Sampai saat ini belum terdapat mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah maupun perguruan tunggi Aceh yang berusaha untuk memahami karya-karya orang sendiri. Studi terhadap naskah ataupun manuskrip tidak pernah menjadi bahan dari kurikulum di lembaga pendidikan,bahkan karya-karya mereka belum dimasukkan kedalam bacaan wajib, dimana semua pendidikan di Aceh, akan tetapi,jika studi ilmu sosial dan humaniora, karya-karya penulis Aceh kerap dujadikan rujukan diskusi, terutama mereka yang menempuh studi dunia melayu, studi Asia, sejarah Asia tenggara,sastra politik.
Aceh merupakan lambung intelektual di nusantara, paling tidak jika dilihat dari perspektif perbukuan, Aceh telah memberikan suatu kontribusi yang amat penting, walaupun buku-buku tersebut lebih banyak ditulis dalam bahasa melayu. Karya-karya dari Aceh selalu menjadi rujukan atau acuan utama bagi kompas keagamaan umat islam di nusantara, apa saja faktor-faktor menulis buku di Aceh. Pertama, para ulama menulis buku karena ingin mengisi kekosongan literatur keislaman, dahulu kala tidak ada google bagi seorang murid untuk belajar ilmu-ilmu keislaman, sehingga para guru berusaha menulis, baik itu menyalin maupun mensyarahkan kitab untuk memberikan pencerahan bagi sang penuntut ilmu mendapat penyuluhan dalam kegelapan. Hal ini disebabkan intelektual tanpa buku ibarat sungai tanpa air, karena air merupakan sumber kehidupan,maka begitu penting buku/kitab.
Para ulama menulis buku karena ada permintaan dari penguasa. Hal ini desebabkan para pemimpin ingin menjadikan kitab ulama tersebut sebagai pegangan dalam roda pemerintahannya.sehingga ulama tersebut mau tidak mau harus menulis kitab. Karena itu, posisi mereka sangat dekat dengan poros kekuasaan yang menyebabkan ada suatu pandangan bahwa begitu mulia ulama dalam kerajaan Aceh respon itu terhadap keadaan terkini. Para penulis buku ini merupakan sekelompok intelektual yang amat gelisah sehingga untuk menulis adalam menjawab sekian masalah yang dihadapi umat.
Adapun salah satu yang mulai dikesampingkan didalam tradisi kepenulisan mengenai Aceh adalah bukti-bukti kekuatan diplomasi orang Aceh. Jika dikaitkan dengan kerajaan dan peperangan, diplomasi adalah warna lain dari penulis yang manggambarkan kemampuan orang Aceh didalam melakukan hubungan diplomatik baik di kawasan semenanjung tanah melayu,maupun denga beberapa Negara lainnya.