasa senang-senang saja jika ada yang mengatakan dmikian, itu tandanya saya satu langkah di depan mereka, yang masih sadar akan jati diri sebagai orang Aceh asli.
Namun dibalik itu semua, masih banyak kata-kata (istilah) dalam bahasa Aceh yang masih asing ditelinga saya. Hal ini karena studi tentang ke-Aceh-an khususnya bahasa, tidak saya dapatkan ketika dalam jenjang pendidikan dulu.
Penulis buku Acehnologi juga berharap, dalam dunia pendidikan, studi tentang ke-Aceh-an tidak lagi dijadikan mulok (muatan lokal) dalam setiap jenjang pendidikan baik dari SD hingga SMA, namun bisa dialihkan menjadi muatan utama.
Terkahir penulis mengatakan dalam bukunya, jangan sampai bahasa Aceh menjadi hal yang tidak lagi penting di dalam kehidupan masyarakatnya, karena ketika hal tersebut terjadi maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan Aceh juga ikut sirna, tidak untuk mengatakan bahwa perdaban Aceh akan ikut menghilang, namun ketika peneliti ingin memahami cara pandang suatu masyarakat, untuk itulah bahasa menjadi pusat pemahaman yang mana berisi simbol dan memiliki makna. Dengan kata lain jika ingin mengenali jati diri suatu bangsa, maka hal yang terlebih dahulu harus digali adalah konsep-konsep yang ditawarkan di dalam bahasa yang digunakan suatu bangsa tersebut sehari-hari.