Ilmu dalam merasakan sesuatu adalah ilmu untuk memberikan keputusan pada diri dan akal seseorang. Mereka yang bertungkus lumus menggali rasa dari berbagai sumber rasa, akan mengakibatkan seseorang sampai pada puncak rasa ilmu (taste of science). Ianya bisa muncul dari berbagai sumber, seperti yang dipelajari oleh para sarjana dewasa ini. Kalau sudah begitu, maka rasa akan memberikan dampak yang cukup luar biasa pada diri. Misalnya, seseorang yang amat tinggi ilmu, dia akan peka terhadap apapun disekitar dia dan kadang kala akan memberikan satu jawaban terhadap misteri yang sedang dikajinya. Akibatnya mereka yang tidak memiliki rasa ilmu yang sama, bisa jadi akan menganggap bahwa ilmuwan tersebut hebat atau sama sekali tidak hebat. Rasa ilmu kemudian menjelma dalam bentuk penyerapan informasi dan data yang dicernai oleh panca indera. Lalu diri dan akal menafsirkan ke dalam jiwa atau batin, jika seseorang tersebut sudah sampai pada ilmu rasa melalui kebatinan. Namun jika seseorang baru sampai pada ilmu yang hanya dicerna melalui akal, maka dia pun tidak akan bisa lari dari kemampuan untuk melihat berbagai rasa ilmu, yang kemudian membuat dia menjadi seseorang yang amat bijakasana.
Ilmu rasa atau rasa ilmu memang berbeda satu sama lain. Ilmu rasa diciptakan dari apapun yang didapatkan oleh manusia, sedangkan rasa ilmu hanya bisa dikecapi bagi mereka yang benar-benar mengabdikan diri mereka pada ilmu pengetahuan. Jika yang pertama bisa didapatkan melalui berbagai daya kelola dan memahami fenomena, maka yang kedua merupakan akibat atau pengaruh dari upaya yang pertama. Keduanya kemudian menyatu dalam mencari sebuah kebenaran mengenai rasa itu yang sesungguhnya. Bagi mereka yang sudah mengecapi rasa ilmu, baru bisa mengatakan bahwa ilmu itu sangat berguna dalam hidupnya. Ilmu kemudian bisa menjadi penerang bagi dia dalam kegelapan, sedangkan mereka yang tidak bisa mengecapi rasa ilmu, paling tidak, akan mempertahankan argumen bahwa ilmu itu tidak ada manfaatnya bagi dirinya dan juga orang lain. Dia menganggap ilmu itu tidak hidup atau menghidupinya. Akibatnya, padangannya terhadap ilmu menjadi seperti orang buta, dimana dia mampu mendengar dan merasakan, tetapi tidak mampu melihat bentuk barang atau benda melalui mata. Kebutaan akan ilmu menyebabkan seseorang buta akan kehidupan yang sedang dijalaninya. Ilmu tidak berfungsi dan tidak memberikan dampak apapun pada dirinya.
Efek setelah rasa adalah keutamaan dalam memahami bagaimana internalisasi ilmu dan proses berilmu yang amat pelik. Bagi para sarjana mereka tentu saja bisa menjelaskan sumber ilmu dan bagaimana mendapatkan ilmu tersebut. Namun menjelaskan secara detail bagaimana ilmu itu bisa muncul dan berkiprah dalam diri manusia, dimana alur nadi dan darah yang membawa percikan ilmu adalah sangat pelik. Misalnya, orang hanya mampu melihat gerak atau pengaruh dari hasil pencermatan luaran terhadap tubuh seseorang, namun dia tentu saja tidak bisa menjelaskan darah mana yang membawa ilmu ke dalam akal dan batin. Karena itu, dalam mencari ilmu, darah dan udara dalam tubuh seseorang amat penting dalam membawa ilmu kedalam diri seseorang. Dapat diandaikan misalnya, seseorang yang melihat sesuatu benda, dia langsung memberikan definisi atau nama terhadap benda tersebut. Pertanyaannya adalah energi atau darah atau sinyal yang mana yang memberikan informasi. Tepatnya dapatkah kita menjelaskan sel-sel ilmu dalam tubuh manusia, ketika mereka hendak mencari dan menggali ilmu.
Lalu dapatkah seseorang merangkai berapa seperkian detik informasi atau analisa di dalam tubuh manusia, terutama jika dia memiliki ilmu yang amat kuat dan tinggi. Misalnya, seorang yang ahli atau pandai melihat melalui ilmu ladunni, dia akan banyak bermain pada kesimpulan sahaja. Tidak mau menjelaskan mukaddimah atau penutup. Dia hanya menjelaskan bagaimana sesuatu itu dalam bahasa yang pendek, dan kadang tidak dimengerti oleh ilmuwan atau sesiapa yang belum pada sampai pada derajat ilmunya. Misalnya, kalau kita dilihat oleh seseorang yang dalam mata batin keilmuannya yang amat luas, dia mengatakan sesuatu, lalu kita terkejut dan tidak bisa menjelaskan atau menjawab, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologi. Karena orang tersebut sudah sampai pada tahap kesimpulan. Ketahuan dia menundukkan rasa keilmuan yang ada pada diri kita.
Terkadang kita perlu bertahun-tahun untuk mencerna kehidupan atau kesimpulkan dari seorang ilmuwan yang amat tinggi ilmunya. Jadi, kalau sudah sampai bicara pada kesimpulan, maka dalam tubuh dia atau kita, dimana ilmu itu bersemayam dan menyimpan sejumlah informasi yang berisi hanya kesimpulan saja. Ilmu yang hanya berisi kesimpulan ini kemudian menjadi sejumlah tanda tanya atau menjadi bahan tafsiran bagi siapapun yang mendengar kesimpulan tersebut. Dalam konteks ini, siapapun bisa hanyut dengan kesimpulan atau sama sekali mengabaikan kesimpulan tersebut. Kalau sudah begini, maka yang perlu dijelaskan adalah bagaimana efek atau pengaruh ilmu itu dalam diri manusia, sehingga input yang amat luas pada dirinya, mampu disingkat dalam beberapa penggal kata atau kalimat, yang terkadang sulit untuk dibantah. Inilah kemudian yang menyebabkan semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tinggi pula tingkat daya batinnya dalam memahami fenomena. Uniknya, mereka yang memahami seperti ini sama sekali tidak memerlukan sebuah arahan yang bersifat positivistik.
Lebih dari itu, konsep ilmu yang terbenam dalam diri manusia dapat dilihat dari segi kemampuan dia menjelaskan setiap input yang masuk. Ilmu yang masuk ke dalam diri seseorang dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama, ilmu yang masuk didasarkan pada ketiadaan daya pikir seseorang akan hakikat dirinya. Ketiadaan daya pikir adalah kemampuan untuk tidak berpikir tentang apa-apa lagi. Dia hanya memikirkan bagaimana tidak berpikir dan membiarkan hakikat kediriannya menguasai seluruh jiwa dan raganya. Ilmu yang masuk pada tahap ini ilmu-ilmu batini dan tidak mampu didapatkan kecuali melalui petunjuk Pemilik Ilmu.
Kedua, ilmu yang masuk karena memiliki hubungan batin antara individu. Pencerapan ilmu dalam kategori ini adalah karena seseorang mampu memberikan atau membagikan ilmunya melalui proses kebatinan, sehingga nur ilmu masuk ke jiwa dan tubuh orang lain, tanpa disadari oleh sang target. Ilmu seperti ini dapat dilihat dari proses masuk seperti gumpalan atau satu cahaya yang masuk pada diri seseorang karena memiliki hubungan batin yang kurang lebih sama.
Ketiga, ilmu yang masuk karena memakai kerangka yang sama, sehingga seseorang tidak dapat menjelaskan kecuali dia harus mematuhi apa yang menjadi syarat ketika dia mendapatkan ilmu tersebut. Ilmu yang bersyarat merupakan ilmu yang belum tuntas, sehingga ketuntasan ilmu itu perlu dengan syarat-syarat. Ilmu model ini bisa berarti tidak pernah tuntas, kecuali seseorang tersebut mau mencarinya secara terus menerus, hingga dia mampu menuntaskan menuju pada tahap input ilmu yang pertama di atas.
Keempat, ilmu yang diterima karena dituntut dan dikejar, sehingga objek-objek ilmu mendekat pada dirinya dan memberikan impak yang amat berguna. Ini input ilmu yang paling rendah, sehingga orang yang tidak pernah melakukan proses ta’allum, maka boleh jadi, jangan pernah bermimpi akan mendapatkan ilmu. Kecuali orang-orang yang masuk dalam kategori nomor dua di atas, dimana dia mendapatkan ilmu karena memiliki batin yang mampu mencerap ilmu dari orang lain.
Dalam sekali, namun terasa sangat mencerahkan. Tekadang butuh waktu, pengetahuan dan pemikiran lebih untuk memahami setiap kata dan kalimat dalam tulisan prof @kba13. Yaa... Sebagai salah satu akibat dari rendahnya ilmu. Perlu belajar lebih banyak lagi untuk tuntas memahaminya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terimakasih atas komentarnya Bang. Tulisan ini diperuntukkan bagi mereka yg sedang menuntut ilmu, supaya ttp konsisten dalam rimba ilmu.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kucing siapa itu gerangan?
Sepertinya teungoh luem eungkot di yup sange. 😂
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kucing yg sedang mencari pencerahan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Trok keudroe, Hana lon undang. Khe khe khe..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Tamu yang tidak diundang.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit