Seri Tokoh #12: Irwan Abdullah (Antropolog UGM, Kelahiran Aceh)

in indonesia •  7 years ago  (edited)

image

Dalam #seritokoh kali ini, saya tertarik menulis pengalaman saya bersama Prof. Irwan Abdullah (IA). Saya mengenali IA sejak saya tinggal di Yogyakarta. Namanya sangat sering disebutkan oleh para mahasiswa Aceh di Kota Gudeg. Dalam satu waktu, saya kemudian berjumpa dengan IA. Saat itu, saya tidak akan pernah menyangka, kalau IA akan begitu berpengaruh di dalam perjalanan akademik saya. Sebab, saya di UIN Sunan Kalijaga, IA di UGM (Universitas Gadjah Mada).

Namun, IA selalu mengajak saya ke kantornya di Pusat Studi Kependudukan UGM, hingga dia akhirnya menjadi orang nomor wahid pada program CRCS. Ketika saya diajak ke kantor IA, saya hanya dibiarkan duduk di atas kursinya, tanpa diberikan tugas atau arahan. Saya hanya berselancar di dunia maya. Mencari bahan untuk kepentingan saya, terutama ketika saya menulis buku di Yogyakarta. Namun, setiap sore, IA selalu mengecek apa yang saya lakukan. Dia kemudian mengarahkan saya untuk menulis secara antropologis.

Sebagai penstudi di Fakultas Syariah, menulis secara antropologis, memang bukan bidang keahlian saya. Saya melihat IA selalu dekat dengan mahasiswanya. Beberapa yang dia pandang, selalu diberi ruang kesempatan untuk berinteraksi, tidak hanya di kampus, melainkan juga di kediamannya. Saya memang punya hijab, karena saya tidak bisa duduk mendengar kuliah IA di dalam kelas pasca atau S-1. Karena itu, ketika melihat murid-murid IA sangat dengkatnya, saya merasa minder. Karena tidak punya bahan untuk diomongkan.

image

Dalam berkomunikasi, kami menggunakan SMS. Saya selalu mengirimkan SMS. Terkadang jarang dibalas. Saya maklum, karena melihat kesibukan IA yang amat luar biasa. Saya pernah lihat di dalam mobilnya, berbagai kertas, makalah, tas-tas yang tertata rapi. Kesimpulan saya, IA adalah dosen yang paling sibuk yang pernah saya jumpai. Hanya saja, kalau pulang dari berseminar atau memberikan kuliah di berbagai tempat di Nusantara, IA selalu membawa pulang oleh-oleh cerita. Cerita-cerita tersebut saya simak. Dalam bercerita, IA selalu memberikan nuansa humor, hingga kami terpingkal-pingkal di kantor CRCS. Kebetulan saya akrab dengan beberapa staf IA. Jadi, sore hari, biasanya IA akan bertemu dengan stafnya, lalu bercerita. Setelah itu, saya naik bus balik ke kos saya di Sapen.

Dengan saya, biasanya IA berbicara sangat sedikit. Kebetulan anak IA juga sangat akrab dengan saya. Panggilan hampir sama, antara Kamal dan Akmal. Saya pun beberapa kali diajak ke rumah IA. Saya melihat IA benar-benar memberikan ruang yang amat lebar antara sebagai dosen dan guru. Sebagai guru, dia mendidik mahasiswanya di luar kelas. Mereka diberikan tugas, lalu dikupas bersama. Beberapa mahasiswanya yang top, diajak penelitian, bahkan tidak sedikit yang dikirim ke luar negeri. Pekerjaan IA ini kemudian saya namai sebagai proses kaderisasi. Sehingga, sekarang murid-muridnya tersebar di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga ke Papua. Dari guru hingga mereka yang memiliki bintang di atas pundaknya.

image

Saya memang tidak pernah diajak penelitian bersama. Kemudian saya juga tidak mendapatkan rekomendasi dari IA. Saya hanya dilibatkan di dalam beberapa kegiatan akademik, seperti menjadi panitia. IA mengajari saya bagaimana mengorganisir suatu acara seminar. IA selalu berbicara dengan saya dengan setengah berbisik. Sedangkan dengan mahasiswanya, IA selalu berbicara lepas. Karena itu, saya menganggap IA tidak mempersamakan saya dengan murid-muridnya.

Namun, uniknya, kemana pun saya tinggal, IA selalu datang berkunjung. Inilah yang belum pernah saya dapatkan dari guru-guru lain. Ketika saya menjadi staf pengajar di Walailak University, IA datang berkunjung dan bahkan mengirimkan mahasiswa untuk belajar pada masyarakat di Thailand Selatan. Kunjungan mahasiswa CRCS ini pun semakin memperkuat hubungan saya dengan murid-murid IA. Bahkan, murid kesayangannya di utus secara khusus untuk bersilaturrahmi dengan saya.

Tidak hanya, IA menerima kedatangan saya bersama orang tua ke kediamannya. Dia membuat kami seperti saudara dekat. Keluarga kami diterima. Orang tua saya dari kampung pun kagum dengan sosok IA. Uniknya, ketika saya sedang melakukan penelitian etnografi di Banda Aceh, IA juga berkunjung ke kediaman kami di kaki gunung Seulawah. Kedatangan IA ke tempat tinggal saya yang sangat sederhana memberikan spirit yang berarti. Tidak hanya itu, kami juga sempat menjamu IA beserta rombongannya di kampung halaman saya di Aceh Utara. Di sinilah muncul keakraban bersama keluarga kami dengan IA.
Demikian pula, ketika saya menulis disertasi, IA datang ke Banda Aceh dan melihat secara langsung bagaimana situasi saya menulis disertasi. Dia terus berbisik, bahwa ini adalah proses yang sudah benar. Memang benar, karena saya menyelesaikan disertasi saya dalam kurun waktu 3 tahun, minus satu bulan, dari jadwal studi saya. Saya memperlihatkan bacaan dan hasil tulisan saya. IA mengatakan bahwa saya sudah dibimbing oleh orang yang tepat.

image

Setelah selesai disertasi, IA kerap mengunjungi kami di Banda Aceh. Terkadang saya hanya boleh bersalaman, karena dia sudah ditunggu oleh orang-orang yang mengundangnya. Terkadang hanya bertemu di warung kopi, saat dia reuni dengan kawan-kawan seangkatannya. Namun, dalam satu waktu IA meminta memboncengnya untuk berangkat ke bandara. Dia naik sepeda motor bersama saya. Sambil mengatakan bahwa kalau dia mau, banyak yang mau mengantarnya ke bandara dengan mobil. Akan tetapi, dia minta saya yang antar pakai sepeda motor ke bandara.

Di dalam perjalanan tersebut, IA memberikan pesan kepada saya, kalau bisa KBA melakukan orkestra akademik di Darussalam, Banda Aceh. Sampai sekarang saya tidak paham apa itu orkestra akademik yang dimaksudkan oleh IA. Bagi saya, orkestra itu dimana banyak orang memainkan alat musik dan memunculkan satu suara musik yang enak didengar. Di situ ada seseorang yang berdiri depan menggerak-gerakkan tangan, supaya irama musik bisa sesuai dengan nada yang diinginkan oleh satu lagu. Saya berpikir, mungkin orkestra akademik yang dimaksudkan oleh IA adalah tradisi intelektual di Darussalam harus dibangkitkan kembali, sesuai dengan disiplin masyarakat ilmu di Kota Pelajar ini.
Saya tidak pasti, bahwa perjumpaan saya dengan IA belasan tahun lalu telah membuka sedikit demi sedikit pintu akademik yang saya jalani. Sejak pertama kali bertemu, IA memanggil saya sebagai Adoe (adik). Dia juga meminta memanggilnya sebagai ‘Abang.’ Inilah kata kunci yang saya pegang sejak saya berjumpa dengan IA hingga sekarang. Kalau ada apa-apa, dia akan menghubungi saya dengan kalimat: “Adoe, lon ...(Adik, saya ...). Demikian pula, kalau ada apa-apa saya memanggil dia dengan sebutan ‘Abang.’

Tahun 2016 ketika menjadi peneliti tamu di UIN Sunan Kalijaga, saya sempat bersilaturrahmi ke kediaman IA. Saat itu, saya memperlihatkan proyek penelitian saya tentang Islam Nusantara. Saat itu, saya hanya minta untuk diberikan komentar pada buku saya, tetap IA mengatakan bahwa dia bersedia menuliskan Kata Pengantar. Bagi saya, mendapatkan Kata Pengantar dari seorang Dewan Riset Nasional, Konsultan di beberapa kementerian di Jakarta, sekaligus promotor bagi mahasiswa S-3, tentu adalah berkah. Karena di tengah-tengah kesibukannya, dia masih sempat memberikan Kata Pengantar untuk buku Islam Nusantara.

Demikianlah sepenggal kisah saya bersama dengan IA. Salah seorang putera Aceh yang sudah menjadi Guru Besar Antropolgi di UGM. Tentu kisah di atas belum sempurna, mengingat IA sendiri adalah salah satu guru bagi murid-muridnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Jaringan IA di level internasional juga tidak diragukan. Pengaruhnya dalam dunia penelitian di Indonesia juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
K. Bustamam-Ahmad

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Perjalanan pertemanan KBA-Prof Irwan Abdullah (IA) yang sangat menginspirasi. IA, sosok prof yang sederhana. Pernah suatu ketika duduk lesehan bersama beliau di Yogyakarta. Kala itu menjengan suksesi gubernur Aceh.

IMG_20180502_080450.jpg

Beliau banyak cerita tentang keadaan negeri asalnya. Pengelolaan sumber daya alamnya, manusianya, kepemimpinannya, dan banyak sisi lainnya yang beliau kupas dalan lesehan tidak lama itu.

Baru sebentar saja bersama beliau, terasa sudah dapat pengetahuan kuliah satu semester. Trimakasih keu bandua prof.