Jejak-jejak ke Formosa #1

in indonesia •  7 years ago  (edited)
Ayam jantan berkokok begitu nyaringnya, menandakan pagi telah menjelang. Aku menggeliat diiringi derit amben. Ku tengok sampingku, suami dan anakku masih terlelap dalam mimpinya. Sesaat ku atur nafas sebelum otot-otot punggung aku hela untuk bangkit. Dengan agak malas, kuseret pantat ke bibir amben dan menjejakkan kaki di lantai dengan menyingkirkan kain yang melilit tubuh secara acak-acakan. Telapak kaki terasa dingin. Dengan geragapan kakiku mencari sandal jepit untuk selanjutnya melangkah dengan agak gontai. Ayam jantan yg kandangnya menyatu dengan bilik bambu rumahku belum bosan berteriak membangunkan manusia. Mungkin dia tidak melihat kalau aku sudah terbangun karenanya.

Memeriksa padasan dan memenuhinya dengan air adalah rutinitas subuhku. Semua kulakukan dengan senang agar suami dan anakku tidak perlu repot berwudhu. Suara geritan gesekan tali ban dengan roda timba memompa semangatku untuk menarik ember penuh air dari dasar sumur. Aku harus berprasangka baik dan membangkitkan syukur, setidaknya aktivitasku adalah olah raga gratis. Biarkan saja banyak tetanggaku tinggal pencet saklar dan air pun mengucur dari ujung kran. Kadang-kadang hati pun ingin seperti mereka. Aku juga ingin rumahku bertembok indah berhias cat warna warni, lantai mulus berkeramik, ruangan ber-AC dan semua serba listrik. Ah, itu hanya gejolak perasaan sesaat. Aku tidak mau dahi suamiku semakin berkerut.
“Bapak sudah bangun mbok..?” aku menyapa wanita 60 tahunan, ibu mertuaku, yang pelan-pelan melangkah masuk kamar mandi berbilik bambu.
“Belum, Tun..” Hanya itu jawaban singkat mbok mertuaku. Sejurus kemudian ku dengar cipratan air dan suara beradunya gentong dengan gayung. Berisiknya suara di bilik mandi menyiratkan air di di gentong menipis. Tanpa berpikir panjang, ember penuh air yang ada di peganganku ku tuangkan ke mulut gentong kamar mandi agar simbokku tidak kehabisan air sesuai hajatnya.
“Mbubur saja, Tun. Masih ada beras kan?” simbok menimpali suara grojokan air yang ku tuangkan ke gentong kamar mandi. Sebenarnya tanpa harus disuruh simbok, aku selalu berusaha menyiapkan kebutuhan keluargaku dari sarapan sampai tetek bengek menjelang istirahat malam. Namun perintah simbok barusan menyegerakanku menyiapkan sarapan untuk sekeluarga. Setelah mencukupkan kegiatanku di sumur dan aktivitas pribadi lainnya, aku tengok persediaan beras. Tinggal beberapa serokan batok kelapa beras yang tersedia. Tentu aku harus cermat memanfaatkan persediaan beras agar bertahan untuk dua tiga hari ke depan. Beruntung masih punya kupasan kelapa sehingga bisa digunakan sebagai campuran bubur. Cukuplah pagi ini sarapan bubur gurih campuran santan kelapa.
“Enak nduk?” aku bertanya pada Putri, satu-satunya putriku yang baru berumur 4 tahun saat melihatnya lahap menyuap sendiri. Dia hanya mengangguk dengan pipi gembul sementara sedikit ceceran bubur terlihat di amben. Aku mengelap ceceran tersebut dengan serbet kumal yang masih ku genggam setelah beres menyiapkan beberapa piring bubur di meja kayu ruang tengah. “Kang, sarapan dulu..” ujarku pada suamiku, Kang Jono, yang bajunya nyeplak basah habis mandi. Suamiku memang tidak pernah memakai handuk jika selesai mandi. Kang Jono melihat Putri sambil tersenyum. Lantas dia menarik kursi kayu kumuh dekat meja kayu dan mengambil sepiring bubur yang sudah ku siapkan. Aku segera beranjak menuju meja, menuangkan air putih dari kendi ke dalam gelas dan menaruhnya di depan suami.
“Hari ini glidik kemana, Kang..” tanyaku pada suami.
“Bu Darmo menyuruh memetik buah kelapa.” Jawb suami datar. Bayanganku lantas terlempar ke sosok Bu Darmo, tetangga ujung kampung yang memiliki tanah pekarangan yang cukup luas dengan banyak pohon kelapa. Anak Bu Darmo, Sujirah adalah teman mainku sejak kecil. Setelah lulus SMP dia merantau ke negeri Taiwan, sementara aku tak kuasa menolak permintaan orang tua untuk menikah dengan kang Jono. Semenjak lulus SMP itulah aku tidak tahu perkembangan Sujirah. Cerita tetangga, Sujirah lah yang membeli pekarangan luas. Dengan pekarangan yang luas, Bu Darmo memanfaatkan hasil buminya dan mampu tampil sebagai sosok yang disegani di kampung. Seperti lumrahnya yang berlaku, semakin kelihatan kaya sebuah keluarga biasanya masyarakat semakin menghormatinya, tidak peduli darimana sumber kekayaannya. Sujirah mampu menaikan kehormatan keluarganya. Aku membayangkan luas pekarangan berikut rimbunnya pohon kelapa yang dibeli Sujirah.
"Banyak yang dipetik kang..?” aku memecah kesunyian.
“Entahlah..nanti lihat-lihat.” Sahut suamiku. Sebenarnya aku agak miris membayangkan suami naik turun pohon kelapa, terlebih jika sehabis hujan batang pohon kelapa cukup licin untuk dipanjat. Biasanya sepulang memetik buah kelapa di lengan dan kaki suami terlihat goresan-goresan memerah pertanda tidak mudah memanjat sekian banyak pohon kelapa. Namun upah memetik pohon kelapa adalah salah satu sumber penghasilan keluarga di samping pekerjaan serabutan yang lain. Biasanya untuk 10 butir yang dipetik, kang Jono dapat satu. Kalau yang punya kelapa sedang berbaik hati, Kang Jono dapat membawa pulang blarak dan itu lumayan untuk kayu bakar atau sebagai bahan sapu lidi. Ah, aku tenggelam dalam pikiranku sendiri membayangkan rejeki apa yang dapat kami peroleh hari ini. Bayanganku buyar setelah mendengar suara Kang Jono kepada simbok setelah Simbok muncul dari bilik Bapak.
“Mbok, batuk Bapak sudah mendingankah?”
“Lumayan, le..” Simbok hanya menjawab singkat. Matanya menerawang lurus ke depan seperti membayangkan sesuatu. Gaya bicara kang Jono dan Simbok memang mirip. Kalimatnya sering pendek dan menggantung seolah-olah menyembunyikan isi lengkap hatinya. Saat awal menjadi bagian keluarga ini, aku sering penasaran dengan kebiasaan kalimat pendek mereka. Tetapi semakin lama aku semakin mengerti, tidak semua gagasan di kepala perlu disampaikan secara lengkap terutama kepada orang-orang yang kita cintai jika gagasan tersebut hanya mengundang kesedihan. Seperti gaya bicara Simbok barusan, aku paham Simbok mengkhawatirkan jika Bapak harus berobat, duit berobatnya darimana. Aku pun tidak ingin menanggapi lebih jauh perkataan Simbok karena jika kekawatiran Simbok benar-benar terucap, kasihan Kang Jono yang harus menjawab keadaan. Biarlah Kang Jono fokus mengejar rejeki yang ditawarkan Bu Darmo hari ini. Ya Allah, limpahkan rezeki yag baik dan jadikanlah amalan kami sebagai kebaikan, tidak peduli apakah itu hanya sekedar memetik pohon kelapa. Begitulah munajatku mengiringi langkah Kang Jono keluar rumah. Ya Allah, lindungilah Kang Jono dari segala marabahaya, batinku berucap sesaat setelah punggung Kang Jono lenyap di balik tikungan. Aku pun segera menyibukkan diri sebagai menantu dan ibu rumah tangga. Bersambung....

Catatan.
Amben = Ranjang/tempat tidur yang alasnya biasanya terbuat dari serpihan/belahan bambu yang ditata. Jika alas terbuat dari papan disebut Dipan.
blarak = daun kelapa kering
geragapan = melakukan gerakan mencari sesuatu dengan kaki atau tangan tanpa melihat
glidik = pergi dari rumah untuk bekerja
Le = thole = panggilan orang tua kepada anak laki laki
Nyeplak = nempel mengikuti bentuk yang ditempel
Padasan = tempat air khusus untuk wudhu (bersuci sebelum sholat)
Simbok = mbok = ibu

Cerita ini saya dedikasikan untuk siswa-siswa PKBM Muh Taiwan, dengan harapan ada yang mau menulis lanjutan cerita sebagai "jejak-Jejak ke Formosa #2"

Taipei, 17 April 2018. dini hari 1.06. Menjelang tidur
******

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Paragraf terakhir. Menohok pisan