Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi a.s. menjelaskan:
Jika suami tidak muttaqi (bertakwa), bagaimana mungkin istri menjadi saleh. Jika suami sendiri merupakan orang saleh, istri pun dapat menjadi saleha. Hendaknya istri tidak diberi nasihat hanya melalui kata-kata. Justru, bila nasihat dilakukan melalui amal perbuatan akan ada dampaknya. Jangankan istri, yang lain pun mana ada yang mau menerima kalau hanya ucapan.
Jika suami memiliki kebengkokan dan keburukan dalam dirinya, istri setiap saat menjadi saksi. Jika ia pulang ke rumah membawa uang suap, istri akan berkata, "Kan suami sendiri yang membawa pulang, mengapa saya harus katakan haram?"
Pendeknya, pengaruh suami pasti mengena pada istri, dan suami itu sendiri yang menjadikannya orang yang kotor atau orang yang bersih. Telah tertulis:
"Alkhabiitsaatu fil khabiitsiina wal khabiitsuuna lil khaabitsaati, wath- thayyibaatu lith
thayyibiina wath- thayyibuuna lil- thaayyibaat (perempuan-perempuan yang jahat adalah bagi laki-laki yang jahat dan laki-laki yang jahat adalah bagi perempuan yang jahat, dan
perempuan perempuan yang baik adalah bagi laki-laki yang baik, sedangkan laki-laki yang baik adalah bagi perempuan-perempuan yang baik -- An-Nuur, 27).
Inilah nasihat yang terdapat di dalamnya, yakni jadilah kalian orang-orang baik, jika
tidak kalian akan mengalami ribuan kejatuhan (kegagalan). Seorang yang tidak takut kepada Allah, sedikit pun tidak akan berhasil. Bagaimana mungkin istri akan takut kepadanya? Nasihat para ulama yang seperti itu pun tidak akan berpengaruh, dan tidak pula suami yang demikian.
Dalam segala kondisi, contoh amalan selalu memberikan pengaruh. Cobalah, apabila
suami bangun tengah malam dan berdoa, menangis, satu dua hari sang istri akan melihat. Akhirnya suatu hari tentu akan terpikirkan juga oleh sang istri, dan pasti
terpengaruh. Pada perempuan (istri) terdapat bakat besar untuk terpengaruh. Inilah sebabnya
tatkala para suami masuk Kristen dan sebagainya, para istri pun turut menjadi Kristen dan sebagainya. Untuk membenahi (memperbaiki) mereka, suatu universitas pun tidak akan dapat mencukupi dibandingkan dengan contoh amalan sang suami. Saudara-saudara sang istri sedikit pun tidak dapat memberikan pengaruh padanya dibandingkan dengan pngaruh sang suami.
Allah telah menyatakan suami istri sebagai satu wujud. Merupakan keaniayaan para suami jika mereka memberikan peluang kepada istri untuk menangkap (menyerap) kelemahan-kelemahan mereka. Mereka seharusnya benar-benar tidak memberikan peluang demikian sampai para istri dapat mengatakan, "Engkau (suami) telah melakukan keburukan ini dan itu." Justru, [hendaknya] para istri berkali-kali gagal dan jera [dalam mencari kelemahan suami] dan sedikit pun
tidak dapat menemukan suatu keburukan. Saat itulah akan terpikirkan oleh istri tentang kebersihan ruhani, dan ia pun akan memahami agama (keruhanian).
Suami merupakan imam bagi rumah tangganya. Jika ia menampilkan pengaruh buruk, betapa besar kemungkinan tersebarnya pengaruh buruk itu. Suami hendaknya
mempergunakan potensinya (kekuatannya) sesuai dengan kondisi dan kesempatan yang dibenarkan. Contohnya potensi marah, jika berlebihan akan menjadi [tanda-tanda] awal kegilaan. Hal itu sedikit sekali bedanya dengan gila. Seorang yang sangat tinggi amarahnya,
mata-air kebijaksanaan akan dirampas darinya. Bahkan jika ada musuh pun tidak akan berucap padanya dengan kemurkaan demikian.
Istri menyaksikan seluruh sifat demikian yang dimiliki suami. Dia
menyaksikan bahwa di dalam diri suaminya terdapat sifat-sifat ketakwaan, misalnya pemurah,
lembut, penyabar. Dan sebagaimana sang istri memperoleh kesempatan untuk menilai, tidak ada orang lain yang memperoleh kesempatan seperti itu. Oleh karena itu sang istri disebut juga saariq (pencuri), sebab ia mencuri akhlak secara diam-diam, sampai akhirnya suatu saat
dia berhasil meraih seluruh akhlak tersebut.
Ada kisah tentang seseorang. Suatu kali dia telah masuk Kristen, maka istrinya pun turut jadi Kristen bersamanya. Tahap pertama dia telah mulai meminum minuman keras. Kemudian pardah pun dia tanggalkan. Dia pun sudah mulai bergabung dengan orang-orang luar.
Kemudian sang suami kembali masuk Islam, maka suami itu berkata kepada istrinya, "Engkau pun ikut lah bersamaku masuk Islam." Sang istri berkata, "Kini sulit bagi saya untuk masuk Islam kembali. Saya sudah terbiasa dengan minum minuman keras dan sebagainya ini. Saya tidak dapat meninggalkannya." (Malfuzat, jld. V, hlm. 207-209).