Sulit baginya menerima laki-laki lain setelah satu laki-laki dicintai dan melukai. Dia belum pernah dilukai oleh laki-laki mana pun di dunia ini, tapi satu-satunya laki-laki yang membuatnya jatuh cinta lagi dan terluka itu telah mengisi hampir semua bagian dalam dirinya sehingga sulit dilupakan. Dia takut ketika dia memutuskan untuk menerima laki-laki lain, luka yang sama akan tercipta. Di sisi lain, dia tak bisa melepaskan untuk tidak memandang laki-laki itu. Mereka akan selalu bertemu.
Sebelum ini, cukuplah baginya menjalani peran sempurna sebagai gadis yang belum ingin tersentuh dengan hal-hal sepele dan menlankolis. Kuliah dan berorganisasi. Sesekali dia masih bisa menampik tawaran ’ingin lebih dekat dengannya’, dari teman-teman kuliah dan teman-teman organisasi. Tapi dia lupa, bukankah dia juga punya hati? Maka ketika seseorang datang dengan membawa sekeranjang harapan dan menawarkan isi keranjang tersebut padanya, dia tak kuasa menolak. Hari-harinya mulai berwarna pelangi sehingga tak ada logika apapun yang bisa mengalahkan logika cinta. Hatinya mewangi bunga. Dia terlalu menikmati warna pelangi dan wangi bunga hingga tak sadar ada hal-hal yang luput diperhatikan kemudian disesalkan. Mengapa tidak dari awal? Mengapa harus berjumpa? Mengapa harus mencinta? Dan oleh sebab itu dia harus terluka.
Di antara duka, dia merunut luka.
Dulu, sebelum laki-laki itu datang, semuanya berlangsung baik-baik saja. Hidupnya mengalir dengan tenang tanpa riak. Berinteraksi dengan banyak orang dan menciptakan hubungan harmonis. Oh, dia bukannya tak punya gejolak dengan berbagai persoalan hidup. Dia sama seperti gadis-gadis pada umumnya, berhadapan dengan berbagai persoalan dengan berbagai orang yang terlibat dengannya. Hanya saja karena dia telah mengumpulkan banyak energi positif dalam memandang setiap persoalan hidup, maka semua hanya dianggap sebagai pelengkap beragam warna dalam hidupnya.
Dia seorang gadis yang supel, ramah, bersahaja dan terbuka kepada siapa saja, termasuk laki-laki. Meski dia selalu menjaga pergaulan dengan lawan jenis, bukan berarti dia menutup diri. Dia tahu mana batas yang harus dilewati dan mana yang tak boleh dilewati. Semua berjalan begitu damai dan dia tetap teguh pada prinsipnya; memberi batas-batas tertentu untuk seorang laki-laki mana pun.
Itulah yang selalu menjadi pegangannya sampai dia merasa suatu saat dia akan melanggarnya, bila tiba waktunya. Dia tak pernah memberi kesempatan pada laki-laki mana pun yang ingin melebihi dari apa yang dia inginkan. Baginya ketika dia sudah merasa siap menerima seseorang, maka lampu hijau akan dinyalakan. Artinya, dia siap menjalani dengan resiko apapun. Dia ingin ketika dia menjalani semuanya, itu adalah dengan laki-laki terakhir dalam hidupnya. Memang bukan yang pertama tapi dia tak ingin ada yang lebih banyak lagi.
Yang dia tahu laki-laki itu adalah orang sedaerahnya. Perkenalan terjadi ketika si laki-laki datang mengunjungi temannya yang juga menjadi teman satu kosnya. Entahlah, apakah saat itu layak disebut perkenalan atau tidak. Saat itu dia baru pulang dari kampus ketika si laki-laki sedang asyik berbincang-bincang dengan teman perempuan satu kosnya. Dia tidak kaget ketika teman perempuan satu kosnya tersebut mengatakan kalau si laki-laki adalah orang kampungya. Di tempat dia tinggal juga banyak orang yang satu kampung dengannya. Hanya begitu saja. Tanpa sempat saling bertanya nama masing-masing seperti layaknya sebuah perkenalan.
Dia pikir hanya sampai di situ. Dia pikir peristiwa itu hanya bagian kecil dari peristiwa-peristiwa serupa yang pernah dialaminya. Berada di suatu kota karena menuntut ilmu dan bertemu dengan orang-orang sedaerah yang juga melakukan hal yang sama, apa istimewanya? Sungguh itu hal yang teramat biasa.
Sampai suatu pagi sebuah nomor tak dikenal memangil-manggilnya. Delapan panggilan. Dia sering sengaja meninggalkan ponselnya ketika sedang mengerjakan sesuatu. Apakah itu karena mengerjakan pekerjaan rumah atau sekadar meninggalkannya di kamar sejenak. Baginya, benda tersebut bukan anggota tubuhnya yang harus selalu dibawa pergi ketika tubuhnya berpindah tempat.
Begitulah pagi itu. Dia agak kaget ketika melihat ada delapan panggilan dari nomor yang sama dengan durasi waktu hanya sekian detik. Pastilah ini panggilan penting, pikirnya. Tak perlu waktu lama untuk mengetahui siapa penelepon asing itu karena semenit kemudian si penelepon tersebut meneleponnya kembali untuk yang kesembilan kalinya. Ternyata, si penelepon adalah laki-laki satu daerah yang beberapa waktu lalu dikenalnya sekilas di teras kos. Ini tidak biasa, pikirnya. Dia tidak punya kepentingan apa-apa terhadap laki-laki itu.
Dia mengangkat telepon.
”Saya pikir kamu tidak mau mengangkat telepon dari saya.”
Hei, bahkan saling mengetahui nama saja tidak, apalagi menyimpan nomor telepon. Lalu obrolan yang dianggapnya biasa, terjadi. Sampai si laki-laki kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Bolehkah saya bertandang ke tempatmu?” Dia ingin ke tempatku? Bukankah dia selalu datang ke sini?
“Yang ingin saya temui kali ini bukan teman saya itu, tapi kamu.”
Saat itu dia sama sekali tidak tahu bahwa jawaban dari pertanyaan di atas sangat menentukan apakah hidupnya akan tetap biasa-biasa saja atau tidak. Dia selalu menganggap seperti yang terjadi selama ini, semuanya akan biasa-biasa saja. Dia pun mengangguk setuju.
Lalu ...
Telepon dari si laki-laki tak cukup datang hanya sekali.
Kedatangan si laki-laki ke kosnya juga tak cukup hanya sekali.
Dia mulai sadar, sejak dia mengenal laki-laki itu, jalan hidupnya tidak sama lagi, dan satu hal yang kemudian disesalinya: dia tak lagi bisa mengubahnya menjadi seperti semula ketika dia belum mengenal laki-laki itu. Dia salah kalau mengira dia akan baik-baik saja. Dia salah kalau menduga dia akan menganggap laki-laki itu sama dengan yang lain. Karena itu justru tak pernah bisa dilakukannya seperti ketika dia memperlakukan setiap laki-laki yang dikenal di waktu-waktu sebelumnya.
Bersambung
Narasi yang membawa imaji bersama narator. Hehe...
Sebenarnya Aini orang yang termasuk betah dengan narasi panjang dan sedikit dialog. Menulis gaya itu sangat sulit, karena harus menggiring pembaca betah dalam narasi yang kita sampaikan.
Kuncinya di diksi atau mengganti POV menjadi 'aku'.
Ditunggu kelanjutannya ya, Kakaaak.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sippooo. Hahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
aku langsung teringat Bang SS dan kos Eky di Rukoh dulu.... hahahah ya amviunnnn
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahahahaaaa
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Aku juga kak ihaaan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kenapa dia nggak menjawab "iya" atau "boleh"? Karena percuma aja kalau mengangguk. Kan penelepon ga bisa melihat dia mengangguk. =)))
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Dia hanya perlu diam saja. hahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bagus kali kaka
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Makasih :D
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Banyak kali uang ke udah ya? :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit