Sebuah Keadilan Versi @rismanrachman

in indonesia •  7 years ago  (edited)

“Hayat (panggilan untukku) orang pertama yang menuliskan personal branding sebagai anggota Komunitas Steemit Indonesia (KSI) di koran,” celetuk @rismanrachman begitu saya tiba.

morden.jpeg
@aiqabrago yang duduk paling kiri

Di meja itu sudah duduk beberapa steemian ulung, salah satunya Kurator Indonesia, @iqabrago. Ia duduk sambil menyandarkan tubuh kekarnya di dinding berlukisan Masjid Raya Baiturrahman di warung kopi Moorden Beurawe.

Di sebelah kanan @aiqabrago, duduk serius @orcheva sambil bermain game, kemudian Ketua KSI Banda Aceh @kemal13, di sebelah Kemal ada @rahmanovic, @ihansunrise, dan Ambassador Steemit @rismanrachman.

Aku tak bertanya mengapa malam itu @aiqabrago ada di Banda Aceh. Dari foto sebelumnya yang dishare ke grup KSI, mereka sedang duduk di Bin Ahmad Coffee, tiba-tiba mereka sudah di warung kopi lainnya.

“Dari tadi siang saya sudah tiba di Banda Aceh, sejak saya tiba terus berpindah dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya,” kata Alkausar, pemiliki akun @aiqabrago menjawab pertanyaanku kapan dia tiba di Kota Banda Aceh.

Saya tak minum kopi, saya pesan coklat dingin. Selama duduk di sana, tidak ada hal yang serius kami bicarakan. @rismanrachman mengapresiasi saya bahwa orang yang pertama menuliskan KSI di koran. @kemal tampak tersenyum, sepertinya dia senang.

Aku bilang kepada @rismanrachman bahwa aku mengutip beberapa kalimatnya dalam tulisanku yang dimuat di koran itu. Kalimat itu, “Di Steemit, pengguna tidak dijanjikan reward ilusi seperti di media sosial lainnya, tetapi reward nyata”.
Kalimat itu ia ucapkan saat berorasi pada pekukuhan KSI Chapter Pidie bebera waktu lalu.

“Tapi kamu tak menulis namaku kan?”tanyanya. Aku lupa. Dia tak persoalkan.

Sabtu, 07 April 2018, tulisanku nongol yang ke sekian kali di media massa Harian Serambi Indonesia di rubrik opini. Tema yang kuangkat “Menanti Aksi Nyata ‘Bunda Baca’ Aceh”. tulisan ini aku tulis menanggapi pengukuhan Istri Gubernur Aceh Darwati A Gani sebagai ‘Bunda Baca’.

Bagiku itu sangat positif mengingat minat baca dan menulis masyarakat Aceh sangat rendah. Sehingga saya mengajak Bu Darwati untuk bertindak nyata tidak hanya simbolis semata. Menariknya lagi, Pendiri Forum Aceh Menulis (FAMe) @yarmen-dinamika akan mengundang Darwati untuk mengisi materi di FAMe.

Obrolan kami terus mengalir sambil menikmati minuman kesukaan masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul 22.15 Wib. Tiba-tiba @aiqabrago pamit. Ia ingin kembali ke Pidie. 30 menit kemudian @rahmanovic dan @ihansunrise juga mau pamit. Ketika hendak mau bayar, ternyata minuman kami sudah dibayar oleh @aiqabrago semuanya.

“Wah, kapan lagi kita ditraktir kurator seperti ini, karena sudah dibayar, gak jadi pulang dulu, mau duduk beberapa menit lagi,” celEtuk @rahmanovic.

Setelah beberapa menit kemudian, satu persatu mereka pulang. Pertama @kemal13, menyusul @orcheva, kemudian @ihansunrise dan @rahmanovic. Tinggallah kami berdua dengan @rismanrachman.

“Aku pulang dengan Hayat saja,” kata Risman. “biar dia tahu di mana rumahku.” ujarnya.

Saat tinggal kami berdua di meja itu, kami mengamati empat anak gadis sedang berfoto ria. Mereka tak hiraukan keadaan sekeliling mereka. Saya memancing, “Lihat itu, Bang!” kataku mengode dengan mata.

“Inilah yang dimaksud perubahan sosial dari humanisme ke dataisme,” jawabnya.

“Maksud?” tanyaku penasaran.

“Jika orang-orang dulu ketika berfoto, mereka membawa pulang ke rumah dan menempelkannya di dinding rumah,” jawabnya.

morden.jpg

Aku semakin binggung dengan jawaban yang ia sampaikan. “Apa bedanya dinding rumah dengan dinding media sosial yang sama-sama bisa dilihat orang?” tanyaku lagi. Ia hanya tersenyum tak menjawab lagi pertanyaanku.

Kami duduk sampai pukul 23.45 WIB. Risman bercerita bagaimana dia membangun personal branding. Setiap orang harus ada sesuatu yang berbeda dengan orang lain. Disaat generasi tua enggan bergaul dengan anak muda, ia hadir mengubah paradigma tersebut.

Menurutnya siklus manusia sebagai makhluk sosial itu saling mendukung. Keadilan bagi manusia itu ketika yang kuat membantu yang lemah, yang tinggi menolong yang rendah, dan yang kaya peduli kepada yang miskin.

“Ketika seorang misalnya yang besar Steem Power memvote orang yang besar Steem Power juga agar divote dirinya, itu bukan keadilan. Tetapi mereka membantu yang masih kecil, itulah sebuah keadilan yang sesunggnya bagi manusia.”tutupnya sembari kami sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun saya harus mengantarnya terlebih dulu ke Ulee Kareng.

Pertanyaanku tentang humanisme ke dataisme baru terjawab melalui sebuah tulisan yang diposting @rismanrachman keesokan hari, berjudul Dari Humanisme ke Dataisme, Berubah atau Bertahan.[]

Thanks for visiting my blog

new hayat.jpe

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Syukur juga dinding rumah tak berserakan dengan foto-foto selfie hahahaha

haha ia bang, andai wall rumah macam dinding fb, meubalah-balah komen hinan,,, :D

👍☺

hehe

mantap sekali abang penulis koran ini

saya tak pernah menulis koran, tapi di koran,,, ehehe

Tempel photo si dia dengan gaya jaman, dipandangi setiap waktu dan sangat privasif.. Kalo sekarang tempel di wall, dipandang semua orang..

Hahaha itulah beda dulu dg skrg..