ONE day, mid-2013, I accidentally saw a journalist working in an online media in Aceh interviewing resource persons with an introgation style and even defeating police while interrogating people labeled as terrorists.
The reporter immediately sentenced that the source had corrupted one of the hospital building projects in North Aceh. Complete with the state loss figure of Rp 7.5 billion.
This police-style interview surprised me and two other journalists. Luckily, the source was not angry, still serving politely despite having been convicted since the beginning of the interview.
The ferocious action of this type of journalist will not be encountered when the Soeharto regime still restrained the freedom of the press. Fresh reform winds bring everyone want to have good media newspapers, tabloids, magazines and news portals. Unfortunately, the presence of media that grew like mushrooms in the rainy season was not followed by an increase in professionalism of journalists.
The media does not have much money and time to educate journalists to be professional. Obey the rules mandated by the Journalist Code of Indonesia (KEWI) and the Press Law.
So, no wonder, was born "reporter bodreks", "journalist shock" with "media abal-abal" bin "media propeller post". The term is addressed publicly to journalists and the media is not credible, tend to look for problems even though it is without problems. Scaring informants in the hope of being rewarded with a bundle of money, in return has "protected" the resource personally.
One of the causes of journalists working in this "abal-abal" media is practicing blackmail and "terrorizing" their speakers because they can not afford to fulfill the necessities of life from their work. They are not given a monthly salary. Nor did it get life or health insurance. So, when the stomach is empty and the children have to be fed, they do a decent shortcut. Demi rupiah to keep the kitchen ngebul.
However, that reason can not be justified to practice "terror" and "extortion" against the source. Supposedly, journalists of that type increase their capacity in the field of journalism.
Attend various training, khattam rules in the world of journalists, and train yourself to write better. So, in the end he can work in professional media and get a decent salary and enough to prosper his family.
In addition, the effort to "nurture" journalists who have been involved in journalism needs to be done massively by professional organizations such as the Alliance of Independent Journalists (AJI), Indonesian Journalist Association (PWI), and Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). These professional organizations need to foster, direct and equip them with the ability to cover, interview, and write good and true news. So, in the end the public will get reliable information. Not information that is vague, vague and smelling slander. Worse still confuse the news and personal opinion of journalists.
In addition, the public can also play a role to "straighten" journalists who have come out of the tracks to the right rail. For example, by refusing to serve the interview, because the reporter is considered to have slandered and so forth.
After all, the resource persons have the right of departure as regulated in the Press Law. Thus, the rejection of the resource person can give a deterrent effect and the journalist's reflective material for better self-introspection.
In the end, all parties hope that the media more professionally present the facts to the reader. Remember, the media works on public names. Not on a personal or group name. Thus, it is fitting for the public to obtain correct information. Not the other way around, receiving misleading and misleading information.
note: this paper is for the task when the competency test of the middle category journalist in AJI Indonesia
INDONESIA ---Profesionalisme Jurnalis
SATU hari, pertengahan tahun 2013, secara tidak sengaja saya melihat seorang wartawan yang bekerja di sebuah media online di Aceh mewawancarai narasumber dengan gaya introgasi bahkan mengalahkan polisi saat mengintrogasi orang-orang yang dicap sebagai teroris.
Si wartawan ini langsung memvonis bahwa narasumber itu telah melakukan korupsi pada salah satu proyek pembangunan rumah sakit di Aceh Utara. Lengkap dengan angka kerugian negara sebesar Rp 7,5 miliar.
Teknik wawancara ala polisi ini mengagetkan saya dan dua wartawan lainnya. Beruntung, si narasumber ini tidak marah, masih melayani dengan sopan meski telah divonis bersalah sejak awal wawancara dilakukan.
Aksi garang wartawan jenis ini tidak akan kita temui ketika rezim Soeharto masih mengekang kebebasan pers. Angin segar reformasi membawa semua orang ingin memiliki media baik koran,tabloid, majalah dan portal berita. Sayangnya, kehadiran media yang tumbuh seperti cendawan di musim penghujan itu tak diikuti dengan peningkatan profesionalisme jurnalisnya.
Media tak punya banyak dana dan waktu untuk mendidik jurnalis agar bisa bersikap profesional. Mematuhi aturan main yang diamanahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan UU Pokok Pers.
Sehingga, tak heran, lahirlah “wartawan bodreks”, “wartawan kagetan” dengan “media abal-abal” bin “media baling-baling post”. Istilah itu ditujukan publik pada wartawan dan media yang tidak kredibel, cenderung mencari-cari masalah meski sebenarnya tanpa masalah. Menakut-nakuti narasumber dengan harapan diberi imbalan segepok uang, sebagai imbalan telah “melindungi” narasumber itu sendiri.
Salah satu penyebab wartawan yang bekerja di “media abal-abal” ini melakukan praktik pemerasan dan “meneror” narasumbernya disebabkan mereka tak mampu memenuhi kebutuhan hidup dari pekerjaannya. Mereka tidak diberi gaji bulanan. Tak pula mendapatkan asuransi jiwa atau kesehatan. Sehingga, ketika perut kosong dan anak-anak harus diberi makan, mereka melakukan jalan pintas yang dianggap pantas. Demi rupiah agar dapur tetap ngebul.
Namun, alasan itu tak bisa dijadikan pembenar untuk melakukan praktik “teror” dan “pemerasan” terhadap narasumbernya. Seharusnya, wartawan jenis itu meningkatkan kapasitasnya di bidang jurnalisme.
Mengikuti berbagai pelatihan, khattam aturan main di dunia jurnalis, dan melatih diri menulis lebih baik. Sehingga, pada akhirnya dia bisa bekerja di media profesional dan mendapatkan gaji yang layak serta cukup untuk mensejahterakan keluarganya.
Selain itu, upaya untuk “membina” wartawan yang terlanjur menggeluti jurnalisme ini perlu dilakukan secara masif oleh organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Organisasi profesini ini perlu membina, mengarahkan dan membekali mereka dengan kemampuan meliput, mewawancarai, dan menulis berita yang baik dan benar. Sehingga, pada akhirnya publik akan mendapatkan informasi yang bisa dipercaya. Bukan informasi yang sumir, kabur dan berbau fitnah. Lebih parah lagi mencampuradukkan antara berita dan opini pribadi wartawannya.
Selain itu, masyarakat juga bisa berperan untuk “meluruskan” wartawan yang telah keluar dari relnya itu ke rel yang benar. Misalnya, dengan cara menolak melakukan melayani wawancara, karena wartawan tersebut dianggap telah memfitnah dan lain sebagainya.
Toh, narasumber memiliki hak tolak yang diatur dalam UU Pokok Pers. Sehingga, penolakan narasumber itu bisa memberi efek jera dan bahan renungan wartawan tersebut untuk instropeksi diri menjadi lebih baik lagi.
Pada akhirnya, semua pihak berharap agar media semakin profesional menyajikan fakta pada pembaca. Ingat, media bekerja atasnama publik. Bukan atasnama pribadi atau golongan tertentu. Sehingga, sudah sepatutnya publik mendapat informasi yang benar. Bukan sebaliknya, menerima informasi yang sesat dan menyesatkan.
catatan : tulisan ini untuk tugas saat ujian kompetensi jurnalis kategori madya di AJI Indonesia
ONE day, mid-2013, I accidentally saw a journalist working in an online media in Aceh interviewing resource persons with an introgation style and even defeating police while interrogating people labeled as terrorists.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
hihihi
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hebat sekali bapak @masriadi dalam hal menulis artikel. Sukses terus buat anda
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
IHIHI
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Wajah pers di Indonesia bisa dilihat dari wajah para pemimpim bangsa.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
hehhee, sepakat
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
sepakat juga.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
gaya tutur yang hebat! Berkelas banget!
#sepberehkiraju e20
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
gawat
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
great post
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
thanks
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hehehe.... Wartawan di Aceh memang unik kalau baca cuplikan ini: seorang wartawan yang bekerja di sebuah media online di Aceh mewawancarai narasumber dengan gaya introgasi bahkan mengalahkan polisi saat mengintrogasi orang-orang yang dicap sebagai teroris.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
daerah laen oknum jg ada begitu
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Great! Fantastic
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
thanks sir
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Mantap Bg @masriadi, sukses selalu
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
amin
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Semua wartawan dituntut profisional dalam bekerja , makanya Uji Kompetensi terus dilakukan sebagai upaya meningkatkan kapasitas seorang wartawan.👍👍 mantap @masriadi
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
setuju
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sebuah pencerahan yang luar biasa, senior!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hello @masriadi, apa kabar? Sudah kami upvote..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit