Pada kesempatan kali ini, saya akan kembali melanjutkan review buku acehnologi volume 3 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH, D. Bagian kelima tepatnya pada bab 26 tentang Makna dan Peran Bahasa Aceh.
Bab ini mendiskusikan tentang penggunaan bahasa dalam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sampai saat ini, keberadaan bahasa Aceh, semakin hari semakin mengkhawatirkan. Selain tidak kerap digunakan sebagai bahasa pengantar, juga sudah sangat sedikit sekali karya yang ditulis dalam bahasa Aceh.
Sementara itu, penggunaan bahasa Aceh diruang publik pun tidak menjadi hal yang cukup penting. Bahasa ini tidak lagi digunakan dalam kegiatan formal. Sehingga wujud bahasa Aceh lebih menjadi sebagai bahasa rakyat, ketimbang bahasa resmi protokoler. Karena itu, karena telah menjadi bahasa rakyat, maka kekuatan daya tawar bahasa ini pun tidak memiliki dampak atau pengaruh yang cukup besar dalam tatanan berpikir orang Aceh pada era modern ini.
Hal inilah yang menyebabkan salah satu persoalan dalam membahas studi ke-aceh-an, penglibatan bahasa Aceh sebagai bahasa utama di Aceh telah mulai sirna secara perlahan-lahan. Bahasa Aceh juga dapat dikatakan bukan lagi sebagai bahasa ilmu pengetahuan orang Aceh.
Bahasa Aceh bukanlah bahasa nasional ataupun internasional. Namun Aceh pernah menjadi pusat peradaban yang paling besar di Asia Tenggara, yaitu pada abad ke-17. Walaupun saat itu, bahasa Aceh yang digunakan adalah Melayu-Pasai, namun keberadaan bahasa Aceh telah menciptakan suatu kebudayaan tersendiri bagi masyarakat Aceh.