Minggu, 25 Februari 2018, pagi seakan muncul lebih awal, saat Abua Mukhtar [ @toshare ] menyambangi Markas Angsa 23 di Desa Batoh, pinggiran kota Banda Aceh.
Setiba di halaman, dosen videografi Universitas Syiah Kuala itu tak langsung masuk ke dalam markas organisasi AJI Banda Aceh. Dia berhenti sebentar, tak jauh dari pintu masuk, lalu memotretnya.
"Jak kayoh gari ngon Abua (Yuk gowes bersama paman)," tulisnya dalam pesan WhatsApp bersama sebuah gambar hasil potretannya tadi yang dia kirim kepada saya.
Secara bersamaan, di dalam markas, saya baru saja selesai mengerjakan salat subuh di mushalla. Belum sempat berdoa, saya terpacu untuk mengecek hp yang terletak di meja ruang tengah.
Jam di hp pukul 06:53 WIB. Saya membaca pesan yang dikirim Abua, namun tidak membalasnya. Saya bergegas berjalan ke luar. Saat membuka pintu, Abua tersenyum lepas.
"Si Habil lheuh dipakat weng gari, meudibeudouh golom, (si Habil sudah mengajak gowes, namun belum bangun tidur)" kata wartawan SCTV tersebut. Di belakangnya, Bang Reza Fahlevi [ @rezafahlevi ] baru tiba mengendarai sepeda motor. Saya hanya tertawa kecil. Bang Reza memarkirkan motor. Abua mendekat ke teras.
Pasca naik pelaminan, Bang Reza tidak pernah lagi menginap di kantor. Penghuni asli kantor beberapa tahun belakangan itu, telah pindah ke 'markas' barunya di Lamlagang. Jika bukan karena gowes, Bang Reza tidak bakal sepagi itu ke kantor. Paling awal biasanya pukul 09:30 WIB.
Namun, pagi itu, Bang Reza datang lebih cepat. Barangkali lebih cepat dari sinar matahari yang belum muncul. Dia berpacu dengan burung-burung yang terbang mencari makan di pepohonan.
"Bek trep-trep that, nyoe ka agak telat bacut," kata Abua Mukhtar. Bang Reza masuk ke dalam kantor dan menyimpan tas yang disandang di punggungnya. Tidak lama, dia mengeluarkan sepeda yang disimpan di bagian belakang kantor.
Di kantor AJI Banda Aceh terdapat dua unit sepeda. Bang Reza mengambil sepeda warna biru putih. Saya mengambil sepeda satu lagi, perpaduan warna putih dan merah. Sebelum berangkat, kami memompa ban terlebih dulu.
Kedua ban sepeda yang saya ambil kekurangan angin. Saya memompanya cepat. Abua Mukhtar dari tadi terus berdiri. Saya menebak, mungkin dia ingin kami lebih cepat dan segera berangkat gowes.
Abua Mukhtar, Bang Reza, Bang Husaini (Ahad kemarin, dia pulang kampung), merupakan anggota AJI Banda Aceh yang masih rutin gowes saban Ahad. Sesekali, jika suasana bagus, mereka akan gowes pada Sabtu.
Sekitar tahun 2008 - 2016, wartawan di Banda Aceh aktif gowes setiap Ahad. Mereka tergabung dalam Jurnalis Pecinta Sepeda (JPS). Anggotanya lumayan ramai. Belakangan saya tahu, JPS sudah tidak seaktif dulu lagi. Bahkan sejak merantau ke Banda Aceh, saya tidak pernah melihat lagi kekompakan jurnalis saat gowes, selain tiga orang tadi.
Photo dokumentasi Alm. Cek Radzie
Pada tahun 2015, AJI Banda Aceh pernah merayakan World Press Freedom Day #WPFD2015 dengan berkampanye melalui gowes berkeliling Banda Aceh. Di bagian depan sepeda, mereka menggantung kertas berisi pesan-pesan tentang kebebasan pers.
Saya pernah menanyakan ini sama Bang Reza. Namun dia tidak banyak berkomentar. Saya pun tidak terlalu banyak tanya, karena nanti Bang Reza beranggapan saya bakal menulisnya di Steemit. Walau pun memang benar demikian.
Saya selesai memompa kedua ban sepeda. Sepeda merek Polygon yang saya naiki, milik Alm. Cek Radzie (saya khusus memanggilnya Cekyan), Pemimpin Redaksi acehkita.com, hingga menembus nafas terakhirnya di penghujung tahun 2016.
Photo dokumentasi Alm. Cek Radzie
Hari itu, saya juga mengenakan sepatu milik Cek Radzie, atas saran Bang Husaini Ende. Ukurannya pas sekali dengan ukuran kaki saya. Tidak kecil dan tidak besar untuk kaki nomor 42.
Kami bergegas berangkat.
"Satu lagi Bil," kata Bang Husaini mengingatkan saya. "Ini pakek," katanya sambil menyodorkan sebuah topi hitam. Di bagian depan topi tertulis 'CNN Indonesia' berwarna merah.
"Hati-hati kalau melewati Aceh Besar, bisa jadi nanti jadi korban bully kalau dilihat topimu Bil," kata Bang Husaini lagi.
Maksud dia, karena belakangan ini Aceh heboh dengan sebuah wawancara presenter CNN Indonesia dengan Bupati Aceh Besar Mawardi Ali, terkait penerapan syariat Islam bagi pramugari di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar.
Dalam wawancara secara live itu, Bupati Aceh Besar terpaksa harus mematikan hubungan telewicaranya karena merasa seolah diinterogasi dengan pertanyaan yang menjebak oleh presenter. "Adinda susah kali ngertinya," kata Mawardi, kemudian dia langsung menutup teleponnya.
Setelah video tersebut tersebar, warga net ramai-ramai menyerang CNN Indonesia dan sang presenter.
Saya mengenakan topinya. Merasa semuanya sudah siap, kami berangkat. Abua Mukhtar mengayuh di depan. Dia menggunakan sepeda kuning. Bang Reza Fahlevi mencoba mengejar dan mengayuh di samping Abua. Saya mengekor di belakang keduanya.
Dari kantor AJI di Batoh, kami mengarah ke jalan layang Simpang Surabaya. Kemudian mengikuti jalan tersebut hingga ke pusat kota. Di jalan samping kanan Masjid Raya Baiturrahman, selanjutnya kami belok kiri ke arah Blang Padang. Setiba di persimpangan tiga di depan Museum Tsunami, kami belok kanan ke arah Ulee Lheue.
Abua Mukhtar sejak di kantor AJI pun sudah bilang ingin pulang lebih awal. "Kalian nanti lanjutkan saja, saya pulang awal karena harus ke acara kenduri," kata dia.
Rencananya, Abua Mukhtar ingin putar balik di sekitar Blang Padang. Rencana itupun kemudian batal dan memilih mengayuh hingga ke Ulee Lheue, saat melihat jam di tanggan kirinya masih pukul 07:30 WIB.
Abua Mukhtar putar balik di depan kuburan massal korban Tsunami Ulee Lheue. Saya dan Bang Reza melanjutkan gowes berdua ke arah pelabuhan Ulee Lheue. Bang Reza tetap memimpin di depan. Saya mengekor di belakang, tidak jauh. Di jalanan, kami berpapasan dengan pesepeda lain. Hari Ahad, warga kota 'gemilang' memang menyempatkan untuk berolahraga.
Bang Reza mengaku sangat jarang gowes di jalanan kota. Dia dan JPS lebih menyukai lintasan trip di jalan pedesaan. Misal, Mata Ie, Indrapuri, Blang Bintang, dan tempat lainnya. Alasannya, kata wartawan Analisa itu, jalanan pedesaan lebih sepi dan sangat bagus udaranya.
"Kita juga tidak perlu waspada dengan kendaraan bermesin saat gowes. Tidak perlu menghindar," kata pria asal Bambi, Pidie yang telah merantau ke Banda Aceh sejak tahun 2005.
Namun hari itu, dia memilih berkeliling Kutaraja di jalan aspal. Saya boleh berkesimpulan, karena memang hari itu kami hanya berdua. Menurut saya, kurang seru jika berdua melakukan gowes di jalanan pedesaan yang jauh. Namun, Bang Reza tidak bilang demikian. Saya pun tidak menanyakannya.
Setiba di gerbang Ulee Lheue, saya merogoh saku celana kiri depan untuk mengambil hp. "Abua Mukhtar na ka foto beunoe?" tanya Bang Reza melihat saya mengeluarkan hp.
"Omah, hana bang. Hana tingat meusuet hp pih beunoe," balas saya merasa bersalah. "Nyan ka hana meuri gowes dengan Abua," timpalnya lagi.
Saya memang telat sadar. Seharusnya saya mengambil foto Abua Mukhtar yang tengah gowes tadi. Jika tidak ada foto, kata Bang Reza, kurang lengkap dan tidak ada bukti pernah gowes bersama Abua. Saya teledor. Bang Mukhtar pun pulang lebih awal. Harus menunggu Ahad depan agar bisa kembali memotret Abua gowes.
Media acehkini, pada awal tahun 2012 pernah menulis tentang geliat warga bersepeda di Kota Banda Aceh. Gerakan bersepeda di Banda Aceh, tulis Acehkini, memang sedang digandrungi. Malahan saat itu muncul komunitas-komunitas sepeda, seperti komunitas sepeda tua, ontel.
Ada pula komunitas bersepeda lain yang merupakan gabungan orang-orang berusia muda dan produktif. Misalnya, Aceh Bicycle Community (ABC), Pedal (Pencinta Sepeda dan Lintas Alam) dan GJPS (Gank Jurnalis Pencinta Sepeda).
Seorang anggota GJPS, Chaideer Mahyuddin, saat itu mengaku kegandrungan bersepeda diawali karena hobi. “Tapi, kemudian manfaat yang dirasakan banyak. Selain kesehatan, juga ikut berpartisipasi menjaga lingkungan,” ujarnya dikutip dari acehkini. Dia membantah kegandrungannya bersepeda mengikuti trend gaya hidup.
Seiring geliatnya bersepeda di kota yang menerapkan syariat Islam itu, pada tahun 2012, pemerintah kota membuat jalur khusus bersepeda di sekitar jalan Teungku Imuem Lueng Bata, dan disusul beberapa jalur di jalan protokol lain. Langkah itu sebagai cara mewujudkan kota Banda Aceh sebagai kota hijau (green city).
“Untuk mempercepat terwujudnya Kota Banda Aceh sebagai kota hijau, tentu tidak sekedar terfokus pada penanaman pohon. Tapi, hal lain yang perlu diprioritaskan yakni sisi pengurangan polusi udara dari transportasi serta pengelolaan limbah yang ramah lingkungan,” kata Wali Kota Banda Aceh saat itu, Mawardy Nurdin, Selasa, 27 November 2012, dikutip dari bandaacehkotamadani.wordpress.com.
Pengguna sepeda menyambut baik pembuatan jalur khusus sepeda selebar tiga meter di pinggir setiap jalan protokol. Rencananya, jalur sepeda akan rampung dikerjakan pada tahun 2015.
Namun, belakangan, Mawardy tidak sempat meresmikan dan melihat penggunaan jalur sepeda itu. Dia duluan 'pergi' untuk selama-lamanya pada 8 Februari 2014 diusia 59 tahun.
Dari Ulee Lheue, saya dan Bang Reza melanjutkan perjalanan gowes menuju Gampong Jawa. Di jalan tepi laut itu, kami agak terganggu dengan bau sampah yang terbawa angin dari tempat pembuangan sampah (TPA). Sehingga, kami mengayuh pedal sepeda lebih cepat. Semakin dekat bau bertambah menyengat.
"Minyo na Abua Mukhtar, pasti ka muntah ganyan," komentar Bang Reza kepada saya sambil terus mengayuh sepeda. Angin laut berhembus sedikit kencang.
Di laut, sebelah kiri kami, perahu nelayan tampak berjalan pelan. Kapal pengangkut barang ke Sabang, Pulau Weh, baru saja berangkat. Kami melihatnya nyaris tak melaju di tengah deburan ombak.
Kami terus mengayuh pedal. Dari Gampong Jawa, kami keluar menuju kota melalui gapura masuk Gampong Keudah. Selanjutnya kami ke depan Bank Indonesia Perwakilan Aceh, depan Mapolresta Banda Aceh, dan belok kiri di jalan kiri depan Masjid Raya Baiturrahman.
Jalur kami selanjutnya melintasi jembatan Pante perak dan bertemu bundaran Simpang Lima. Di sana, kami berbelok ke arah jalan Teungku Daud Beureueh. Kebetulan, saban Ahad, pemerintah kota Banda Aceh menggelar car free day di sepanjang jalan itu, dari Simpang Lima - Simpang Jambo Tape.
Warga yang berolahraga di sana cukup ramai. Saya agak kewalahan mengayuh sepeda. Bahkan saya harus berhenti beberapa kali, karena ada anak kecil yang bermain sepatu roda. Di jalur sebelah kiri, ada pertunjukan marching band. Suasana di sana sangat ria, gemuruh, dan seru.
Meski begitu, kami tidak berhenti di sana. Bang Reza di depan terus memacu laju sepedanya. Saya tetap mengekor di belakang. Setiba di Simpang Jambo Tape, kami belok kanan ke arah Simpang Surabaya. Jam pukul 09:00 WIB. Jalanan ibukota Aceh itu mulai ramai, meskipun hari libur. Namun tidak macet.
Setiba di depan Matahari Mall, saya menanya ke Bang Reza, "pat tajep kupi bang?". Saya menanya di sana karena hampir dekat dengan warung kopi Cut Zen atau Kubra.
Biasanya, kalau pagi Bang Reza ngopi di sana. Saya pernah dua kali ngopi di warung dekat underpass Beurawe itu. Perdana diajak Bang Reza dan Abua Mukhtar, satu lagi diajak Bang Husaini.
"Kubra ka rame inoehat, bak Budi manteung," balas Bang Reza. Malajulah terus sepeda kami melintasi jembatan Beurawe menuju Simpang Surabaya. Matahari mulai menyengat panas. Asap kendaraan bermesin mulai terasa di hidung dan mata.
Kami akhirnya memilih istirahat dan ngopi di warung kopi Budi, tidak jauh dari Dhapu Kupi. Kami sandarkan sepeda di sebuah dinding. Kami masuk ke dalam warung kopi. Suasana sudah mulai ramai. Kebanyakan pengunjung, amatan saya, baru selesai olahraga. Karena saya melihat mereka mengenakan pakaian training.
Sebelum duduk, saya terlebih dulu mencopot dan meletakkan topi 'CNN Indonesia' di meja. "Lagee biasa," kata Bang Reza kepada pelayan warung kopi.
"Sanger bang," saya memesan. Saya tidak bisa bilang biasa, karena biasanya saya minum kopi hitam di sana. Pagi itu, saya memang ingin menikmati sanger dan menikmati rasa lelah kayuh pedal sepeda.
"Kenapa Jurnalis Pencinta Sepeda, tidak aktif lagi?" besit saya dalam hati.
Dahsyat. Good feature
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih abua. Mohon arahan dan bimbingan selanjutnya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Wonderful
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
sep bereh kira aju, peulom na abua @toshare
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
He he
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Vote za. Bek komen mantong
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hehehe. Bila peurle share lom.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Lagee na ju nyeu na abua @toshare. Sep bereh. Hehehe.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit